Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[1]
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[1]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[1]
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.
Walaupun
tidak sesering dulu,namun pementasan kesenian tradisional Mamanda
masih dapat kita saksikan di beberapa tempat di Banua Anam, bahkan di
Kota Banjarmasin pun beberapa waktu lalu baru saja dipentaskan.
Nah,
melihat fenomena tersebut, rasanya masyarakat Kalsel harus berbangga
dengan kesenian Mamanda yang ettap eksis di tengah banyaknya tontonan
modern seperti film dan sinetron. Lalu akhirnya timbul pertanyaan di
benak kita semua, sebenarnya apa yang mendasari Mamanda tetap eksis
hingga saat ini. Padahal nasib beberapa kesenian teater di beberapa
daerah sudah cukup memprihatinkan. Tengok saja kesenian adat Betawi,
yang diberi nama Jipeng di Jakarta yang saat ini telah tergusur oleh
modernitas warga ibukota.
Menurut
salah seorang seniman Kalsel yangtergabung dalam Forum Komunikasi Media
Tradisonal (FK Mitra) Drs. Sirajul Huda, salah satu kiat yang
dilakukan agar mamanda tetap bertahan adalah dengan pemadatan durasi.
Jika awalnya Mamanda ditampilkan semalam suntuk, saat ini hanya
dipentaskan 2 sampai 3 jam saja.
Hal
ini menurutnya, sebagai salah satu upaya agar masyarakat tetap dapat
menikmati kesenian ini tanpa harus meluangkan waktu semalaman untuk
menyaksikannya. “Inovasi yang kita lakukan adalah dengan pemadatan
durasi dari semalaman jadi hanya dua atau tiga jam saja, hal ini
dilakukan agar masyarakat tetap bisa menikmatinya dan tidak harus
semalam suntuk,” cetusnya.
Tidak
hanya pemadatan durasi, inovasi yang membuat Mamandamasih tetap eksis
salah satunya adalah menambah beberapa tokoh yang disesuaikan dengan
perkembangan tanpa meninggalkan tokoh baku yang harus ada di Mamanda.
Tokoh lain yang dapat
ditambahkan misalnya raja dari negeri lain, jin, penjajah, bahkan tokoh
dari daerah lain dengan nama khas juga bisa menjadi tokoh di Mamanda.
Sedangkan
untuk tokoh yang wajib ada di Mamanda adalah Raja, Mangkubumi, Wazir,
Perdana Menteri, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan Kedua,
Khadam, Permaisuri, dan Anak Raja.
Untuk
jumlah grup Mamanda, sirajul mengaku tidak mengetahui secara pasti
berapa jumlahnya yang masih eksis saat ini. Ia hanya menjelaskan saat
ini yang ia tahu ada tiga yaitu Teater Banjarmasin, Teater Idaman di
Banjarbaru dan satu teater yang berada di Kabupaten Tapin.
Sejarah
Mamanda sendiri berawal dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka
pada tahun 1897 M yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik
Hawa. Keduanya dan rombongan menetap di tanah Banjar beberapa bulan
untuk mengadakan pertunjukan yang akhirnya diadaptasi oleh masyarakat
Banjar dengan nama Mamanda.
0 komentar:
Posting Komentar