Translate

contoh terjemahaan puisi asing ke luar negri

Written By iqbal_editing on Rabu, 24 Agustus 2016 | 06.18

悲しき玩具
(Kanashiki Gangu)
石川啄木
(Ishikawa Takuboku)
呼吸すれば、
胸の中にて鳴る音あり。
凩よりもさびしきその音!
(Iki sureba,
Mune no uchi nite naru oto ari.
Kogarashi yorimo sabishiku sono oto!)
眼閉づれど
心にうかぶ何もなし。
さびしくもまた眼をあけるかな
(Me tozuredo
Kokoro ni ukabu nani mo nashi.
Sabishiku mo mata me o akeru kana)
途中にてふと氣が變り、
つとめ先を休み手、今日も
河岸をさまよへり。
(Tochū nite futo ki ga kawari ,
Tsutomesaki o yasumite, kefu mo
Kashi o samayoeri.)
咽喉がかわき、
まだ起きてゐる果物屋を探しに行きぬ。
秋の夜ふけに。
(Nodo ga kawaki,
Mada okite iru kudamonoya o sagashi ni yukinu.
Aki no yofuke ni)
遊びに出て子供かへらず、
取り出して
走らせて見る玩具の機關車
(Asobi ni dete kodomo kaerazu.
Toridashite
Hashirasete miru omocha no kikuwansha)
……………………………………………………..
Pertama kali yang harus dilakukan terhadap bait-bait puisi ini adalah, mengkajinya kalimat per kalimat. Pada tahap ini, peran pengetahuan penerjemah tentang ilmu tata bahasa dasar sangat diperlukan. Penerjemah harus jeli pada bentukan-bentukan kata yang mungkin agak berbeda dengan tata bahasa yang berlaku saat ini. Misalnya, pada bait ketiga kita menemukan kata yasumite. Bentukan ini tidak biasa digunakan dalam tata bahasa yang berlaku saat ini. Yang biasa digunakan saat ini adalah kata yasunde.
Setelah menemukan bentukan-bentukan yang khusus, selanjutnya cobalah menerjemahkannya secara literal translation; maka bait pertama dan kedua dapat kita artikan sebagai berikut:
  1. Kalau aku bernafas/ada suara di dalam dada/ suara itu lebih sepi daripada angin musim dingin.
  2. Walaupun saya menutup mata/Tidak ada apapun di dalam hati/Sepi pun kembali membuka mata.
Setelah anda mendapat ‘terjemahan’ dari kalimat-kalimat tersebut, apakah proses penerjemahan hanya berakhir sampai di situ? Jika terjemahan tersebut diperuntukkan untuk sebuah karya tulis yang bukan karya sastra, mungkin proses bisa dihentikan sampai di situ saja. Tetapi untuk sebuah karya sastra (terutama puisi), apa yang kita dapatkan dari hasil terjemahan tersebut? Menurut anda, sudah pantaskah hasil terjemahan tersebut di sebut puisi? Sampaikah pesan dan suasana batin yang diungkapkan pengarang? Menurut saya, dari hasil terjemahan di atas kita hanya mendapatkan arti puisi tanpa jiwa. Hanya kumpulan kata tanpa emosi. Sangat kering, bahkan cenderung terdengar menggelikan.  Lalu bagaimana caranya agar jiwa puisi Takuboku dapat kembali tertuang dalam terjemahannya?
Untuk bait pertama sampai dengan kelima tersebut, saya mencoba ‘menggali’ jiwa bait puisi itu dengan mempelajari seluruh sejarah kehidupan Takuboku. Memang, hal ini adalah sebuah tugas yang cukup berat, tetapi dari sejarah kehidupannya itulah, saya dapat mengetahui bahwa Takuboku mengidap Tuberculosis yang cukup parah. Dari kenyataan ini dan kemudian digabungkan dengan sedikit pengetahuan tentang ilmu kedokteran, saya akhirnya dapat memahami bahwa ‘suara dalam dada’ yang didengar Takuboku setiap kali dia bernafas adalah suara yang memang biasa ditimbulkan oleh penderita Tuberculosis setiap kali bernafas. Dengan kata lain, kalimat pertama dan kedua pada bait kesatu memang memiliki pengertian yang harfiah. Sehingga, untuk kalimat-kalimat tersebut, yang diperlukan hanyalah ‘penghalusan’ gaya bahasa agar terdengar lebih puitis.
Suasana batin yang sangat mendalam terdapat pada kalimat ketiga bait kesatu, yang diwakili oleh kata kogarashi. Kogarashi adalah angin kencang yang sangat dingin yang berhembus pada musim dingin. Di negara empat musim, musim dingin biasanya diidentikkan dengan perasaan sepi, mencekam, penuh duka, dan sebagainya. Para penyair Jepang biasa memakai kata ini untuk mengungkapkan perasaan kesepian. Namun bagi Ishikawa (Shinoda, 2000), kata tersebut bukan berarti kesepian seperti layaknya orang yang tidak memiliki pendamping atau kehilangan anak, istri, atau teman, melainkan untuk melukiskan penderitaannya karena mengidap  tuberkulosis, yang saat itu merupakan penyakit yang masih sangat sulit disembuhkan. Setiap orang yang memiliki penyakit tak tersembuhkan, pasti memiliki kesepian seperti ini. Kesepian yang lebih sepi daripada sekedar kehilangan saudara atau teman; kesepian yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang bernasib sama.
Pada bait kedua kalimat pertama, Takuboku menggunakan gaya bahasa puisi Jepang me tozuredo. Dalam bahasa sehari-hari me  tozuredo berarti me o tojita ga atau me o tojita keredomo (=walaupun saya menutup mata). Menutup mata biasa dilakukan oleh seorang penulis/penyair untuk mengimajinasikan dan merasakan luapan emosi dari dalam diri untuk kemudian dituangkan ke dalam karyanya. Namun pada saat itu, di benaknya sama sekali tak terlintas apapun. Takuboku seolah kehabisan ide. Bagi penulis/penyair, kehabisan ide dapat menyebabkan kekecewaan yang sangat besar. Kekecewaan tersebut Takuboku ungkapkan kembali dengan pemakaian kata sepi (sabishiku).
Pemilihan kata pada bait ketiga, nampaknya berhubungan dengan kebiasaan Takuboku yang menyusuri Sungai Sumida di Tokyo setiap kali merasa memiliki tekanan jiwa. Kesulitan hidup membuatnya ingin beristirahat (yasumasite) dari semua kesulitan itu, dan melepaskan semua ketegangannya dengan berjalan menyusuri sungai  (Kashi o samayoeri).
Bait keempat merupakan bait yang memiliki pengertian unik. Pada bait keempat dikatakan bahwa Takuboku mencari penjual buah-buahan yang masih terjaga pada larut malam untuk memuaskan dahaganya. Secara logika, jika Takuboku haus, tentunya akan lebih mudah jika dia minum air saja di rumahnya. Tetapi Takuboku lebih memilih untuk keluar rumah dan mencari penjual buah-buahan yang masih berjualan di larut malam. Pada masa itu, tidak ada penjual buah-buahan yang berjualan sampai larut malam. Dengan kata lain, Takuboku melakukan hal yang sangat tidak masuk akal untuk zaman itu. Berdasarkan pemikiran tersebut, bait ini menurut saya mengandung makna keputusasaan mendalam yang dirasakan Takuboku.
Bait kelima menceritakan tentang Takuboku yang bermain sendirian dengan mainan lokomotif karena anaknya belum pulang dari bermain. Dari biografinya, saya menemukan fakta bahwa Takuboku pernah membelikan sebuah mainan lokomotif untuk anak laki-lakinya yang tidak berumur panjang. Kenyataan ini memberikan penjelasan pada kita bahwa Takuboku menuliskan bait seperti ini untuk mengungkapkan kesepian hatinya dengan pelambangan perasaan Takuboku ketika ditinggalkan seorang anak untuk selama-lamanya.
Setelah mengkaji bukan hanya dari kaidah tata bahasa saja, melainkan juga kita juga mengkajinya secara mendalam melalui sejarah, budaya, latar belakang, dan mood si penyair, kita dapat mengambil sedikit kesimpulan bahwa puisi Kanashiki Gangu bercerita tentang kesedihan, kesulitan, kesepian, kekecewaan, dan keputusasaan. Pemahaman kita akan jiwa puisi Takuboku inilah yang akan membantu kita untuk memilih kata, dan gaya bahasa penerjemahan.
Setelah dibekali cukup banyak pengetahuan tentang suasana batin yang terkandung dalam puisi Takuboku, Kanashiki Gangu, dengan digabung dengan rasa seni yang kita miliki, maka kita dapat menerjemahkannya sebagai berikut:

PERMAINAN LARA
Kala kuhela napasku,
Ada satu suara dalam dada.
Yang melebihi sepinya angin yang telah mati!
Walau kututup mataku,
Namun tak satu pun yang terlintas dalam benak.
Mungkin hanya kesepian yang kembali
membuka mataku
Keinginan sesaat t’lah menggangguku di perjalanan,
Dan sekali lagi aku beristirahat
‘tuk menjelajah tepian sungai
Dahagaku memanggang ,
Kala kucari penjual buah-buahan yang masih terjaga
Di suatu malam yang larut di musim gugur.
Anakku belum lagi pulang bermain; entah di mana.
Maka kukeluarkan mainan kereta api itu
lalu kumainkan sendiri
(Ishikawa Takuboku)

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik