Bentuk monolog lainnya adalah
terjadi ketika aktor (dalam karakter) berbicara dengan sesuatu yang imajiner
(atau orang). Ketika berbicara dengan orang imajiner, karakter dapat mengatakan
hal-hal yang sangat ingin dikatakannya, tetapi tidak mendapatkan kesempatan
untuk mengatakannya, atau tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya, atau
mungkin sedang mempersiapkan diri untuk mengatakannya. Dalam banyak kondisi
terutama dalam audisi monolog, aktor (dalam karakter) sedang berbicara kepada
karakter lain. Aktor adalah membayangkan karakter lain, berbincang dan
seolah-olah menanggapi apa yang dikatakan aktor lain. (Glenn Alterman, Creating Your Own
Monologue, 2nd edition, New York: Allworth Press, 2005)
Apakah monolog juga memiliki alur?
Alterman mengatakan, "Drama monolog memiliki
kejelasan dalam awal, tengah, dan akhir. Tak peduli bentuk monolog yang
diambil, drama monolog adalah cara mengisahkan sebuah cerita, dan cerita yang
baik pastilah memiliki benang merah yang jelas."
Ada beberapa tipe monolog. Alterman berusaha
membedakannya, meskipun diakuinya bahwa terdapat kesulitan sebab dalam
kenyataannya pada monolog-monolog itu sering terjadi hibrid.
Pertama,
monolog naratif biografis. Dalam
monolog ini, aktor mengingat kembali cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa
aktual dalam hidupnya. Aktor/penulis bertindak sebagai narator. Kemungkinan
cuma sedikit, bahkan tidak ada sama sekali untuk menampilkan karakter lain
dalam cerita. Tekanannya, monolog tipe ini menceritakan ‘dongeng’nya sendiri.
Kedua, monolog
karakter biografis. Dalam monolog ini, karakter didorong untuk tampil
dengan mengandalkan dialognya dibandingkan ceritanya. Dalam bentuk ini,
aktor/penulis mengeluarkan ceritanya sendiri, tetapi menampilkan banyak
karakter untuk menggerakkan ceritanya. Alterman mengambil contoh "A Bronx Tale" yang ditulis dan
dimainkan oleh Chaz Palminteri berdasarkan pengalamannya tumbuh di kawasan
Bronx, di mana pada usia 36 tahun, ia menulis cerita tersebut, dan mementaskan
35 karakter tokoh. One-man show.
Ketiga, monolog
fictional character-driven. Dalam monolog jenis ini, aktor/penulis
menciptakan banyak karakter untuk mengekspresikan tema/isu, menunjukkan gaya
hidup, atau menceritakan sebuah cerita imajinatif. Dalam banyak kasus, karakter-karakter
dalam monolog ini konon memiliki kaitan, misalnya, dengan anak-anaknya,
hidupnya, atau masa remajanya di sebuah tempat baik menggunakan karakter real atau imajinatif.
Keempat, monolog
dokumen berbasis relitas. Monolog ini dibuat dari peristiwa kehidupan
nyata. Monologist (aktor/penulis)
menggunakan kata-kata yang tepat dari orang yang terlibat dalam peristiwa yang
diceritakan dalam monolog itu. Jadi, aktor/penulis mengikuti sebuah peristiwa,
jika perlu memotret orang-orang yang terlibat di sana, merekam ucapan-ucapan
atau kata-kata mereka, dan memberikan catatan tentang cara pengucapan kata-kata
tersebut.
Kelima, monolog
topical. Monolog ini sangat bergantung pada peristiwa sehari-hari, seperti
yang terlihat melalui mata monologist
tersebut. Peristiwa-peristiwa itu sebagian otobiografi, sebagian observasi, dan
sebagian pendapat. Ada garis tipis antaramonolog topikal dan stand-up comedy. Keduanya umumnya
menggabungkan anekdot, lelucon, dan pengamatan pribadi. Bagaimanapun, bahwa ada
perbedaan antara keduanya. Untuk satu hal, niat monologist topikal adalah tidak hanya untuk mendapatkan tertawa
dari materialnya. Cerita umumnya menyapu lebih luas, dan biasanya ada lebih
dari kualitas yang kohesif untuk karyanya. Stand-up
komik terutama menceritakan lelucon, meskipun pada kesempatan
tertentu, mereka juga akan mencakup beberapa materi anekdot.
Keenam, monolog
storytelling. Dalam monolog ini, pada hakikatnya, cerita fiksi yang
dipentaskan. Secara umum, monolog ini ditulis dalam bentuk naratif di mana
aktor bertindak sebagai pencerita. Dalam menceritakan sebuah cerita, pada saat
tertentu aktor menghentikan sejenak berceritanya dan beralih menjadi satu
karakter tertentu, dan lalu kembali menjadi narator atau pencerita.
0 komentar:
Posting Komentar