Islam sebagai Fesyen
Agama Islam
telah mengakar begitu lama di Nusantara. Namun di Indonesia di era modern ini, Islam
bagaikan “fesyen” saja atau tren berbusana. Keberislaman hanya dilihat seperti
aksesoris dan pakaian saja sehingga biasa disebut pakaian Islami. Hal
berimplikasi Islam hanya berupa sesuatu yang bersifat simbolik, bukan
substansi.
Banyak orang
mengaku berislam, tapi perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman
tersebut. Islam hanya menjadi baju pelengkap kehidupan saja. Hal ini dikarenakan
mereka berislam karena mengikuti tren saja. Jika di masyarakat tren berislam
cenderung naik, perasaan keberislaman mereka pun cukup naik. Islam seringkali
dilihat sebagai sebagai pakaian belaka bukan iman yang menyentuh hingga ke hati
nurani.
Lihatlah
sinetron-sinetron agamis di televisi. Tayangan-tayangan sinetron itu yang
menjadi acuan para desainer, produsen pakaian dan pedagang pakaian dalam
menetapkan tren berbusana. Sinetron menjadi tolok ukur berbusana yang ada di
masyarakat. Jika aktris dan aktor berbusana
model tertentu, maka ramai-ramai masyarakat mengikuti tren tersebut.
Sinetron
sebenarnya bukan hanya “trend-setter” ia menjadi acuan pola hidup beragama
masyarakat. Itulah kekuatan media yang mampu menyihir masyarakat. Dan sihir
televisi begitu mengena pada kebudayaan masyarakat Islam di Indonesia.
Sinetron-sinetron
agamis yang ditayangkan di televisi Indonesia tidak pernah mengungkap inti
keberislaman itu sendiri. Sinetron di Indonesia hanya mengangkat keberislaman
di permukaan saja. Sinetron-sinetron di
Indonesia hanya melihat Islam sebagai fenomena yang harus diangkat sebagai
bagian dari industri hiburan. Islam disajikan hanya sebagai hiburan.
Masyarakat
Indonesia semakin materialistis seperti halnya yang dipertontonkan oleh sinetron-sinetron
itu. Mereka menilai keberislaman seseorang dari aksesoris yang dipakai bukan
dari perilaku dan hati yang bersangkutan. Keberislaman sebenarnya tidak
memiliki ukuran yang pasti. Namun kitab suci Al-Qur’an mengutarakan cirri-ciri
orang yang bertakwa seperti rendah hati, suka menolong dan bersedekah, taat
pada Allah, dan berbuat kebaikan kepada sesame manusia. Hanya Tuhan saja yang tahu kadar keimanan seseorang. Ilmu-ilmu
mengenai tingkah laku manusia seperti psikologi dan antropologi hanya bisa
mengetahui tingkat keberagamaan seseorang dari upacara-upacara dan nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat, tapi tak bisa mengetahui apa yang ada dalam dada
manusia.
Islam bukan
hanya pakaian, tetapi juga ilmu dan amal. Tanpa ilmu, kata Albert Einstein, agma
menjadi buta. Sedangkan amal-amal Islam adalah amal kebaikan dan perbuatan yang
bermanfaat bagi sesama. Tren berislam di
Indonesia belum menyentuh substansi. Pemahaman masyarakat Islam di Indonesia
belum didasarkan pada kepahaman akan makna dan nilai Islam itu sendiri. Masyarakat
Islam Indonesia sendiri telah terjerumus pada kebudayaan massa.
Keberislaman di
Indonesia didasarkan pada tradisi dan kebudayaan bukan kepada ilmu pengetahuan
keislaman. Kini kebudayaan massa telah mendangkalkan makna keislaman itu
sendiri. Islam bukan hanya nilai dan norma, tetapi juga agama amal (perbuatan).
Islam ditegakkan atas dasar iman dan amal saleh. Sinetron-sinetron di atas
hanya menjadikan Islam sebagai obyek, bukan sebuah agama yang memiliki
nilai-nilai keluhuran.
Untuk memahami
Islam sebagai sebuah nilai dan norma, dibutuhkan pemahaman akan ilmu-ilmu
keislaman. Islam, selain sebagai agama amal, juga agama ilmu. Tanpa ilmu, Islam
tidak akan berkembang pesat sampai sekarang. Pemahaman masyarakat Indonesia
terhadap Islam baru pada tataran simbol bukan ilmu. Padahal ilmu mengantarkan
seorang muslim kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
0 komentar:
Posting Komentar