Dulu itu, setiap aku mendengar orang bicara layar tancap, aku malah
sedih. Tapi untunglah, setelah dewasa aku sudah bisa mengikis kepiluan
itu. Layar tancap sudah tersingkir dari jagat hiburan rakyat. Dan
orang-orang pun kemudian tak lagi bercerita tentang itu.
Kini,
aku ingin bercerita kepadamu: kenapa aku dulu bisa dirundung pilu
begitu. Aku berharap kau berkenan menyimak. Tetapi jika tidak, ya
sudahlah, sudahi saja sampai di sini.
Tapi aku ingatkan juga
padamu, kau nanti bisa penasaran jika tak menyimak ceritaku ini. Jadi,
alangkah beruntungnya kau, jika mau memenggal waktu untuk kisahkuku yang
satu ini.
Nah, aku mulai saja sekarang....
Orang
tuaku memanggilku Bandol. Aku bertanya kepada ibu sewaktu kecil,
”Kenapa dipanggil begitu?” Ibu menatapku sejenak. Wajah bulat telurnya
tampak benar. “Karena kamu bandel.”
Bandel? Aku belum mengerti apa hubungan antara Bandol dengan bandel.
“Bandol itu hanya plesetan saja. Maksudnya ya sama, yaitu bandel,” lanjut ibu.
“Oh, jadi karena aku ini bandel, aku lantas dipanggil Bandol.”
Tapi
aku sungguh tak merasa bandel. Aku menganggap diriku biasa saja,
seperti anak-anak yang lain. Mungkin karena aku ini anak tunggal
sehingga tidak bisa dibandingkan dengan yang lain di dalam rumah?
Repotnya,
kemudian orang-orang kampung sama juga memanggilku begitu. Nama Satria
Pratamaku tenggelam. Hanya terdengar sewaktu guru mengabsen di kelas.
Selebihnya: Bandol… Bandol… Bandol…! Tapi aku kecil menerima saja tanpa
perasaan jengkel atau malu.
Aku lanjutkan....
Di
kampungku, tiada hiburan yang lebih mengesankan selain menonton layar
tancap di lapangan bola depan SD-ku. Televisi belum kami punya. Aliran
listrik juga tidak ada. Saat itu televisi masih menjadi barang mahal,
sekalipun hitam putih 12 inci. Bilakah menonton televisi, pastilah di
halaman kecamatan. Hanya kantor camatlah yang berpenerangan listrik
bertenaga diesel. Dan di sanalah sebuah televisi terdiam dalam sebuah
wadah berpelat besi berbentuk rumah. Dengan satu penyangga besi
berdiameter 12 cm dengan tinggi mendekati dua meter, benda itu setia
menanti kami sore hari. Sayang, itu tak lama. Sambaran petir
mematikannya. Kami tak bisa lagi menikmati tayangan TVRI.
Hiburan
layar tancap itu bukan semata untuk kampungku. Warga tetangga kampung
yang berjarak begitu jauh, rela berjalan kaki menuju tempat hiburan
murah meriah ini. Menyusuri kali, juga pematang sawah. Bagi lelaki,
mereka berselendang sarung. Para perempuan tak lupa menyampirkan kain
jarit pada tubuhnya. Cara mudah menahan terpaan dingin malam.
Ah,
mengagumkan sekali. Layar tancap itu bisa menjadi pemersatu warga antar
kampung. Warga yang dahaga hiburan modern pada masa itu.
Maka sore selepas maghrib aku mendatangi beberapa teman kecilku. “Yuk, kita berangkat sekarang ke lapangan!”
Siang
hari kami tahu dari pengeras suara. Satu mobil niaga perusahaan rokok
berkeliling dari kampung ke kampung yang sudah terjamah jalan beraspal.
"Saksikanlah, banjirilah pemutaran film Derita Anak Tiri…!”
Lapangan sepak bola kampung kami disebutnya. Di sana nanti, layar putih dibentangkan untuk menerima citra proyektor.
Mendengar
itu, orang-orang bergegas berkerumun di tepi jalan. Anak-anak berlarian
membuntuti mobil yang berjalan pelan itu. “Pelem ya Pak… Pelem ya…!”
teriakan mereka.
Pada petang hari, Ibu mewanti-wanti. “Kamu tak
usah nonton pelem. Nanti sandalmu hilang lagi!” Sedang Bapak masih di
sawah. Ia tidak tahu jika nanti malam akan ada tontonan besar. Tapi
kalau pun tahu, Bapak pasti tidak ke lapangan. “Mending di rumah,
istirahat, tidur nyenyak.” Selalu begitu katanya setiap ada pertunjukan.
Padahal gratis. “Kamu tahu, apa jadinya kalau semua orang ke lapangan?
Kampung jadi sunyi! Sepi! Rumah-rumah akan menjadi incaran maling!”
Benar juga sih alasannya. Tapi kenapa selalu saja, Bapak enggan, tidak seperti orang-orang lain sebayanya.
Sedang
ibu punya alasan sendiri. “Aku tak mau kena angin malam. Kamu tahu,
masuk angin itu sepertinya sepele, tapi rasanya nggak enak. Apalagi
kalau sampai mual-mual!” begitu kilahnya. Maka ia pun tak sekali waktu
berangkat ke lapangan malam-malam.
Maka, aku yang sudah kelas
enam SD itu berjinjit-jinjit keluar rumah lewat pintu depan. Aku buka
dengan lembut, agar derit pintu tidak terlalu keras.
Aku
berhasil. Kemudian melangkah meninggalkan rumah dengan sarung terlipat
memanjang menggantung pada leher. Untuk menghormati ibu, aku berangkat
tanpa alas kaki. Pikirku tak mengapa tak bersandal. Toh, jaraknya cuma
tiga ratus meter.
***
Langit cerah. Bintang-bintang
menebar pesona. Angin semilir menelusup setip celah kerumunan
orang-orang. Membelai kulit, membuat kami kadang merinding dingin.
Lampu-lampu
neon armada perusahaan rokok memendar menghias malam. “Malam minggu
yang menyenangkan,” kataku kepada teman-teman. “Ya….!” sahutnya ramai.
Kami lantas berlarian mengitari semua yang menggoda mata kami. Mata
anak-anak yang sejati.
Warga sudah berdesakan memadati lapangan.
Tak ubahnya pasar malam, mendadak banyak pedagang makanan dan mainan
berderet di pinggiran lapangan. Bagai sebuah magnet saja layar tancap
itu!
“Wah, selamat ya! Sampean dapat petromak!” Seseorang dengan
pengeras suara memberi tahu pembeli rokok yang menukar kupon. Ia
mendapat undian berhadiah malam itu. Sepertinya, semua jadi iri, ingin
membeli rokok, siapa tahu mereka beruntung juga.
Malam semakin
menua. Tetapi belum juga film diputar. Penonton yang telah duduk di atas
rerumputan mulai gusar. Beberapa dari mereka memainkan senter ke arah
layar putih di hadapan mereka.
“Mohon sabar ya, semuanya. Sebentar lagi akan dimulai!” kata pemegang mic.
Kami
yang anak-anak, yang duduk paling depan tidak kalah gusarnya dengan
yang lebih tua. Menunggu memang menyebalkan. Dan anak-anak
melempar-lempar layar itu dengan sandal jepit. Itulah cari kami protes:
agar film segera diputar!
Tapi, selalu saja dari pengeras suara berbunyi, “Sabar saja. Sebentar lagi….”
Jika
ingat itu, aku jadi tertawa sendiri. Bukankah mereka sedang jualan
rokok, dan kami diberi hiburan gratis. Tapi kami malah seperti kurang
mengerti kedatangan mereka di kampung kami.
Kemudian kami
terdiam setelah proyektor menyorotkan sinar, dilanjutkan dengan
mematikan beberapa lampu penerang. “O, akhirnya…,” ujar temanku sembali
meluruskan kedua kakinya ke depan, selonjor.
***
Sudah
dua puluh lima menit, cerita Derita Anak Tiri mendiamkan penonton.
Agaknya mereka larut dalam kisah sedih ini. Sepertinya menjadi sangat
terharu, ketika melihat pengusiran pemilik rumah dan kemudian terjadi
pembakaran oleh sekelompok orang.
Aku sudah berusaha mengingat
secara runtut adegan itu kembali. Tapi buntu. Yang aku tahu, ada rumah
terbakar dan apinya besar menyala menjilati langit Jakarta pada malam
hari. Itu saja.
Penonton tercengang. Semua membisu kala itu.
Kemudian,
kami makin tercengang! Pada saat bersamaan, agaknya semua penonton
melihat percikan api dan asap yang membumbung ke angkasa. Kami
kebingungan dengan situasi ini.
“Kebakaran…. Kebakaran… kebakaran…!”
Sontak
penonton berteriak histeris. Dua kejadian kebakaran secara bersamaan.
Satu berada dalam gambar yang tertangkap oleh layar tancap dan sebuah
lagi adalah kenyataan yang ada di kejauhan. Ya, ada rumah warga kampung
yang terbakar, sepertinya!
Mendadak riuh. Semua berhamburan tak
jelas arah. Sedangkan lampu-lampu neon di lapangan mendadak dimatikan.
Gelap, sangat gelap. Sesaat mataku tak bisa melihat apa pun. Tapi
kemudian pikiranku bisa menyala. "Kebakaran itu ada di arah selatan."
Aku berusaha mengingat posisi layar tancap yang hampir berdampingan
dengan tiang gawang itu. Aku hafal, itu tiang gawang selatan.
Dan,
aku berlari sendiri meninggalkan lapangan. Aku beruntung tak beralas
kaki, setidaknya itu memudahkan menelusuri jalan setapak yang tak rata.
Ini adalah jalan lain keluar dari arena tontonan. Arahnya ke selatan,
kemudian melingkar menuju jalan raya. Aku bersegera menuju lokasi
kebakaran. Sekalian aku nanti pulang ke rumah.
Makin dekat, hawa panas itu terasa di kulit. Warna merah dan asap pekat membumbung. Hidungku sangit dibuatnya.
Sebagaimana
orang dewasa, aku pun berlari ingin melihat dari dekat. Aku lemas
seketika itu. Rumahkulah yang dilibas si jago merah, ternyata. Aku
kebingungan dalam malam yang mencekam. Aku pun tak tahu, harus berkata
apa. Aku terisak-isak. Dan tak satu pun yang tahu, bahwa aku tengah
berduka karena kebakaran itu.
***
Aku berada di dalam
rumah tetangga depan rumahku. Aku tetap menangis. Sedangkan puluhan
orang berusaha memadamkan api. Berpuluh-puluh orang berjibaku. Mereka
pontang-panting mencari air. Berteriak-teriak memanggil nama bapak dan
ibuku.
Dua jam lebih berlalu, api kemudian bisa dipadamkan.
Rumahku ludes, tak setinggi semeter pun tersisa. Hanya puing dan bara
serta asap yang menghiasi reruntuhan itu.
Akhirnya, kedua orang
tuaku bisa ditemukan. Mereka berada di tempat pintu depan berada.
Sepertinya mereka hendak keluar rumah, tapi tak bisa, kata orang-orang.
“Mungkin api berasal dari lampu teplok yang berada di kandang ayam dekat dapur!” kata Pakde Sawidi.
Keluargaku
punya satu induk ayam dan sepuluh anak eraman. Di dekatnya ditaruh
teplok untuk penerangan. Mungkin tersentuh kucing atau apalah, hingga
teplok itu jatuh dan minyak tanah menyebar tersambar api.
Aku
tak berani mendekati jasad kedua orang tuaku. Yang aku tahu orang-orang
merasa iba melihatnya. Pernah aku bertanya tentang hal itu. Mereka
enggan menceritakan kepadaku, biarpun aku telah dewasa. “Sudahlah,
lupakan saja. Doakan saja Bapak sama Ibumu.” Aku berusaha mengerti itu.
Berarti,
kebakaran itu dari dapur, dugaku. Karena dinding-dinding rumah kami
dari anyaman bambu, juga langit-langitnya, termasuk kaso-kaso, api
seperti menemukan mainannya. Jilatannya menjalar ke bagian yang lain
secara cepat. Aku yakin, Bapak dan Ibu terkejut dan kemudian berusaha
keluar rumah lewat pintu depan.
Tentu saja, keduanya tidak bisa
keluar rumah. Mereka terjebak di dalam. Aku yakin, mereka mencari-cari
anak kunci. Tapi tak mendapati. Untuk melompat lewat lubang jendela
rasanya sulit. Jeruji-jeruji kayu menghalangi.
Aku sedih.
Teramat sedih. Seketika aku sudah yatim piatu malam itu. Akulah penyebab
itu. Aku mengunci mereka dari luar. Dan anak kunci itu aku bawa pergi
menonton layar tancap.
Begitulah satu cerita masa kecilku, kawan.
_________ Bumi Cahyana, 8 April 2016.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar