1 Januari 2016
Berita hari ini. Gedung YKP diserang Bom yang meledak sekitar pukul 18.00 WIB. Belum diketahui berapa jumlah korban dalam serangan tersebut. Yang pasti, kobaran api masih melahap gedung YKP. Padahal sedang berlangsung resepsi pernikahan. Sungguh perbuatan yang mengotori sisi kemanusiaan.
*****
Aku menatap gapura besar yang membelah jalan. Ucapan selamat datang bagi para pendatang. Bukan buatku. Aku besar di kota ini. Kotaku, kotamu. Kota masalalu yang menjadi latar tempat kita.
Hari yang mendung. Awan hitam bergelantungan. Siap menurunklan uap air yang mungkin sedari kemarin bermigrasi ke angkasa. Akan tumpah. Membanjiri ibu kota.
Semua sudah tersusun dengan rapi. Kesalahan sudah kusimpan jauh-jauh dalam huruf-huruf dusta. Kusiapkan doa yang indah untukmu. Doa pada tuhan yang maha esa. Doa yang kuselesaikan saat hujan bulan desember. Tepat seperti cuaca saat pertama kali aku menyapamu di angkutan kota.
*****
Angkutan kota yang ramai. Tapi saat itu, wajahmu membuat segalanya menjadi hening yang sempurna. Dingin yang purba dari cuaca kota kita, menambah syahdu suasana. Dalam angkutan kota aku memberikan sebelah tanganku padamu, kamu membalas dan menyebutkan nama. Nama yang kemudian selalu kusebut sebelum pasrah menyerahkan nyawa pada malam.
Malam-malam yang indah. Kita bicara apa saja. Apa pun agar waktu menjadi milik kita berdua. Agar waktu terlewati dengan senyummu dan tawaku. Dan kita tak memperdulikan lagi matahari atau bulan yang silih berganti mengganti warna langit.
Langit yang berwarna jingga di pantai itu. Aku menyatakan cinta. Kamu tak menjawab. Dan diam memeluk tubuhku. Aku terdiam meresapi harum mawar yang menyeruak dari perasaanmu. Perasaanku yang diciptakan sebagai kumbang ini merasa puas. Kenyang akan kasih sayang yang kau alirkan dari pori-pori kulitmu.
Nostalgiaku kuakhiri dengan langkah kaki. Menyeret tubuhku menuju tempatmu kini. Tempat yang tertera di kertas ini.
*****
Sore hari telah datang saat gedung itu semakin dekat kujangkau. Jalan serasa membesar, menyilahkanku melewati deretan mobil yang terparkir rapi di halaman gedung. Kuperlambat langkahku. Mencoba memanggil keberanianku untuk meraung seperti singa. Kupacu langkahku semakin cepat, hanya terjadi dalam pikiran. Tubuhku bukan milikku. Aku berjalan tetap dalam keadaan enggan.
Kulihat lagi kertas itu, kertas yang engkau kirimkan 2 hari yang lalu. Benar alamat gedung ini. Tak salah lagi. Aku melangkah menuju kebenaran.
Mata-mata menuju padaku. Mata-mata bertanya padaku. Aku menunduk, menghindari setiap makna yang kutangkap dari simbol mereka. Bahasa yang sangat kumengerti. Tapi aku tak butuh dikasihani. Aku tak suka diberi empati.
Aku membelah lautan manusia. Lautan tanda Tanya di kepala mereka. Mereka kenal aku. Aku tak kenal mereka. Aku melupakan mereka. Tapi aku benci tatapan-tapan itu. Sangat benci. Aku menegakkan kepala. Menyombongkan diriku di jalan yang sepertinya semakin hitam. Semaklin gelap.
Gapura selamat datang lagi. gerbang yang mengolok-olokku. Gerbang yang dapat mempertemukan kita. Aku menyiapkan diri. Menenangkan adrenalinku yang terpacu. Aku membakar rokokku. Berusaha tak peduli pada mata-mata itu.
Aku melihatnya. Aku melihatmu menduduki kursi kosong seperti di taman sepi. Sepi yang temaram, ornamen orange lampu jalan. Jalan lenggang di sudut kota. Kotaku, kotamu, kota kita. Kita yang harus menjadi putih. Putih yang suci. Suci yang kadang menutupi hitam diri. Diri yang kadang berbohog pada tuhan.
Tuhan, aku boleh merokok? Tak ada jawab. Kuanggap tuhan membolehkanku merokok. Aku berjalan menujumu. Melewati barisan manusia yang mengantri menyalamimu. Aku melihatmu dengan pakaian pengantin itu. Pakaian yang putih, kontras dengan bibirmu yang bergincu merah. Aku mendekatimu. Kamu sangat harum hari ini. Harum mawar kesukaanku. Harum yang aku rindukan.
“Mana calon suamimu?”
“Sedang ke belakang.”
“Bolehkah aku duduk? Merokok di sebelahmu?”
Kau tidak menjawab. Diam, seperti saat aku menyatakan cinta padamu. Aku duduk, menutup pandanganku dari segalanya, kecuali dirimu.
“Aku ingin duduk di sini sampai rokokku habis.”
Kau tak berkata. Membendung air mata. Kau tak berkata. Tapi matamu berbahasa padaku “aku masih mencintaimu.”
Aku tersenyum. Senyum yang paling indah yang bisa kuukir di wajahku. Aku menghisap rokokku dalam-dalam. Menyesap setiap kenangan yang kemudian hadir mengerubungi kepalaku. Menghembuskannya. Mencoba menghilangkan satu-persatu kenangan itu.
*****
Aku menjalani kehidupan terbaikku bersamamu. Tibalah pada suatu hari kita berpisah. Kamu pergi, pindah dari kota ini. Mengikuti kedua orang tiumu. Begitu katamu sebelum aku melihat kau menghilang dari pandanganku waktu itu. Aku percaya padamu. Pada cinta yang sering kita ucapkan berdua.
Cerita kita masih indah. Kita sering bertemu dengan suara. Saling mengucap rindu, saling mengutarakan resah yang kita alami dan hanya kita yang mengerti. Aku ingin mengunjungimu di kota barumu. Tapi kau bilang, kamu akan pulang. Aku setia menunggumu pulang. Aku setia pada kebaikan senyumanmu, pada harapan tentang masa depan.
2 tahun kita jalani dengan sempurna. Hingga hari itu. Pada bulan desember 6 tahun lalu. Kamu menghilang. Dan yang tertera di layar telepon genggamku hanya “terimakasih.” Aku menghubungimu ribuan kali, mengharapkan rankaian kata yang lebih kaya. Aku menemui kesia-siaan yang diwakili oleh suara wanita yang membenturkanku pada jarak.
Hari-hariku sepi. Menatap rindu sendirian. Menatap kota ini sendirian. Menatap sudut sudut cerita di setiap jengkal kenangan yang tertinggal. Aku mengalami kehampaan, ditindih oleh rindu. Aku tergeletak dalam kamarku. Mengutuk cinta yang begitu perlahan membunuh tubuhku. Lebih lama lagi, tak bisakah kita bersama lebih lama lagi?
Aku tak tahan lagi berada di kota ini. Aku pergi. Berharap dapat melupakanmu. Tapi waktu berkata lain. Kau tetap saja hadir dalam setiap doaku. Kamu selalu hadir mengisi kebingunan akan apa yang telah terjadi. Apakah memang ini harus terjadi? Tak apa, sungguh tak apa, aku akan pergi dari kotamu.
5 tahun 5 kali bulan desember. Aku merayakan pertemuan kita. Kisah kita dimulai. 5 tahun, 5 kali bukan desember. Aku menutup diri. Berhenti hidup untuk menangisi kepergianmu.
******
“Setidaknya aku menang sebagai lelaki.” Aku tertawa padamu. Tapi kamu masih diam saja. Mencoba menahan air mata yang tak henti-hentinya mendorong hatimu.
Hujan turun dengan perlahan. Hujan turun membawa dingin yang membekukan hatiku. “selamat tinggal”
******
Lelakimu datang. Rokokku masih setengah. Aku hisap panjang-panjang, tak aku keluarkan. Menahan pahit kenyataan yang terjadi dalam kisah hidupku. Aku berdiri. Memegang pundak calon suamimu.
“Aku punya doa yang indah untuk kalian, tapi biar aku sampaikan saja pada tuhan.”
Aku berjalan ke sudut, tempat kado-kado berada. Mengeluarkan kado yang kusiapkan hanya untuk kalian.
Aku pergi. Meninggalkan pesta perkawinanmu sebagai pemenang. Aku pergi. Menatap gedung pernikahanmu. Aku menyalakan rokoku lagi. Berdoa pada tuhan
“Ya tuhanku yang maha mengabulkan doa, semoga mereka semua masuk surga. Aammiin.”
******
Pemandangan langit setelah hujan air mata, terlihat lebih indah dari sebelumnya. Aku tersenyum menatap kobaran api di layar televisi.
Berita hari ini. Gedung YKP diserang Bom yang meledak sekitar pukul 18.00 WIB. Belum diketahui berapa jumlah korban dalam serangan tersebut. Yang pasti, kobaran api masih melahap gedung YKP. Padahal sedang berlangsung resepsi pernikahan. Sungguh perbuatan yang mengotori sisi kemanusiaan.
*****
Aku menatap gapura besar yang membelah jalan. Ucapan selamat datang bagi para pendatang. Bukan buatku. Aku besar di kota ini. Kotaku, kotamu. Kota masalalu yang menjadi latar tempat kita.
Hari yang mendung. Awan hitam bergelantungan. Siap menurunklan uap air yang mungkin sedari kemarin bermigrasi ke angkasa. Akan tumpah. Membanjiri ibu kota.
Semua sudah tersusun dengan rapi. Kesalahan sudah kusimpan jauh-jauh dalam huruf-huruf dusta. Kusiapkan doa yang indah untukmu. Doa pada tuhan yang maha esa. Doa yang kuselesaikan saat hujan bulan desember. Tepat seperti cuaca saat pertama kali aku menyapamu di angkutan kota.
*****
Angkutan kota yang ramai. Tapi saat itu, wajahmu membuat segalanya menjadi hening yang sempurna. Dingin yang purba dari cuaca kota kita, menambah syahdu suasana. Dalam angkutan kota aku memberikan sebelah tanganku padamu, kamu membalas dan menyebutkan nama. Nama yang kemudian selalu kusebut sebelum pasrah menyerahkan nyawa pada malam.
Malam-malam yang indah. Kita bicara apa saja. Apa pun agar waktu menjadi milik kita berdua. Agar waktu terlewati dengan senyummu dan tawaku. Dan kita tak memperdulikan lagi matahari atau bulan yang silih berganti mengganti warna langit.
Langit yang berwarna jingga di pantai itu. Aku menyatakan cinta. Kamu tak menjawab. Dan diam memeluk tubuhku. Aku terdiam meresapi harum mawar yang menyeruak dari perasaanmu. Perasaanku yang diciptakan sebagai kumbang ini merasa puas. Kenyang akan kasih sayang yang kau alirkan dari pori-pori kulitmu.
Nostalgiaku kuakhiri dengan langkah kaki. Menyeret tubuhku menuju tempatmu kini. Tempat yang tertera di kertas ini.
*****
Sore hari telah datang saat gedung itu semakin dekat kujangkau. Jalan serasa membesar, menyilahkanku melewati deretan mobil yang terparkir rapi di halaman gedung. Kuperlambat langkahku. Mencoba memanggil keberanianku untuk meraung seperti singa. Kupacu langkahku semakin cepat, hanya terjadi dalam pikiran. Tubuhku bukan milikku. Aku berjalan tetap dalam keadaan enggan.
Kulihat lagi kertas itu, kertas yang engkau kirimkan 2 hari yang lalu. Benar alamat gedung ini. Tak salah lagi. Aku melangkah menuju kebenaran.
Mata-mata menuju padaku. Mata-mata bertanya padaku. Aku menunduk, menghindari setiap makna yang kutangkap dari simbol mereka. Bahasa yang sangat kumengerti. Tapi aku tak butuh dikasihani. Aku tak suka diberi empati.
Aku membelah lautan manusia. Lautan tanda Tanya di kepala mereka. Mereka kenal aku. Aku tak kenal mereka. Aku melupakan mereka. Tapi aku benci tatapan-tapan itu. Sangat benci. Aku menegakkan kepala. Menyombongkan diriku di jalan yang sepertinya semakin hitam. Semaklin gelap.
Gapura selamat datang lagi. gerbang yang mengolok-olokku. Gerbang yang dapat mempertemukan kita. Aku menyiapkan diri. Menenangkan adrenalinku yang terpacu. Aku membakar rokokku. Berusaha tak peduli pada mata-mata itu.
Aku melihatnya. Aku melihatmu menduduki kursi kosong seperti di taman sepi. Sepi yang temaram, ornamen orange lampu jalan. Jalan lenggang di sudut kota. Kotaku, kotamu, kota kita. Kita yang harus menjadi putih. Putih yang suci. Suci yang kadang menutupi hitam diri. Diri yang kadang berbohog pada tuhan.
Tuhan, aku boleh merokok? Tak ada jawab. Kuanggap tuhan membolehkanku merokok. Aku berjalan menujumu. Melewati barisan manusia yang mengantri menyalamimu. Aku melihatmu dengan pakaian pengantin itu. Pakaian yang putih, kontras dengan bibirmu yang bergincu merah. Aku mendekatimu. Kamu sangat harum hari ini. Harum mawar kesukaanku. Harum yang aku rindukan.
“Mana calon suamimu?”
“Sedang ke belakang.”
“Bolehkah aku duduk? Merokok di sebelahmu?”
Kau tidak menjawab. Diam, seperti saat aku menyatakan cinta padamu. Aku duduk, menutup pandanganku dari segalanya, kecuali dirimu.
“Aku ingin duduk di sini sampai rokokku habis.”
Kau tak berkata. Membendung air mata. Kau tak berkata. Tapi matamu berbahasa padaku “aku masih mencintaimu.”
Aku tersenyum. Senyum yang paling indah yang bisa kuukir di wajahku. Aku menghisap rokokku dalam-dalam. Menyesap setiap kenangan yang kemudian hadir mengerubungi kepalaku. Menghembuskannya. Mencoba menghilangkan satu-persatu kenangan itu.
*****
Aku menjalani kehidupan terbaikku bersamamu. Tibalah pada suatu hari kita berpisah. Kamu pergi, pindah dari kota ini. Mengikuti kedua orang tiumu. Begitu katamu sebelum aku melihat kau menghilang dari pandanganku waktu itu. Aku percaya padamu. Pada cinta yang sering kita ucapkan berdua.
Cerita kita masih indah. Kita sering bertemu dengan suara. Saling mengucap rindu, saling mengutarakan resah yang kita alami dan hanya kita yang mengerti. Aku ingin mengunjungimu di kota barumu. Tapi kau bilang, kamu akan pulang. Aku setia menunggumu pulang. Aku setia pada kebaikan senyumanmu, pada harapan tentang masa depan.
2 tahun kita jalani dengan sempurna. Hingga hari itu. Pada bulan desember 6 tahun lalu. Kamu menghilang. Dan yang tertera di layar telepon genggamku hanya “terimakasih.” Aku menghubungimu ribuan kali, mengharapkan rankaian kata yang lebih kaya. Aku menemui kesia-siaan yang diwakili oleh suara wanita yang membenturkanku pada jarak.
Hari-hariku sepi. Menatap rindu sendirian. Menatap kota ini sendirian. Menatap sudut sudut cerita di setiap jengkal kenangan yang tertinggal. Aku mengalami kehampaan, ditindih oleh rindu. Aku tergeletak dalam kamarku. Mengutuk cinta yang begitu perlahan membunuh tubuhku. Lebih lama lagi, tak bisakah kita bersama lebih lama lagi?
Aku tak tahan lagi berada di kota ini. Aku pergi. Berharap dapat melupakanmu. Tapi waktu berkata lain. Kau tetap saja hadir dalam setiap doaku. Kamu selalu hadir mengisi kebingunan akan apa yang telah terjadi. Apakah memang ini harus terjadi? Tak apa, sungguh tak apa, aku akan pergi dari kotamu.
5 tahun 5 kali bulan desember. Aku merayakan pertemuan kita. Kisah kita dimulai. 5 tahun, 5 kali bukan desember. Aku menutup diri. Berhenti hidup untuk menangisi kepergianmu.
******
“Setidaknya aku menang sebagai lelaki.” Aku tertawa padamu. Tapi kamu masih diam saja. Mencoba menahan air mata yang tak henti-hentinya mendorong hatimu.
Hujan turun dengan perlahan. Hujan turun membawa dingin yang membekukan hatiku. “selamat tinggal”
******
Lelakimu datang. Rokokku masih setengah. Aku hisap panjang-panjang, tak aku keluarkan. Menahan pahit kenyataan yang terjadi dalam kisah hidupku. Aku berdiri. Memegang pundak calon suamimu.
“Aku punya doa yang indah untuk kalian, tapi biar aku sampaikan saja pada tuhan.”
Aku berjalan ke sudut, tempat kado-kado berada. Mengeluarkan kado yang kusiapkan hanya untuk kalian.
Aku pergi. Meninggalkan pesta perkawinanmu sebagai pemenang. Aku pergi. Menatap gedung pernikahanmu. Aku menyalakan rokoku lagi. Berdoa pada tuhan
“Ya tuhanku yang maha mengabulkan doa, semoga mereka semua masuk surga. Aammiin.”
******
Pemandangan langit setelah hujan air mata, terlihat lebih indah dari sebelumnya. Aku tersenyum menatap kobaran api di layar televisi.
0 komentar:
Posting Komentar