Judul Cerpen Dari Sebuah Kaca Mata
Cerpen Karangan: M. Ubayyu Rikza
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 16 February 2016
Mentari tak pernah berkhianat, seperti biasa ia kembali dari ufuk
timur. Semburat kilaunya menyelinap ke dalam kopi pagiku. Dengan
digdayanya, seakan ia mampu merubah hitam menjadi seterang cahanya.
Tidak! hanya malam yang bisa ia kalahkan. Biarkan kopiku tetap hitam,
sekali pun hanya tersisa seteguk cafeinnya, karena cafein yang lain
sudah ku pindahkan ke dalam tubuhku. Berharap dapat merubah genre detak
jantungku menjadi hentakan semangat. Tidak lagi melankolik.
Dari kaca mataku terlihat embun suci itu masih hinggap di bougenville
depan rumah. Mereka nampak mesra tanpa rasa, dalam hati hanya berbisik,
“Hanya perlu menunggu waktu untuk melihat mereka berpisah tanpa
kesedihan ataupun penyesalan.” Setegar itukah mereka? atau mereka telah
menyadari begitulah hukum alam, yang selalu menikah-ceraikan semaunya?
Desis angin membelai mesra rambutku, lagi-lagi tanpa rasa, tapi kali ini
syarat makna. Seakan angin ingin membawaku dalam permainannya. “Tidak,
tidak!” bersamaan dengan itu, dingin pun datang merambat ke sekujur
tubuhku, membuat bulu romaku tegak berdiri. Wangi angin menerobos hingga
paru-paruku, melegakan semua sesak yang membebani. Ku pejamkan mataku,
dan ku nikamati lembut hembusannya.
Saat ini aku memang mulai tersadar, dan telah terbangun dari
perjalanan panjang sebuah mimpi, melewati lika-liku mimpi yang tak
bertepi, hanya untuk menjemputmu kembali. Aku pernah sekeren itu, atau
sebodoh itu? “Fuuh..” ku buang jauh napas masa laluku. Kini mataku
terbuka, meskipun sebenarnya apa yang aku lihat hanya samar-samar, jika
tanpa sebuah kaca mata. Dari sebuah kacamata, aku kembali melihat dunia
yang indah. Bunga-bunga dalam pot pun tetap mekar, padahal akarnya tak
mampu merambat bebas. Kenari dan kutilang yang terkurung sangkar pun
masih asyik bernyanyi, padahal mereka terpenjara dalam jeruji-jeruji
kesenangan manusia. Memang begitulah hakikat keindahan, tak bisa disekap
keadaan dan waktu.
Hujan juga membuat bunga-bunga di taman kecilku menjadi subur dan
anggun. Tanpa harus aku sirami, karena takdir telah menyiraminya. Aku
pun mestinya belajar dari itu, meskinya juga hujan di mataku membuatku
semakin kuat, bukan layu. Di bawah ranting-ranting bunga terlihat
sekelompok semut yang berbanjar menopang makanan yang jauh lebih berat
daripada beratnya. Ia mampu, aku pun harus mampu. Pelan-pelan aku
menyeruput kopiku, agar ampasnya tak sampai ku telan. Karena ampas hanya
seperti masa lalu, yang memang kita butuhkan untuk merangkai rasa, tapi
tak harus kita nikmati pahitnya.
Dari sebuah kacamata, aku membaca catatan kecil yang dari tadi sudah
ku pegangi, perlahan ku buka lembar demi lembar, sejauh yang ku lihat
hanya berpuluh-puluh puisi yang menggambarkan tentangmu, tentang
kisahku. Ada satu lembar yang mengganjal dari semua lembarnya, kertas
itu terlihat kusam, dan di ujung kanan paling bawah terlihat sobekan
yang hampir membuat kertas itu terpisah, dengan sedikit ragu perlahan ku
baca puisiku.
“Sadarku terkurung di langit senja
Jutaan sendu menghiasi hitam mataku
Meretas kelabu tak berdaya
Menjadi layu menantimu di ujung hariku
Sang digdaya tak mampu berjaya
Mendung menguasai kekosonganku
Menghitam di langit anganku
Menangis pun tak mampu membasahi nuranimu
Pelangiku tak sesempurna dulu
Semua semu menghujam indah warnamu
Darah masih mengalir dalam luka
Tangis awan mengalun berbalut senja
Dalam dadaku engkau masih bersandar
Antara aku akan mati atau engkau akan memudar
Goyahlah yakinku, Tusuklah relung nuraniku
Kobarkanlah api dendammu di ujung senjaku
Lihatlah, aku tetap tegak!
Napasku tetap mengharum memujamu
Mawar indahku masih kusimpan untukmu
Akan kucoba memejamkan jingga tanpa luka
Menutup angkara tanpa dogma
Atau akan tetap sendiri tanpa pernah bersamamu?
Aku masih terluka dalam bahagiamu
Bersembunyi di balik hangat bayangmu
Menjaga sepi agar tetap berarti
Hingga engkau kembali mewangi
Meredalah, temani aku dalam ketiadaanku
Tersenyumlah, dunia ini masih seutuhnya milikmu”
Aku tersenyum, dan berbisik dalam hati, “Kamu abadi dalam setiap baris puisiku.”
Cerpen Karangan: M.Ubayyu Rikza (Bay)
cerpen dari sebuah kaca mata
Written By iqbal_editing on Rabu, 18 Januari 2017 | 02.39
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar