Tiga hari
pertama berlangsung kurang menyenangkan bagi si penyewa. Memang segelintir
orang berhenti di depan warung makan itu dan memandangi spanduk mentereng
berwarna kuning merah bertuliskan :
"Warung Nasi Sumber Berkah, Tipis di Kantong Tebal di Lidah". Namun
tak satupun dari mereka memakirkan kendaraan dan melangkah masuk. Semua hanya
terkesima memandangi poster mencolok buatan keponakan pemilik tanah.
Keberuntungan
mulai mendekat keesokan harinya, yakni pada pukul tiga belas lewat empat belas
menit, Jumat siang. Seorang pemuda berwajah kotak dengan bekas jerawat tersebar
di kedua belah pipinya, memesan satu piring nasi plus sayur asam beserta
segelas teh dingin. Satu jam penuh ia habiskan di tempat itu. Melahap makanan,
menyeruput minuman, dan membakar berbatang-batang rokok.
Sebelum pria
berwajah kotak itu memutuskan masuk ke dalam warung, ia telah tiga kali
bolak-balik melewati jalan yang sama. Memandangi dengan seksama seluruh tempat
makan yang tersedia. Pilihan ia jatuhkan pada warung si perantau dari timur
jauh. Alasannya
sederhana: tempat itu sepi. Sejak semula ia memang menjauhi keramaian, karena
itulah pekerjaan kurir nampak ideal bagi dirinya. Menghabiskan waktu sendirian
di atas motor, berkhayal soal masa lalu, masa depan, dan hal-hal lain yang
layak untuk dibayangkan. Berbicara pada diri sendiri, tidak berharap tentang
apapun, kecuali keinginan untuk tetap menyendiri.
Namun ia rupanya tak benar-benar sendiri,
dalam waktu tiga puluh menit berturut-turut datang tiga orang dengan motif yang
sama. Mereka lapar dan tak suka keramaian. Banyak persoalan yang mereka hadapi
sepanjang pagi. Sebuah obrolan, meski hanya sepintas lalu dengan orang tak
dikenal, nampak merepotkan untuk memenuhi hari yang melelahkan. Mereka hanya
ingin mengisi perut, lalu pergi.
Bagaimanapun, kehadiran empat orang yang
senang berteman dengan kelenggangan itu, membawa kemujuran bagi si penyewa dari
timur jauh. Lalu lintas yang padat membuat sejumlah pengendara memalingkan muka
ke pinggir jalan, sekedar untuk membangkitkan kesadaran bahwa kemacetan bukan
satu-satu hal yang terdapat di jalan raya. Ada peradaban lain yang berhasil
diciptakan manusia. Para pengendara itu melihat sesuatu yang menarik, sebuah
rumah makan yang cukup ramai. Empat buah kendaraan, meski tak sebanyak di pusat
jajanan, cukup untuk meyakinkan mereka bahwa lokasi itu menawarkan kelezatan.
Sebagaimana lazimnya pemahaman umun, untuk menikmati kudapan enak lihatlah
tingkat keramaiannya. Semakin banyak yang mengantri, maka semakin dahsyat
sensasi yang ditawarkan. Niat pun terucap, besok atau suatu hari lain para pengendara
yang jumlahnya tak sedikit itu akan mampir untuk mencicip kenikmatan dari
warung milik perantau dari timur jauh.
Hari-hari berikutnya membuat tuan rumah
sumringah. Belasan orang mampir untuk menyantap resep buatannya. Hanya butuh
kesabaran untuk menikmati manisnya kue kota besar, begitu ia berpikir.
Lambat laun kondisi itu justru
mengecewakan si lelaki berwajah kotak dan koleganya sesama penikmat kesunyian.
Warung itu, yang sebelumnya menjadi pemuas dahaga di tengah kebisingan, justru
menjadi keriuhan itu sendiri. Mereka memutuskan mencari tempat lain yang, tentu
saja, menawarkan kesenyapan sebagaimana mereka temukan pada restoran si
perantau timur jauh pada semula.
Para petualang kenikmatan, pada dasarnya
tidak kecewa, karena makanan di warung si perantau dari timur jauh toh tak bisa
dibilang buruk. Ada rasa khas yang muncul saal lidah mencecap berbagai olahan yang
tersedia. Namun, kelezatan adalah soal perspektif. Ia tidak hanya dibangun olah
situasi faktual ketika lidah bertemu campuran bumbu. Lebih dari itu, respon
setelah mencecap turut menentukan. Kesedapan tidak sekedar individual, tapi
beriringan dengan narasi sesama penikmat makanan.
Begitulah pada akhirnya para pemburu
kenikmatan mulai mencari alternatif-alternatif lain yang menawarkan impresi baru.
Memindai dengan mata (dimana muncul keramaian), mendengarkan dengan seksama
sayup-sayup pujian yang lalu lalang, hingga mereka memutuskan menyudahi
hubungan kausalitas dengan si perantau dari timur jauh.
Kepergian penyuka ketenangan ataupun
penikmat keramaian, tak begitu merisaukan sang pemilik warung. Karena, pada
akhirnya, rasa lapar dapat mengalahkan kehendak untuk berada di tengah massa
maupun keheningan absolut.
1916
0 komentar:
Posting Komentar