Masa kecil
Abdul Hadi WM terlahir dengan nama Abdul Hadi Wijaya. Ketika dewasa ia mengubah nama Wijaya menjadi Wiji. Ia lahir dari garis keturunan peranakan Tionghoa di wilayah Sumenep, Madura.[1] Ayahnya, saudagar dan guru bahasa Jerman bernama K. Abu Muthar, dan ibunya adalah putri keturunan Mangkunegaran bernama RA Sumartiyah atau Martiyah. Mereka dikaruniai sepuluh orang anak dan Abdul Hadi adalah putra ketiga; tetapi kedua kakaknya dan empat adiknya yang lain meninggal dunia ketika masih kecil. Anak sulung dari empat bersaudara (semua laki-laki) ini pada masa kecilnya sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal. Sejak kecil pula ia telah mencintai puisi dan dunia tulis menulis. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Bersama teman-temannya Zawawi Imron dan Ahmad Fudholi Zaini, Hadi mendirikan sebuah pesantren di kota kelahirannya tahun 1990 yang diberi nama "Pesantren An-Naba", yang terdiri dari masjid, asrama, dan sanggar seni tempat para santri diajari sastra, seni rupa (berikut memahat dan mematung), desain, kaligrafi, mengukir, keramik, musik, seni suara, dan drama.[2]Pendidikan
Pendidikan dasar dan sekolah menengah pertamanya diselesaikan di kota kelahirannya. Ketika memasuki sekolah menengah atas, Abdul Hadi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke Surabaya untuk menuntut ilmu di kota itu. Ia kemudian menempuh pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta hingga tingkat sarjana muda, lalu pindah ke studi Filsafat Barat di universitas yang sama hingga tingkat doktoral, namun tidak diselesaikannya. Ia beralih ke Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung dan mengambil program studi Antropologi. Selama setahun sejak 1973-1974 Hadi bermukim di Iowa, Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, lalu di Hamburg, Jerman selama beberapa tahun untuk mendalami sastra dan filsafat. Pada tahun 1992 ia mendapatkan kesempatan studi dan mengambil gelar master dan doktor Filsafat dari Universiti Sains Malaysia di Penang, Malaysia, di mana pada saat yang bersamaan ia menjadi dosen di universitas tersebut. Sekembalinya ke Indonesia, Hadi menerima tawaran dari teman lamanya Nurcholis Madjid untuk mengajar di Universitas Paramadina, Jakarta, universitas yang sama yang mengukuhkannya sebagai Guru Besar Falsafah dan Agama pada tahun 2008.[3]Karier
Sebagai pengajar, saat ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Falsafah Universitas Paramadina, dosen luar biasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan The Islamic College for Advanced Studies (ICAS) London kampus Jakarta.
Sebagai sastrawan, Hadi bersama sahabat-sahabatnya antara lain Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar dan Leon Agusta menggerakkan program Sastrawan Masuk Sekolah (SMS), di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan Yayasan Indonesia, dengan sponsor dari The Ford Foundation.
Karya
Sekitar tahun 1970-an, para pengamat menilainya sebagai pencipta puisi sufis. Ia memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Seiring dengan waktu, karya-karyanya kian kuat diwarnai oleh tasawuf Islam. Orang sering membandingkannya dengan sahabat karibnya Taufik Ismail, yang juga berpuisi religius. Namun ia membantah. “Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufik menekankan sisi moralistisnya.”Saat itu sejak 1970-an kecenderungan estetika Timur menguat dalam sastra Indonesia kontemporeran, puitika sufistik yang dikembangkan Abdul Hadi menjadi mainstream cukup dominan dan cukup banyak pengaruh dan pengikutnya. Tampak ia ikut menafasi kebudayaan dengan puitika sufistik dan prinsip-prinsip seni Islami,ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual yang dianggap sebagai penyeimbang pengaruh budaya Barat hedonis dan sekuler.[4]
Sampai saat ini Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak Angin, Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.
Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.
Penghargaan
Bulan Maret 2011, Hadi memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. [5] Pada tahun 2014, Abdul Hadi memperoleh Habibie Award di bidang sastra dan kebudayaan.Daftar penghargaan
- Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra Horison (1969)
- Hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta (1978)
- Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1979)
- S.E.A. Write Award, Bangkok, Thailand (1985)
- Anugerah Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003)
- Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia (2010)
0 komentar:
Posting Komentar