Kor, terus didera sekalipun dipenjara di bawah tanah. Dipermalukan oleh
prajurit tentara imperium dan kaki tangannya. Kor terus tafakur semakin
khusuk. Kekuatannya, keikhlasannya memberi pernyataan pembuktian
tugasnya, telah digaris merah atas kehendak bersamanya sejak lahir. Dia
siap menghadapi kekuasaan imperium sendirian.
Kor, seakan
kembali ke masa kanak-kanak, saat cinta dan kasih sayang melebur dalam
jiwa keluarga, di antara sahabatnya, bermain kelereng berbagi kebaikan
tanpa pamrih. Dia begitu dekat dengan saudara-saudaranya, Bunda dan
Ayahnya, juga sahabat-sahabatnya.
Ayah Kor ahli memahat kayu,
salah satunya membuat perangkat makan dari kayu, pelanggannya datang
dari berbagai desa, bahkan dari desa negeri jauh. Pesan Ayahnya selalu
diingat Kor, bahwa kesabaran bisa mencairkan gunung es, memadamkan
kobaran api.
“Kayu ini akan keras memahatnya, membuat cawan air
sekalipun. Jika engkau tak punya kesabaran seluas langit.” Kor,
menyimak dengan seksama dan terus belajar.
Hingga akhirnya
nyaris sama keahlian Kor memahat kayu setara Ayahnya, membuat kagum dan
bangga keluarganya. Kor, berhasil menjadi orang sabar dan mulia hatinya.
Sahabatnya dalam persaudaraan cinta dan kasih sayang semakin banyak.
Hingga Kor memiliki keajaiban-keajaiban dalam kesederhanaannya.
Amaranis, sejak peristiwa di batas kota, dia merasa lahir kembali, Kor,
telah menumbuhkan kepercayaan dirinya sebagai perempuan pada kesetaraan
kodrat, patut dihormati martabatnya sebagaimana umumnya kaum perempuan
negerinya.
Amaranis, kagum pada Kor, dia mencintai sepenuh
jiwanya pengabdian. Amaranis menempatkan dirinya sebagai saudara
perempuan Kor. Meski sesungguhnya Kor, mungkin telah mengetahui isi
nurani Amaranis.
Ams, berlari-lari dari luar rumah di sore
itu. “Bunda! Bunda? Aku berhasil membuat air menjadi banyak, untuk
upacara sunatan Achmais sahabatku. Mendadak mata air di sumurnya
mengering. Aku, telah memberi banyak air pada keluarga itu. Para tamu
sekarang tak lagi kekurangan air. Bunda…”
“Ams! Stop. Ucapkan
dengan tenang. Biar Bunda mendengar dengan lebih jelas sayangku.
Minumlah dulu. Sebentar Bunda tuangkan air dari kendi untukmu.”
Zachriah, bergegas menuangkan air ke cawan kayu untuk Ams, dari kendi
gerabah buatan suaminya.
“Ada apa Ams.” Suara Ayah. “Suaramu
terdengar ke halaman belakang. Ayah sedang memahat cawan buatmu.” Ams,
mencium tangan Ayahnya.
Lalu lari kepelukan Bundanya. “Aku
menemukan sumber air persis di samping sumur kering milik keluarga
Achmais, Bunda…” Tatap Ams pada Bundanya, ada kisah di mata itu. “Bunda
Bangga padamu.” Zachriah, melihat kisah-kisah itu di mata Ams.
Pimpinan tentara imperium, sebagai perwalian pemerintahan pusat
imperium tak mampu memutuskan kesalahan Kor, karena memang Kor tidak
berbuat apapun dan tak ada bukti apapun, bahwa Kor telah melakukan
kesalahan ataupun pelanggaran hukum.
Kor tetap menghadapi tuduhan pelanggran hukum atas desakan orang banyak akibat dipengaruhi kelompok Sektarian Gugus Benalu.
Pimpinan tentara imperium menemui orang banyak dan memutuskan untuk
membebaskan Kor. Orang banyak menolak, terus meneriakan tuntutan bahwa
Kor, wajib dihukum cambuk.
Malang tak dapat ditolak kebaikan
dan kebenaran. Keadaan menyatakan desakan kaum Sektarian Gugus Benalu
dan orang banyak. Kor tetap dihukum atas kehendak itu.
Pimpinan
tentara imperium membisikan permohonan maafnya ke telinga Kor, bahwa
akhirnya Kor harus dihukum cambuk. Beberapa sahabat Kor memilih diam,
menyaksikan pengadilan Kor. Seorang sahabatnya menyesali ucapannya
sendiri.
Seseorang lain lagi, mungkin juga salah satu dari
sahabat Kor. Tampak berlari-lari kian kemari menyesali hal tak
termaafkan sepanjang hidupnya. Dia menangis kepada langit, kepada alam
raya, sesalnya tak bisa termaafkan sepanjang hidupnya.
Orang
itu membenturkan diri pada batu, orang itu tak mati juga. Hanya satu
keinginannya. “Bunuhlah aku. Matikanlah aku! Maafkanlah aku telah
mengkhianati sahabatku. Aku pemberi kabar tentang keberadaan Kor di
Taman Cinta Bagi Semua” Esoknya orang itu ditemukan mati di bawah batu
besar.
Pimpinan tentara imperium menyesali keputusannya
sepanjang hidup, telah menjatuhkan hukuman itu. Kor telah terbang
keangkasa bersama berkat terterang menjadi pujian keteladanan sepanjang
abad sejarah negerinya. Keteladanan Kor sebagaimana di ketahui orang
lebih banyak lagi dan terus lebih banyak lagi.
Waktu pararel berjalan sebagaimana alam menghendaki kecepatan di garis ekuator di gravitasi episentrum kehendak semesta.
Sejak saat setelah kepergian Kor terbang ke langit surga, tak lama
kemudian kelompok Sektarian Gugus Benalu menurut fakta manuskrip semesta
dikabarkan mereka mati bunuh diri massal.
Sahabat-sahabat Kor
lainnya, meneruskan ilmu pengetahuan, pelajaran-pelajaran eksak dan
non-eksak pada semua kaum, meluas ke negeri-negeri seberang lautan,
pegunungan, berbukit-bukit daratan, dari desa ke desa, tetangga negeri
itu, hingga menuju benua-benua.
Ayah Kor tetap memahat cawan
kayu untuk Ams dan saudaranya. Zachriah, mengayuh sepeda menuju sekolah
Ams, dan sejumlah pesanan sarapan pagi untuk pelanggannya di terminal
bus itu. Di bawah langit pemberi terang pada keluarga Ams, sepanjang
abad di sejarahnya. Selesai.
(ded/ded)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar