Profil
Mangasa Sotarduga Hutagalung lahir pada tanggal 8 Desember 1937 di Tarutung, Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, dan meninggal pada 26 Desember 2004.Pendidikan dan Karier
Sejak di SMP sudah rajin menulis terutama didorong oleh gurunya, Diapari Simanungkalit. Ia beberapa kali memenangkan sayembara menulis. Mula-mula menulis sajak dan cerpen yang disiarkan oleh RRI Medan. Setelah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, kegiatannya lebih banyak menulis kritik dan esai karena gurunya, H. B. Jasin, melihat kekuatannya di bidang ini. Banyak kritik dan esainya dimuat di majalah yang terbit di Jakarta dan harian di Medan.
Pada mulanya ia menulis sajak dan cerpen dan disiarkan oleh RRI Medan. Setelah tamat dari Universitas Indonesia puluhan bukunya telah diterbitkan. Ratusan kritik dan esainya tersebar di koran dan majalah. M. S. Hutagalung lahir di Tarutung, Sumut 8 Desember 1937, lulus tahun 1964 pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mengajar pada fakultas yang sama dengan mata kuliah kesusasteraan Indonesia. Pada tahun 1984 bertugas di Universitas Sains di Penang -Malaysia sebagai dosen tamu. Dia sempat mengenyam pendidikan S2 di Leiden bahkan selama 7 tahun mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Sains Penang, Malaysia. Sebelum pensiun, dia juga mengajar bahasa Indonesia Sastra Indonesia di Universitas Kristen Indonesia, Universitas Nasional, STT Jakarta dan STT Cipanas.
Sejak di awal usia 30, ia sudah sangat aktif membangun GKPI Rawamangun dan ditahbiskan menjadi penatua pada tanggal 31 Desember 1967. Di GKPI pulalah ia mencurahkan banyak perhatian dan melibatkan diri dalam setiap geraknya, pernah menjabat sebagai Guru Jemaat selama 5 kali. Di usia 66 tahun ia menjalani emeritus.
Seorang Sastrawan dan Kritikus
Kritikus Mangasa Sotarduga Hutagalung yang dikenal sebagai pentolan Aliran Rawamangun dalam jagat kritik sastra Indonesia meninggal dunia hari Senin (23/11) dalam usia 71 tahun setelah beberapa bulan menderita penyakit ginjal.Lama menghilang dari percakapan puisi mutakhir Indonesia, pensiunan dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu dikenal sebagai kritikus andal yang pertama dari kalangan akademisi. Namanya mencuat sejak pertengahan 1960-an hingga awal 1970-an oleh ulasan-ulasan sastranya yang diterbitkan dalam bentuk buku serta artikel di majalah dan koran. Sebelum kepada M. S. Hutagalung yang memperkenalkan metode struktural dalam teori kritik sastra, predikat kritikus sastra ditujukan kepada HB Jassin.
Jenazah disemayamkan di kediaman keluarga di Jalan Pemuda Asli, Rawamangun, Jakarta Timur. Menurut keterangan kerabatnya, Henry Sinaga, pemakaman akan diselenggarakan Rabu sore ini. Sebelumnya, pada pagi hari akan diadakan acara adat saur matua di rumah duka, dan siang hari jenazah akan dibawa ke Gereja GKPI, Jalan Belanak, Rawamangun, untuk kebaktian pemberangkatan ke tempat peristirahatan sementara.
M. S. Hutagalung pernah bikin heboh kalangan sastrawan setelah ceramahnya di Fakultas Sastra UI (waktu itu berlokasi di bilangan Rawamangun) pada 24 November 1973. Waktu itu ia mengumumkan bahwa penyair Indonesia terkemuka waktu itu adalah Subagio Sastrowardoyo, baru menyusul kemudian Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan WS Rendra. Pengumuman ini bikin naik pitam penyanjung W. S. Rendra di satu pihak dan pemuja Sutardji Calzoum Bachri di pihak lain. Digelarlah acara ”Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” di Bandung, 8 September 1974, yang antara lain diprakarsai Slamet Kirnanto. Sebagaimana tabiatnya yang tenang adem ayem, M. S. Hutagalung saat itu menanggapi kepanasan hati sastrawan di seberangnya dengan, ”Saya sendiri merasa gembira bila banyak pengarang yang kurang senang pada kritik saya, sebab hal ini menunjukkan bahwa kritik-kritik yang saya buat sebenarnya masih cukup kritis sebagai persyaratan yang harus dalam kritik” (Pengadilan Puisi, suntingan Pamusuk Eneste, 1986).
Sesungguhnya M. S. Hutagalung tidak pernah bercerai dengan sastra. Paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir ini dia giat mendorong fragmen teater, pembacaan puisi, dan penulisan artikel di gerejanya, GKPI Rawamangun, tempat ia menjadi penatua dan dua periode sebagai guru jemaat. Bahkan, dalam satu tahun terakhir ini ia rutin menerbitkan puisi-puisi barunya yang lebih transendental di Buletin GKPI Rawamangun, media mingguan di jemaatnya.
Kehidupan adalah Jantung dari Sastra
Mungkin generasi muda sekarang ini tidak banyak yang kenal dengan Mangasa Sotarduga Hutagalung. Mangasa Sotarduga Hutagalung adalah M. S. Hutagalung pengarang buku sastra dan kritikus sastra. M. S. Hutagalung telah banyak memakan asam garam ikhwal sastra di Indonesia. Pada masa mudanya pada tahun 60-an, Hutagalung banyak menulis tentang kritik sastra terhadap siapa gitu. Ratusan kritik dan esai sastra yang telah ditulis dan dimuat di buku antologi sastra.Pada tahun 1971 -1973 pernah belajar Fakultas Sastra Universitas Leiden dalam program Leiden, studi Pasca Sarjana dalam bidang linguistik Terkenal di kalangan masyarakat kesusasteraan Indonesia sebagai seorang ahli sastra yang telah banyak menulis buku tentang kesusasteraan ; banyak menulis artikel sastra dalam majalah dan suratkabar ibukota, banyak membawakan kerja keras dalam seminar-seminar sastra. Ia juga pernah duduk dalam Komisi bahasa Indonesia yang bertugas membantu penyusunan “Alkitab Terjemahan Baru”.
Karya
Tak kurang kurang dari 10 bukunya yang telah diterbitkan antara lain: Tanggapan Jalan tak ada Ujung Mochtar Lubis (Gunung Agung, cet. 2,1963), Tanggapan Dunia Asrul Sani (Gunung Agung,1967 ), Hari Penentuan (BPK Gunung Mulia,1967), Memahami dan Menikmati Puisi (BPK Gunung Mulia 1971; mendapat penghargaan dari Departemen Pemuda ), Telaah Puisi (BPK Gunung Mulia 1973), Kritik atas Kritik atas Kritik (Tulila, 1975), Membina Kesusasteraan Indonesia Modern (Corpatarin utama 1988), Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru (Tulila, 1989), Novelet Hari Penentuan, Permata Kehidupan Sajak-sajak Lansia (Penerbit Tulodong, 2007) dan ratusan kritik dan esai. Dalam buku ini termuat pembicaraannya tentang hampir semua penyair utama di Indonesia (Angkatan Baru), mulai dari Toto Sudarto Bachtiar, Ajib Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Gunawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Popy M. Hutagalung, Fridolin Ukur dan lain-lain.Di tahun-tahun kemudian terbitlah buku Perjalanan 40 tahun GKPI Jemaat Rawamangun bersaksi, Penatua, Tugas dan Syarat, Menumbuh Kembangkan Jemaat (Kolportase GKPI Rawamangun, 2006).
Puisi Penting, Tetapi Tak Laku
Dua puluh tahun lalu dia pernah berkomentar dalam bukunya Telaah puisi Penyair Angkatan Baru, dan itu juga yang diulanginya ketika saya bertemu dengannya dua bulan lalu di rumahnya bilangan Pemuda Asli, Rawamangun, Jakarta Timur : Saya heran kalau dikatakan bahwa puisi dirasakan penting, tetapi mengapa tidak laku? Disamping yang mendewa-dewakan atau memistik-mistikkan puisi atau sastra, tidak kurang juga banyaknya orang-orang yang melecehkan arti puisi. Bagi mereka puisi itu adalah ciptaan orang-orang yang suka melamun dan hanya berguna untuk orang-orang yang melamun juga. Sajak-sajak yang berserakan di mana-mana dan sajak cengeng dan seenaknya seakan memperkuat alasan mereka bahwa sajak sebenarnya adalah hasil pekerjaan orang-orang iseng yang mempermainkan kata-kata.Kita harus mengakui bahwa zaman kita bukanlah zaman seni, tetapi zaman ilmu, tekonologi, ekonomi dan lain-lain. Tetapi zaman ini pulalah mulai terbukti bahwa apa yang telah agak lama dikahawatirkan orang-orang bijak: merosotnya nilai-nilai kemanusiaan. Tidak kurang dari seorang Menteri Agama kita sendiri berkata bahwa hidup tanpa seni adalah kekasaran. Memang untuk dapat melihat makna sesuatu untuk kehidupan, kita perlu mencoba membayangkan hidup kita tanpa seni. Sebab sesuatu itu mungkin tidak kita sadari lagi maknanya, karena sudah terlalu biasa seperti “udara”. Saya kira memang banyak orang yang sudah tak dapat hidup lagi tanpa musik kesayangannya, tanpa buku sastra, tanpa tari. Tapi tanpa sajak atau puisi? Sangat mengerikan. Anak-anak sekarang kita tidak lagi menyanyikan tentang Pelangi atau Bintang kecilnya Ibu Sud. Dapatkan dibayangkan, kebaktian di gereja akan hambar dan pembicaraan di pesta adat dan antara kita mungkin menjadi kurang semarak dan membosankan, karena tidak diselingi lagi oleh pepatah-petitih atau gaya khas yang kita pergunakan. Pada zaman ini hati kita semakin kebal. Rasa ibahati, belas kasihan, pengorbanan semakin hilang.
Di samping merangsang kepekaan kita pada keindahan, kesenian dan terutama sastra juga selalu merangsang hati kita terhadap kemanusiaan, kehidupan bahkan kepada alam sekeliling. Kehidupan memang adalah jantung dari sastra. Sastra merangsang kita untuk lebih memahami, menghayati kehidupan. Sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan kepada kita, tetapi menampilkannya, mengkonkretkannya.
Permata Kehidupan
Dua bulan lalu bersama Astar Siregar teman mahasiswa dan teman seasramanya di Daksinapati, Rawamangun, telah menerbitkan sebuah buku. Di dalam buku antologi puisi berjudul: Permata Kehidupan, Sajak-sajak Lansia bersampul luks ini, M. S. Hutagalung yang genap berusia 71 tahun 8 desember 2007 ini, menulis 31 judul sajak yang ditulis selama tahun 2007. Maka lahirlah perenungan di dalam relung-relung hati yang amat dalam.Coba kita simak dalam puisinya berjudul Aku ingin menari seperti daun gugur: Aku ingin seperti daun itu/menarikan tarian yang paling indah atau menyanyikan sebauah lagu paling merdu/Sebelum jasadku kembali bersatu dengan tanah/Sebagai ucapan terima kasih kepada Pemberi Hidup atau “Aku Bergegas dan Tersandung”: yang dengan sederhana tetapi sedemikian rupa sanggup menohok kecendrungan manusiawi dan kefanaan kita. Kemudian kita lihat lagi karyanya dalam judul lain seperti “Kunjungan bunda, Cinta terpendam, Sajak untuk isteriku, Menempuh tahun 2007 dengan merangkak”dan lain-lain. Karyanya seperti berbicara langsung dengan Tuhannya : mengakui kegelisahan dan ketakmengertiannya sehingga mengharapkan kembali belajar dan bersekolah lagi tentang ajaran, perintah dan hakikat hidup serta penciptanya.
Komentar Tokoh Lain
“Kumpulan sajak Permata Kehidupan yang ditulis oleh dua sahabat yang kebetulan pada masa produktifnya adalah pengajar di Universitas Indonesia, bukan hanya memberi pengalaman dan pengetahuan pada pembacanya, tetapi juga sekaligus dapat memberi kelegaan pada penulisnya.” kata Prof. Riris K Toha Sarumpaet, Ph.D dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.Membaca sajak-sajak yang longgar namun sungguh dan tulus ciptaan M.S. Hutagalung ibarat membuku buku harian, atau laporan sederhana yang berkisah tentang misalnya dan lain-lain. Seperti berbicara langsung dengan Tuhannya, mengakui kegelisahan dan ketakmengertiannya sehingga mengharapkan kembali belajar dan bersekolah lagi tentang ajaran, perintah dan hakikat hidup serta penciptanya, sang penyair berkata, “Seperti cuaca musim pancaroba/setiap saat bisa berubah, kalau menghadapi yang begini/Aku ingin kembali ke kelas katekisasi.” Penyesalan, pengakuan, dan penerimaan hidup secara berulang berkelebat dalam sajak sajak M.S. Hutagalung seperti tampak pada sajaknya “Permata dan Kerikil” atau “Ingin Jadi Orang Berhidmat dan lain-lain.” Mesin pencuci darah telah melahirkan pesimisme dalam menatap masa depan. Sesuatu yang sangat manusiawi. Segalanya habis. Tetapi kemudian, spirit istri, doa kerabat dan keteguhan iman, memberi penyadaran, bahwa itulah kehendakNya. Maka dengan kehendak-Nya pula, di depan terhampar kemenangan ; optimisme untuk bertahan, bercinta dengan gereja dan jemaatnya, dan bertegur sapa dengan manusia dan kemanusiaan.
Di hiruk pikuk kemajuan dan keblinger manusia, tidakkah mengucapkan serupa ini merupakan pengucapan yang sangat pedih dan dengan cara sederhana sekalipun, mengingatkan dan mendidik kita akan harga sebuah kehidupan? Dengan cara inilah sajak menyapa manusia, dan dengan cara serupa pula penyair melepaskan risau dan gelisahnya, karena tahu dengan komunikasi ini, ia telah mengatakan dan menyuratkan bahkan berbuat sesuatu.
“Renungan tentang masa lalu yang mendominasi puisi M. S. Hutagalung dan tanggapan evaluatif atas kondisi masa kini kerap disampaikan, menjadikan antologi puisi ini seperti menawarkan dua semangat yang berorientasi pada dua masa yang berbeda”, kata Maman S. Mahayana M.Hum, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.” M. S. Hutagalung mencoba menghubungkan masa kini sebagai alat refleksi mengembalikan masa lalu sebagai renungan kontemplatif.
Sementara itu Astar Siregar menempatkan masa kini sebagai alat untuk memaknai posisi kekiniannya sebagai mahluk sosial. Ia begitu perduli pada problem sosial yang seperti memaksanya harus ikut menyuarakan kegelisahannya. Maka ia mencoba memberi penyadaran, betapa pentingnya menatap masa depan dengan gairah cinta kasih dan toleransi” Semangat kesetaraan dan pengagungan yang sejajar pada sesama umat beragama dan sesama manusia, tidak hanya memancarkan élan multikulturalisme dalam lingkup keindonesiaan, tetapi juga diyakini dapat membawa negeri ini pada dua kata kunci : damai dan sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar