Translate

profil djajus pete

Written By iqbal_editing on Minggu, 25 September 2016 | 18.01

3. DJAJUS PETE DAN CERKAKNYA
Djajus Pete, lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 1 Agustus 1948. Djajus saat ini tinggal di Jalan Tambangan II/203, Purwosari, Kabupaten Bojonegoro. Dalam karya-karyanya Djajus sering menggunakan nama samaran Djajus Pete. Tidak ada alasan khusus dari Djajus, mengapa ia menggunakan nama itu.
Laki-laki beragama Islam ini pada tahun 1961, menamatkan sekolah dasar (SD) di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, kemudian melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tahun 1967 di Bojonegoro, pada tahun 1968 melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan terakhirnya ditempuh di KPG Bojonegoro pada tahun 1976.
Pengalaman kerja Djajus diawali sebagai guru sekolah dasar (SD) sejak tahun 1971 di Bojonegoro dan pada tahun 1985—1993 sebagai wartawan Jaya Baya dan Surabaya Post. Kegiatan kepengarangan Djajus dimulai tahun 1967. Ia mengakui dunia tulis menulis baginya adalah semacam bakat yang didukung kerja keras untuk terus belajar menulis yang lebih baik dari yang telah dihasilkan sebelumnya. Pada awalnya Djajus merasa harus banyak membaca karya-karya sastra untuk memenuhi keinginannya yang sangat besar dalam hal menulis. Ia juga menyarankan hal yang sama kepada penulis-penulis pemula. Hingga kemudian, ide atau gagasan itu secara otomatis mengalir dan mengendap dalam pikiran sebagai bahan yang akan dituangkan dalam bentuk karya sastra. Ide atau gagasan tidak harus dicari-cari karena sebenarnya ide itu telah tersedia di sekitarnya. Materi karya-karya Djajus terutama cerita cekak miring sebagian besar adalah berupa pengutaraan gagasan (menumpahkan uneg-uneg) yang dibumbuhi dengan latar penceritaan yang inkonvensional .
Karya pertama yang dihasilkan oleh Djajus berupa geguritan berjudul “Pepesthen” yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat tahun 1967. dalam berkarya Djaus sulit memeberikan gambaran bagaimana proses kreatifnya. Hal tersebut menurutnya, karena sebuah proses kreatif itu bersifat person, cakupannya seperti tudak terhingga, mulai dari bagaimana mengungkap ide (meskipun ide datang dengan sendirinya), hingga berupa sebuah tulisan setelah mengalami proses pengendapan yang sangat lama.
Sering ia tidak langsung menulis apa yang menjadi idenya, tetapi harus memprosesnya terlebih dahulu dengan perenungan yang sangat dalam, barulah dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan atau karya sastra. Djajus mengakui bahwa ia bukanlah glongan pengarang spontanitas yang memunyai keterampilan langsung berhadapan dengan mesin ketik ketika sebuah ide muncul. Ia membutuhkan beberapa tahapan yang bisa dikatakan rumit. Sebuah cerita cekak membutuhkan proses berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dan tidak jarang menambah dan mengurangi dengan gagasan baru untuk menjadi lebih sempurna.
Ia mengakui bahwa pada awalnya ia selalu dibantu oleh pengarang senior seperti JFX Hoery. Hoery lah yang pertama kali memberikan dorongan dan semangat menjadi penulis sastra Jawa. Suripan Sadi Hutomo dalam suratnya selalu memberikan saran, semangat, dan keyakinan bahwa Djajus akan menjadi pengarang yang besar. Dorongan semangat dari tokoh-tokoh besar tersebut disikapi Djajus dengan rendah hati. Ia bahkan terus-menerus mengasah kemampuan, karena ia berkeyakinan bahwa menjadi penulis sastra Jwa ternyata tidak cukup hanya bermodal semangat, tetapi harus masuk dalam taraf penyerahan diri secara mutlak. Artinya, setiap tingakah laku dan perbuatan, sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia rasakan hanyalah untuk kepentingan sastra Jawa. Dorongan menulis seperti itu telah menyatu dalam denyut nadinya. Profesi menulis dijalani dengan sepenuh jiwa, sepanjang masih bernafas, dengan berpegangan bahwa sastra adalah renungan pengarang tentang kehidupan untuk menyebarkan nilai religi, moral maupun filsafat. Bahkan ia berfikir bahwa dirinya bukan guru, melainkan pengarang. Tentang profesi guru yang diembannya tersebut, Djajus mengatakan bahwa itulah jalan pengabdiannya kepada masyarakat secara langsung, sedangkan menulis atau mengarang disebytnya sebagai duania yang ia ciptakan sendiri. Di dunia tulis-menulis itulah Djajus serasa hidup bebas. Kebebasan berekspresi, berpikir dan berkarya itulah yang menjadi karya-karya Djajus menjadi unik.
Tentang peranan penerbit dewasa ini berkaitan dengan profesinya sebagai penulis, menurut Djajus sangat menunjang dalam menerbitkan hasil karyanya, walaupun media-media tersebut keberadaannya masih terbatas, khususnya media yang berbahasa Jawa. Tentang penghasilan, Djajus berpendapat bahwa honor yang diterimanya untuk sebuah karya sastra dapat dianggap belum layak. Akan tetapi, masalah utama perkembangan sastra Jawa tidak hanya itu. Ada faktor yang lebih penting yakni kemauan dan kemampuan untuk secara total nguri-uri bahasa dan sastra Jawa.
Walupun demikian, ia sangat optimis bahwa sastra Jawa masih akan terus hidup, apalagi dibantu oleh media-media berbahasa Jawa karena majalah-majalah tersebut merupakan benteng terakhir media ekspresi estetik sastra Jawa.
Djajus menulis dalam berbagai genre sastra, yaitu cerita pendek (cerita cekak), cerita bersambung (cerbung), dan geguritan. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini ia memfokuskan diri hanya menulis cerita pendek.
Karya monumental Djajus Pete berjudul “Kretek Emas Jurang Gupit”, yang berupa buku antologi cerita cekak. Antologi ini berisi sepuluh cerita pendek yang ditulis antara tahun 1986—1998 dan pernah dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Zed Amidien seorang wartawan majalah Tempo, membantu menerbitkan buku tersebut dengan dibantu sejumlah pengarang sastra yang ada di Surabaya. Antologi cerita cekak “Kreteg Emas Jurang Gupit” merupakan buku Djajus yang memperoleh penghargaan Rancage.
Kesepuluh cerita pendek tersebut adalah “Bedhug” (Panjebar Semangat, No. 19, 10 Mei 1997), “Dasamuka” (Jaya Baya, No. 19/XLVI, 5 Januari 1992), “Kadurjanan”(Jaya Baya, No. 41/XLIV, 10 Juni 1990), “Kakus” (Panjebar Semangat, No. 44, 31 Oktober 1992), “Kreteg Emas Jurang Jupit” (Jaya Baya, No. 47/XL, 20 Juli 1986), “Pasar Rakyat” (Panjebar Semangat, No. 25, 22 Juni 1996) dengan judul “Topeng”, “Petruk” (Jaya Baya, No. 4/XLV, 23 September 1990), “Rajapati” (Panjebar Semangat, No. 49, 5 Desember 1998), “Setan-setan” (Panjebar Semangat, No. 31, 31 Juli 1993), dan “Tikus lan Kucinge Penyair” (Jaya Baya, No. 8/XLV, 21 Oktober 1990).
Setelah membaca sepuluh cerita pendek yang termuat dalam antologi itu, pembaca dihadapkan paad cerita dengan permasalahan-permasalahan absurd. Akan tetapi, dengan keabsurdan itu justru pemca seolah disadarkan bahwa hal-hal tersirat dalam cerita itu sebenarnya amat dekat, bahkan mungkin melekat dan menyatu dengan sifat, sikap, dan perilaku manusia.
Dalam “Bedhug”, Djajus seolah menyadarkan bahwa disekitar kita, masih banyak orang tega melakukan kekejaman, kejahatan, dan korupsi di saat orang lain sedang mengalami kesusahan. Llebih tragis lagi, yang berbuat seperti itu adalah orang-orang yang begitu kita percaya, kita anut, dan kita beri amanat menjadi pemimpin.
Sedangkan pada cerita “Dasamuka”, pengarang mengingatkan bahwa di dalam kehidupan ini keburukan dan kejahatan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Orang-orang jahat merupakan bagian dari orang baik dalm kehidupan manusia. Aturan-aturan atau norma yang dibuat oleh masyarakat tidak selamanya membuat menusia menjadi lebih baik. Absurdisme Djajus menjkadi-jadi dalam cerita pendeknya “Kadurjanan”. Hal ini diperkuat dengan pengakuannya yang ia tulis juga dalam ceritanya itu
Aneh, batinku kaget mlegong. Selawase ngarang cerita wiwit tahun 1971, lagi iki ana paraganing critaku bisa nyebal metu saka kekeraning imajinasiku. Bisa nguwuh nyaruwe marang lakuning crita kang lagi dak garap” (Kreteg Emas Jurang Gupit h.20)
Dalam cerita ini, tokoh cerita Khosin dapat berdialog dengan Djajus Pete sebagai pengarang. Khosin yang dalam cerita itu berperan sebagai pembunuh, memberontak daningin keluar dari alur cerita yang ingin dibuat oleh Djajus. Pada akhir cerita, tokoh Khosin bahkan akan membeli cerita Djajus seharga lima kali honor yang bisa diterima Djajus sebagai pengarang.
Kakus” mengajarka kepada orang agar tidak serakah terhadap ap yang telah didapatkannya. Materi yang berlimpah belum jadi jaminan seseorang akan bahagia di dalam kehidupannya. Dalam cerita ini juga digambarkan bahwa orang yang berkecukupan dalam hal harta, dapat dengan mudah mewujudkan keinginannya, meski itu dilakukan dengan cara mengorbankan orang lain.
Kretek Emas Jurang Gupit”, bercerita tentang keinginan masyarakat yang hendak membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua desa yang selama ini dipisahkan oleh sebuah jurang. Istimewanya, jembatan yang akan dibangun tersebut berbahan baku emas. Membandingkan cerita cekak yang disajikan dalam kumpulan cerita cekak “Kretek Emas Jurang Gupit”, pembaca diajak melihat kenyataan yang sebenarnya tidak mungkin terjadi di alam kenyataan. Hal itu bisa terjadi pada alam bawah sadar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia, percaya dengan janji-janji yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Pada kenyataannya hal-hal yang tidak mungkin itu menjadi jurang pemisah kehidupan social, keadilan, terasa jauh, dan lagi mengharap segalasesuatu yang jauh dari kenyataan hidup. Orang yang selamat ialah orang yang ingat dengan dirinya sendiri da menyadari segala sesuatu yang terjadi dan kita alami, merupakan takdir dari yang Maha Kuasa.
Pasar Rakyat” menyoroti kesewnang-wenangan sebuah system kekuasaan yang melibatkan orang-orang yang secara individu sebenarnya masih mempunyai nurani. Kritik social yang kental juga diungkap oleh Djajus. Cerita ini berkisar pada pergulatan atau konflik tokoh Kamto, seorang anggota Dispol Pamongpraja yang ditugaskan untuk menggususr sebuah pasar liar yang dianggap merusdak keindahan kota besar. Konflik batin timbul saat diceritakan bahw apara pedagang yang brjualan di pasar itu tidak lain adalah tetangga para anggota Pamongpraja. Untuk menghindari agar petugas tidak dikenali, mereka memutuskan untuk memakai topeng. Topeng ini juga merupakan sebuah simbol ketidaktetapan pendirian seseorang, tergantung pada lingkungan yang menguasainya. Meskipun bertentangan dengan kata hatinya, sebuah tugas yang bersifat dilematis harus dilakukan , meskipun kadangkala tidak dapat diketahui untuk apa dan untuk siapa ia berbuat demikian.
Keterpurukan wong cilik menghadapai keras dan kejamnya kehidupan, kembali digambarkan oleh Djajus dengan mengambil Petruk simbol. Petruk, dalam dunia pewayangan merupakan penggambaran tokoh dari rakyat kecil atau kawula alit. Diceritakan oleh Djajus seorang perajin wayang kulit yang mendapat pesanan membuat wayang petruk. Ketika kulit yang sudah digambar tersbut dijemur, mendadak menjadi rebutan segerombolan anjing. Kulit itu diperebutkan oleh berpuluh-puluh anjing sehingga koyak di beberapa tempat. Kulit itu yang semula halus, terpaksa harus direkayasa agar tetap dapat berwujud Petruk. Yang terjadi emudian adalah Petruk bentuk yang tidak seperti biasanya. Petruk yang dibuat kali ini lebih kurus, lebih bongkok, dan lebih hitam. Pesan simbolis yang dapat ditangkap dati cerita tersebut adalah kesengsaraan masyarakat kecil yang disebabkan oleh keangkamurkaan penguasa.
Watege asu iku nistha. Wareg lan kaliren ora ana bedane. Arepa wis wareg diweleg sega daging, imbuh roti lan ngombe susu pisan, ya isih saba pawuhan doyan panganan rusuh. Kaya ngono iku apa irunge mung ambon-ambonen daging wae. Mangka Petruk iku wis ora ana daginge. Kari lulang garing kok dimangsa” (Kreteg Emas Jurang Gupit h. 59)
Begitulah Djajus menggambarkan kesengsaraan kaum yang masih banyak terdapat di negeri ini. sementara masih banyak rakyat yang sengsara hidupnya, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan seolah tidak mau tahu dan tetap mengincar kekuasaan.
Dalam “Rajapati” sekali lagi Djajus berkisah tentang ketertindasan rakyat kecil oleh kekuasaan. Kesabaran seseorang yang tertindas, dalam cerita ini digambarkan sudah habis. Rakyat atau masyarakat tertindas ternyata dapat berbuat nekat dan tidak terduga yang bisa mengacaukan keseimbangan pemerintahan atau kekuasaan yang sedang berjalan. Oleh karena jengkel terus menerus dituduh sebagai pembunuh, seseorang yang berprofesi sebagai pengasah pisau akhirnya membunuh polisi yang menuduhnya itu. Bagi orang tersebut , melakukan kejahatan atau tidak, akibat yang akan ia terima akan sama, yakni tetap dihukum. Daripada ia dihukum untuk kesalahan yang tidak ia perbuat, lebih baik ia melakukan tuduhan yang diarahkan kepadanya, yakni membunuh.
Dalam cerita cekak “Tikus lan Kucinge Penyair”, Djajus Pete sengaja memilih obyek yang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari. dari seekor tikus, pengarang sengaja membuat ungkapan baru, seperti contoh Isti (Istri Tikus), atau Kuslan (Tikus Lanang), membuat karya-karya Djajus semakin menarik. Jika diperhatikan dari cerita cekak satu dengan cerita cekak yang lainnya, menunjukkan sedikit kalimat, tetapi mempunyai makna yang sangat dalam, pendek dan mewakili apa yang diharapkan oleh pengarang. Pengarang yang satu ini dapat dikatakan memang tipe penulis cerita cekak (cerita pendek). Dalam dunia penciptaan, sama-sama pengharang Jawa, namun ia sendiri mengalami pergulatan pemilihan kata dan kalimat yang intens.
Dalam “Setan-setan”, Djajus menceritakan khayalan dan mengungkapkan kritiknya terhaadap dunia penerbitan di Indonesia. Ia menceritakan bahwa di dunia alam lelembut juga terdapat penerbitan. Bedanya, penerbitan di alam lelembut sudah sedemikian majunya. Buku-buku yang diterbitkan tidak dijual, melainkan dibagikan gratis sejumlah empat juta eksemplar. Dalam cerita ini Djajus juga mengkritik cerita-cerita horror di berbagai majalah berbahasa Jawa yang selalu memberikan ilustrasi tokoh setan dengan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan. Setan-setan melakukan protes terhadap manusia yang melakukan pekerjaan itu.
a. Karya sastra berupa Crita Cekak
(1) “Tatu Lawas Kambuh Maneh” (Penebar Semangat, No. 15, 10 Mei 1971), (2) “Erma” (Dharma Nyata, No. 18, Minggu V, September 1971), (3) “Baladewa Ilang Gapite” (Penjebar Semangat, No. 8, 24 Februari 1972), (4) “Wewadi Tansah Kineker” (Penjebar Semangat, No. 28, 24 Juli 1972), (5) “Antinen Sawetara Dina” (Penjebar Semangat), (6) “Rekasane Urip” (Penjebar Semangat, No. 44, 24 November 1972), (7) “Bapak Ana Kene” (Jaya Baya, No. 40/XXVII, 10 Juni 1973), (8) “Tiwi” (Djaka Lodhang, Minggu IV, Oktober 1973), (9) “Ringkih” (Dharma Nyata, No.131

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik