Translate

cerpen dalam nestapa penerbangan

Written By iqbal_editing on Senin, 02 Januari 2017 | 07.28

ul Cerpen Dalam Nestapa Penerbangan
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Penyesalan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 11 September 2015
Ketika penglihatanku berangsur pulih dan diriku kembali dapat berpikir jernih, awalnya aku pikir semua sama saja seperti tadi: dingin menggigit dan gelap gulita. Aku yakin, tentu saja ini bukan surga. Ini masih di bumi. Lagi pula, jika aku benar-benar tewas aku tak yakin akan masuk surga. Aku telah siuman dari pingsan yang lama. Dan ya ampun! Cairan merah itu mengucur di sejumlah tempat di tangan dan kakiku. Ku coba menggerakkan seluruh anggota tubuh dan hasilnya, seluruh bagian itu juga, terasa ngilu dan perih sekali.
Aku melihat keganjilan di sekelilingku. Saat mataku telah mencapai puncak ketajamannya, samar-samar seberkas cahaya berangsur nampak. Cahaya yang tak lain adalah purnama yang sinar redupnya jatuh dan agaknya juga memberikan sedikit bantuan penerangan buatku. Berkat cahaya itu di sekelilingku terlihat pohon-pohon raksasa bercabang semrawut beserta belukar dan rerumputan yang tertutup rinai kabut. Hutan? Ini di hutan?
Sekonyong-konyong pikiranku terbenam pada peristiwa yang barusan terjadi. Saat itu aku duduk di sebuah kursi empuk? sangat empuk malah, di sebelah Ayah dan Ibuku duduk di depan bersama Adikku. Ayah memberitahuku cara memasang sabuk pengaman yang benar. Waktu itu senang sekali rasanya, pertama kali menaiki pesawat. Dan aku pun ingat, itu adalah peristiwa beberapa jam yang lalu, ketika keluarga kecilku akan berlibur di Lombok.
Oh, jadi begitu rupanya. Jadi itu yang membuatku sampai di hutan dan mencetak luka-luka mengerikan ini. Tasku beserta isinya benar-benar remuk redam ditindih puing-puing pesawat. Aku memiringkan badan ke sisi lain sebagai cara untuk bangkit. Di sampingku tergeletak beberapa manusia yang pakaiannya berlumuran darah segar dan kakinya membengkok dengan tidak lazim. Wajahnya nanar dan pucat, kulitnya sejuk, tertindih puing-puing pesawat.
Sebagai bocah berumur empat belas tahun tentu emosiku belum sepenuhnya terkendali sebagaimana mestinya. Refleks aku tersentak dan beringsut menjauh sembari memekik takut. Darahku tersirap melihat dua di antara mereka adalah Ibu dan Ayah. Rasa panik yang amat sangat malah membuatku mendekat untuk membangunkan mereka. Ku guncang-guncangkan tubuh Ayah dan Ibuku, mereka sama sekali tak bergerak. Tuhan, jeritku pilu.
Saking kagetnya, napasku tersengal-sengal seakan asma, sempoyongan. Ku paksakan untuk berdiri meski itu sakit sekali dan berjalan menyusuri belukar demi belukar. Dengan tertatih-tatih namun pasti menahan pedihnya rasa sakit seolah sendi-sendi rusak ini bergesekkan dengan kuatnya, menyuarakan protes. Aku hendak menangis, namun itu ku tahan untuk sementara waktu. Langkah demi langkah tanpa tujuan, ku lakukan untuk mencari penumpang lainnya yang masih hidup. Aku ingin minta tolong.
Dari setiap ranting-ranting pohon yang ku sibak, dan setiap semak-semak yang ku suruk, yang ku temukan hanya puluhan orang terkapar. Mereka semua bernasib sama satu dengan yang lain, tewas. Aku hanya menyaksikan mereka sambil mematung sunyi tanpa bernapas. Sungguh pemandangan yang menyayat. Sejenak perhatianku terpaku pada seorang berseragam rapi dan mengenakan lencana yang mulutnya berlumuran darah, aku yakin itu adalah pilot dari pesawat yang ku tumpangi. Ku alihkan tatapan, sadar bahwa seluruh petugas juga telah tiada: pramugari, petugas kesehatan, asisten pilot.
Ku teruskan langkah terseok-seok, tidak jauh dari jenazah pilot. Ku lihat seluruh manusia-manusia di sini yang merupakan penumpang adalah mayat. Di mana-mana mayat. Mereka hanya seonggok daging dan tulang-belulang yang berdesakkan bersama puing-puing dari logam. Bahkan di sana-sini semata-mata merah adalah warna dominan yang membanjir di pakaian mereka. Berbencah-bencah dan turut mewarnai tanah, kerikil, dan dedaunan yang busuk berguguran.
Pikiranku melayang tak tentu rimbanya. Aku semakin panik saja. Terpincang-pincang menyusuri hutan. Aku sendirian dan itu membuatku takut sekali. Barangkali temanku saat ini hanyalah cahaya remang-remang bulan yang setia menerpa rambutku. Menerpa jaket kumalku. Menerpa celanaku. Namun yang seperti itu tak akan pernah ku anggap sebagai teman karena dia tidak hidup. Dia tidak berbicara. Dan dia tidak membantuku mengatasi masalah. Cahaya bulan itu hanya menyertaiku. Mungkin juga seperti itulah pandanganku terhadap teman di sekolah. Maka tidak heran aku dianggap sombong oleh teman-teman seusiaku. Anehnya aku pun juga menganggap mereka sombong, berani-beraninya mengomentari pemikiranku. Ini hidupku, kisahku. Hingga kisah itu sampai di sini.
Semakin jauh menyusuri hutan, semakin lebat pepohonan dan semakin pekat kabut menghalangi pandanganku. Suasana berangsur kelam karena cahaya itu tidak lagi menyertaiku hingga akhirnya gelap gulita. Di wilayah ini aku hanya bisa mengandalkan naluri dan telingaku. Adakah penumpang yang masih hidup terdampar hingga sampai di sini? Aku berteriak serak. Entah siapa yang ku panggil, setidaknya untuk memastikan masih adakah orang yang selamat. Namun, tahukah kau suara apa yang membalas teriakanku? Hanya kepak sayap burung-burung dan desir angin!
Namun itu sudah tiga jam yang lalu. Aku kembali lagi menuju lokasi jatuhnya pesawat. Saat ini, detik ini juga, aku sudah berada di samping Adikku, Jimi. Ia masih hidup, tapi tragis. Aku tak sanggup memindahkannya dari himpitan puing yang berat karena kakinya robek. Darah di wajahnya sudah beku. Ia tidak mengatakan sesuatu seperti yang biasa dilakukannya dengan suara yang pelan. Tidak, ia tidak berkata apa-apa. Tapi dia masih bisa tersenyum untukku.
Senyuman yang manis mencolok di antara desakan mayat-mayat. Aku hanya bisa menggeleng-geleng pelan tanpa henti sambil menatapnya iba. Tak ada yang dapat ku perbuat untuk menolongnya. Hingga akhirnya ku biarkan kepalaku merebah perlahan di sisinya. Di antara korban-korban lainnya. Menemaninya. Aku tahu sampai kapan pun ia tak akan menghilangkan senyumannya. Ku peluk tubuh hangat itu dengan kedua tangan. Ku terawang langit malam yang kelam, begitu aku menghembuskan napas lelah.
“Jimi…” hanya itu saja yang terucapkan olehku.
Jimi hanya menyentuh kepalaku dengan tangannya. Begitu dingin dan pucat jemarinya mengusap-usap kepalaku tanpa henti, seakan-akan mengalirkan kodrat sejati menjalari urat-uratku.
“Kau tahu, Jimi, orangtua kita… mereka pergi. Begitu pula seluruh orang dari pesawat yang kita tumpangi. Hanya kita, Jimi. Hanya kita manusia yang masih bernyawa di hutan ini. Kita kecelakaan…”
“Kak, setidaknya ini sudah di Lombok.” Jimi terkekeh pelan.
“Kita tidak di Lombok, kita masih separuh perjalanan! Kita terdampar ratusan kilometer dari rumah. Mengapa kau begitu positifnya berpikir, Jimi?” aku mulai terisak. “Dan apa yang dapat diperbuat oleh dua orang pelajar SMP selain duduk meringkuk dan menunggu takdir? Mungkinkah kita menelepon seseorang di Sumatra, di hutan lebat yang sama sekali tak terjamah sinyal menara telekomunikasi?”
“Aku sayang Kakak, dan mungkin Ayah-Ibu juga menyayangimu jika Kakak tidak sesensitif itu.” Jimi berkata lirih.
Aku bungkam setelah mengerang tadi. Ke dalam rongga kulitku menyusup rasa sejuk dan nyaman seperti hembusan angin lembut pada saat fajar merekah. Ku pejamkan mata sesaat.
“Jika pesawat itu tidak jatuh, kita pasti tidak akan seperti ini. Bersenang-senang di pantai. Kebun binatang. Rumah Nenek. Luka-luka ini tak akan ada. Kita berempat bahagia, tentunya. Bersama Ibu, Ayah…” oh tidak, air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata ini dengan segera berlinangan, jatuh membasahi kaus Jimi.
Aku seperti memeluknya hanya untuk sekadar dijadikan tisu. Mengapa aku jadi menyinggung-nyinggung perihal keluarga? Mereka telah pergi, habis perkara. Carilah hidup yang baru. Itu prinsipku dahulu. Namun, sekarang aku menyalahi itu. Otomatis sekarang aku telah menjadi bocah yatim-piatu paling menyedihkan di dunia, dan harus aku akui bahwa aku masih butuh mereka.
“Seharusnya kita sudah di depan pintu rumah, Jimi. Dengan memanggul seonggok oleh-oleh dan uang. Dan keesokan harinya kita sudah di sekolah, menjalankan aktivitas seperti biasa…”
Tangan pucat itu masih saja mengusap-usap kepalaku.
“Aku akan menarik semua itu darimu, Jimi. Sungguh aku menyesal, dan penyesalan itu semakin membekas lantaran sadar perasaan itu selalu datang terlambat. Maukah kau memaafkanku, Jimi? Memaafkan segala kebusukan terpendam yang aku lampiaskan padamu? Memaafkan ketamakan-ketamakanku? Sebenarnya hati kecil ini terus memperingatkanku, untuk segera meninggalkan sifat-sifat jelek itu. Namun aku semakin kalap saja dari hari ke hari. Kau begitu naif padaku, kau tak pernah mengadu tentang kelakuanku sejak lima tahun yang lalu, ketika kau divonis kanker darah oleh dokter.
Mengapa kau tak melakukan itu, Jimi? Mengapa kau tidak melaporkan tingkah-polahku kepada Ibu, Ayah dan guru-guru di sekolah? Aku tahu kalau kau tahu bahwa aku ini memiliki ego yang kelewat batas. Jangan hanya karena aku ini Kakak semata wayangmu, Jimi, yang membuat ketulusan hatimu makin membuatku iri. Walaupun hampir setiap orang yang kau kenal bersimpati dan menyayangimu kau tetaplah anak yang lemah. Kau sama saja menyia-nyiakan kesenangan hidupmu, dan membaginya pada orang yang tak pantas. Kepada seorang penggelap mata.” Tetes demi tetes air mataku semakin deras.
“Tidakkah kau ingat, Jimi? Atau apakah lantaran liburan ini yang membuatmu semakin baik padaku, tentang apa saja yang selama ini ku perbuat padamu? Aku yang berpura-pura tak sengaja membuat tabung cuci darahmu bocor. Aku yang selalu menjadikanmu sarana melampiaskan marah yang tak berujung. Aku yang setiap minggu mencuri tabunganmu, di saat kau tertidur lelap pada tengah malam dan kau tak pernah memergokiku. Aku yang melemparimu bola voli di taman saat sepulang sekolah, bukan Jack si preman senior. Dan lemparan itu yang menyebabkan tulang lehermu bergeser sehingga kepalamu harus diberi penyangga selama lima bulan.
Aku yang merobek buku PR-mu agar kau dimarahi gurumu. Semua itu kau tahu karena dan untuk apa? aku iri karena seluruh orang memerhatikan dan menyanjungmu, sementara aku ini dicampakkan dan dianggap tak ada. Padahal itu tak benar, itu hanya dendam yang dibesar-besarkan. Dan aku malah merasa apa-apa yang ku lakukan itu belum cukup untuk menambah deritamu…”
Sekonyong-konyong tangan Jimi berhenti mengusap-usap kepalaku.
“Apakah kau benar-benar mengikhlaskan semua perbuatan burukku padamu? Apa kau masih menyayangiku? Itu semua tak mungkin dimaafkan, Jimi. Aku juga mengerti, betapa tak pantasnya meminta maaf di saat-saat seperti ini. Di saat kejahatan tak dikenal lagi, dan keselamatan adalah kebutuhan. Begitu loyalnya dirimu, dan kau masih saja loyal sampai sejauh ini, sampai aku tak mau kehilangan satu-satunya yang tersisa dari apa yang ku miliki di dunia, yaitu kau.” Aku menangis sesal.
Lalu, masih terbaring di sisi Jimi, dengan kaku ku gerakkan tanganku, mencoba meraih kepalanya, dan balas mengusap-usapnya sebagaimana yang tadi dilakukannya untukku. Ku tarik napas dalam-dalam dan bahkan sangat dalam tanpa menghentikan gerakan tanganku. Ku pejamkan kedua mataku sejenak sambil menghembuskannya. Ku rasakan halusnya helaian rambut Jimi, meski pada kenyatannya rambut itu kasar. Kini, kami berdua berbaring di antara mayat-mayat dan daun-daun berguguran, bersama dilingkupi dinginnya malam dan di bawah rindang pepohonan di hutan yang luas, entah di mana.
Aku terperanjat. Sudah beberapa lama Jimi bungkam. Dia sama sekali tak merespon kata-kataku. Aku tak mendengar sedikitpun suara embusan napas selain dari diriku di tempat sehening ini.
“Jimi… kau tertidur?” tanyaku.
“Jimi?”
Firasatku memburuk untuk yang kali ini. Aku berusaha duduk dan mengingsut agar semakin sangat dekat dengannya. Matanya terpejam. Ku rasakan tak ada aliran udara dari bawah hidungnya. Detak jantungnya juga tak terasa.
Oh tidak, sepertinya dia koma! Terakhir, ku coba mendeteksi denyut nadinya. Aku pernah membaca artikel di majalah tentang cara memastikan hidup-tidaknya seseorang. Dan semua cara di artikel itu yang masih melekat di ingatanku, sudah ku lakukan dengan benar. Barangkali memang. Barangkali dia memang…
“Jimi! Jimi! Bangunlah! Kau dengar Kakak?! JIMI! Ku mohon bukalah matamu!” aku menjerit seraya mengguncang-guncangkan tubuh yang penuh luka gores itu.
Ku tepuk-tepuk kedua pipinya dengan kuat. Histeris, penuh kecemasan. Dia tak menunjukkan gejala kehidupan. Dan setelah sangat capai ku lakukan itu dan suaraku seolah habis, akhirnya aku berhenti. Menyerah. Tidak, tidak, tidak, ini mustahil. Ini hanya mimpi buruk, hanya mimpi buruk. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mengusir tempat ini, mayat-mayat dan pepohonan ini, dari gambaran sensorik di mataku. Kembali ke rumah. Ke bandara. Atau ke tempat apa saja yang menyingkirkanku dari mimpi ini.
Dan setelah beberapa jam sejak sadarnya aku dari pingsan, pecahlah tangisku yang sesungguhnya. Tangis yang tak pernah sedahsyat ini semenjak usia tujuh tahun. Meraung-raung, memeluk erat jenazah Jimi. Dalam sekejap mataku sudah sembab kemerah-merahan. Aku serasa ingin melayang. Lebih tepatnya aku hendak gila atas semua ini. Air mataku sudah banyak mengotori baju Jimi. Tumpah dan terus mengalir silih berganti tiada berhenti. Seolah-olah aku merasa tiada lagi bagian yang kering di wajahku.
Tidak! Mimpi burukku lengkap sudah. Kini, satu-satunya penumpang pesawat yang masih hidup adalah Aku. Ayah, ibu, Jimi, semuanya, mereka meninggalkanku. Mereka pergi. Mereka sudah jauh berpisah selama-lamanya dariku. Tak ada satu suara pun yang terdengar selain tangisanku. Bahkan desir angin dan kepak sayap burung-burung pun sama sekali tak bermunculan. Aku menjerit dalam hati, bahwa, Tuhan sangat tidak adil. Begitu teganya memberi ganjaran pada anak laki-laki yang belum bisa apa-apa seperti aku.
Aku benci dan sangat benci Tuhan. Ingin rasanya tanganku mengambil serpihan logam kecil yang merupakan puing pesawat dan menikam tengkukku sendiri, menyusul mereka. Namun, di sisi lain aku belum mau mati. Karena, aku masih ingin bernapas, menikmati kesenangan dan keindahan dunia. Sampai saat ini, aku belum merasakan seperti apa kebahagiaan hidup itu. Dalam kegelapan, keheningan, dan dinginnya malam di hutan sepi, aku terus menangis hingga kepalaku berkunang-kunang serasa melayang. Entah sampai kapan, menunggu hasil kerja keras tim SAR.
Sendirian.
Cerpen Karangan: Falya Zakira

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik