Translate

cerpen warung yang laris

Written By iqbal_editing on Sabtu, 02 September 2017 | 20.31

Pada mulanya tempat itu sebuah tanah kosong belaka. Hanya menjadi tempat kucing liar bercengkrama, bersenggama, dan menghabiskan malam dingin di kolong ember bekas. Ketika pusat kota berkembang pesat di utara, sang pemilik tanah memutuskan mendirikan sebuah bangunan persegi. Seorang perantau dari timur jauh kemudian menyewa tempat itu. Alasannya sederhana, banyak orang lalu lalang. Karena lokasi itu kini menjadi pemukiman pinggir kota.
Tiga hari pertama berlangsung kurang menyenangkan bagi si penyewa. Memang segelintir orang berhenti di depan warung makan itu dan memandangi spanduk mentereng berwarna kuning merah bertuliskan : "Warung Nasi Sumber Berkah, Tipis di Kantong Tebal di Lidah". Namun tak satupun dari mereka memakirkan kendaraan dan melangkah masuk. Semua hanya terkesima memandangi poster mencolok buatan keponakan pemilik tanah.
Keberuntungan mulai mendekat keesokan harinya, yakni pada pukul tiga belas lewat empat belas menit, Jumat siang. Seorang pemuda berwajah kotak dengan bekas jerawat tersebar di kedua belah pipinya, memesan satu piring nasi plus sayur asam beserta segelas teh dingin. Satu jam penuh ia habiskan di tempat itu. Melahap makanan, menyeruput minuman, dan membakar berbatang-batang rokok.
Sebelum pria berwajah kotak itu memutuskan masuk ke dalam warung, ia telah tiga kali bolak-balik melewati jalan yang sama. Memandangi dengan seksama seluruh tempat makan yang tersedia. Pilihan ia jatuhkan pada warung si perantau dari timur jauh. Alasannya sederhana: tempat itu sepi. Sejak semula ia memang menjauhi keramaian, karena itulah pekerjaan kurir nampak ideal bagi dirinya. Menghabiskan waktu sendirian di atas motor, berkhayal soal masa lalu, masa depan, dan hal-hal lain yang layak untuk dibayangkan. Berbicara pada diri sendiri, tidak berharap tentang apapun, kecuali keinginan untuk tetap menyendiri.
Namun ia rupanya tak benar-benar sendiri, dalam waktu tiga puluh menit berturut-turut datang tiga orang dengan motif yang sama. Mereka lapar dan tak suka keramaian. Banyak persoalan yang mereka hadapi sepanjang pagi. Sebuah obrolan, meski hanya sepintas lalu dengan orang tak dikenal, nampak merepotkan untuk memenuhi hari yang melelahkan. Mereka hanya ingin mengisi perut, lalu pergi.
Bagaimanapun, kehadiran empat orang yang senang berteman dengan kelenggangan itu, membawa kemujuran bagi si penyewa dari timur jauh. Lalu lintas yang padat membuat sejumlah pengendara memalingkan muka ke pinggir jalan, sekedar untuk membangkitkan kesadaran bahwa kemacetan bukan satu-satu hal yang terdapat di jalan raya. Ada peradaban lain yang berhasil diciptakan manusia. Para pengendara itu melihat sesuatu yang menarik, sebuah rumah makan yang cukup ramai. Empat buah kendaraan, meski tak sebanyak di pusat jajanan, cukup untuk meyakinkan mereka bahwa lokasi itu menawarkan kelezatan. Sebagaimana lazimnya pemahaman umun, untuk menikmati kudapan enak lihatlah tingkat keramaiannya. Semakin banyak yang mengantri, maka semakin dahsyat sensasi yang ditawarkan. Niat pun terucap, besok atau suatu hari lain para pengendara yang jumlahnya tak sedikit itu akan mampir untuk mencicip kenikmatan dari warung milik perantau dari timur jauh.
Hari-hari berikutnya membuat tuan rumah sumringah. Belasan orang mampir untuk menyantap resep buatannya. Hanya butuh kesabaran untuk menikmati manisnya kue kota besar, begitu ia berpikir.
Lambat laun kondisi itu justru mengecewakan si lelaki berwajah kotak dan koleganya sesama penikmat kesunyian. Warung itu, yang sebelumnya menjadi pemuas dahaga di tengah kebisingan, justru menjadi keriuhan itu sendiri. Mereka memutuskan mencari tempat lain yang, tentu saja, menawarkan kesenyapan sebagaimana mereka temukan pada restoran si perantau timur jauh pada semula.
Para petualang kenikmatan, pada dasarnya tidak kecewa, karena makanan di warung si perantau dari timur jauh toh tak bisa dibilang buruk. Ada rasa khas yang muncul saal lidah mencecap berbagai olahan yang tersedia. Namun, kelezatan adalah soal perspektif. Ia tidak hanya dibangun olah situasi faktual ketika lidah bertemu campuran bumbu. Lebih dari itu, respon setelah mencecap turut menentukan. Kesedapan tidak sekedar individual, tapi beriringan dengan narasi sesama penikmat makanan.
Begitulah pada akhirnya para pemburu kenikmatan mulai mencari alternatif-alternatif lain yang menawarkan impresi baru. Memindai dengan mata (dimana muncul keramaian), mendengarkan dengan seksama sayup-sayup pujian yang lalu lalang, hingga mereka memutuskan menyudahi hubungan kausalitas dengan si perantau dari timur jauh.
Kepergian penyuka ketenangan ataupun penikmat keramaian, tak begitu merisaukan sang pemilik warung. Karena, pada akhirnya, rasa lapar dapat mengalahkan kehendak untuk berada di tengah massa maupun keheningan absolut.

1916

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik