Cerpen Karangan: Sintiya Nuri
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Keluarga, Cerpen Nasihat
Lolos moderasi pada: 17 June 2013
Sempat aku merasa hidup ini tak adil untukku, aku selalu bertanya dalam hatiku, kenapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan yang orang-orang rasakan? memiliki keluarga yang sempurna, mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua. Memiliki ibu dan ayah, kakak dan ade, dan yang lainnya. Mungkin rasanya akan begitu bahagia memiliki banyak keluarga. Dan pada saat-saat tertentu bisa berkumpul bersama.
Aku sering lihat teman-temanku, tetanggaku yang selalu ramai dirumahnya. Meskipun dalam keadaan ekonomi yang sederhana tetapi mereka terlihat begitu bahagia. Aku juga iri jika melihat temanku yang terlahir dari keluarga yang serba kecukupan, mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbeda denganku apa yang aku inginkan tak pernah aku dapatkan sekalipu kasih sayang dari seorang Ayah.
Aku lahir dari keluarga yang sederhana. Sekarang aku tinggal hanya bersama ibuku dan kakakku, setelah perceraian di antara ibu dan ayahku. Pada saat itu usiaku baru 4 tahun, meskipun pada saat itu aku masih kecil, tapi aku masih teringat akan kejadian itu, kejadian yang sangat menyakitkan bagiku. Dulu memang aku tidak merasakan apa-apa karena aku belum mengerti sebenarnya apa yang telah terjadi, tapi kini aku telah dewasa aku telah mengerti semuanya dan itu sangat menyisakan luka yang mendalam. Mungkin sampai mati pun aku akan terus teringat kejadian itu dan luka itu terus ada.
Tapi meskipun mereka telah bercerai aku ingin mereka tetap menyayangiku seperti dulu waktu masih bersama. Tapi semua keinginanku itu tidak terwujud. Aku hanya merasakan kasih sayang dari sebelah pihak yaitu dari ibuku saja, karena aku memilih untuk tiggal bersama ibu, tapi meskipun begitu seharusnya kan seorang Ayah memberi nafkah anak-anaknya.
Aku tau, aku sadar aku memang bukan anak satu-satunya aku masih mempunyai seorang kakak kandung dan 2 orang adik dari pernikahan ayahku yang kedua yang menyebabkan perceraian ibu dan ayahku itu. ayahku tidak adil, Dia hanya menyayangi anak-anaknya dari istri pernikahan kedua. Sedangkan aku dan kakakku hidup terlantar makan dan untuk biaya sekolah pun hanya mengandalkan penghasilan dari seorang ibu yang tidak seberapa. Memang Dia sempat memberikan nafkah untuk aku dan kakakku, tapi itu masih sangat kurang, untuk biaya makan pun itu tidak cukup apalagi untuk biaya sekolahku dan kakak.
Aku sempat berbicara dengan ayahku, meminta sesuatu yang menjadi hakku, tapi apa yang ku dapat hanya sebuah kata-kata tangan dan cacian yang membuat hatiku terluka.
Dan dari situlah aku tidak pernah bicara lagi dengan nya, apalagi meminta sesuatu kepadanya. dan aku tidak pernah ingin melakukan hal itu lagi.
Ayahku telah mengecewakanku kedua kalinya dan aku tidak ingin terus kecawa olehnya. Aku hanya bisa berdoa semoga Dia sadar atas apa yang telah Ia lakukan kepada anaknya.
Sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengan Ayahku lagi, dan aku juga tak pernah berharap bisa bertemu dengannya lagi. Tapi aku sadar bagaimanapun Dia adalah Ayahku, tanpanya aku takan ada di dunia ini. Maka dari itu aku masih memberikan kesempatan untuknya. Jika Dia minta maaf maka aku akan memaafkannya. Tapi sebenarnya aku telah memaafkannya meskipun dia belum meminta maaf.
Meskipun aku telah memaafkan ayahku. Tapi luka yang dibekaskan olehnya masih tersimpan di lubuk hatiku dan masih terasakan sakitnya. Aku tidak ingin larut dalam luka itu, maka dari itu aku selalu mencari aktivitas yang bisa melupakan rasa sakit dari luka yang aku rasakan. Akan tetapi sulit dipungkiri, jika ada orang, taman-temanku dan guru-guruku di sekolah menanyakan tentang Ayahku, aku selalu teringat akan semua yang pernah Dia lakukan padaku yang membuat aku terluka. Aku bingung apa yang harus aku katakan untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku hanya terdiam dan meneteskan air mata. Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku dihadapan mereka. Padahal aku di sekolah dikenal orang yang paling tangguh, pantang menyerah, dan tidak pernah mengeluh. Tapi jika aku dilontarkan pertanyaan itu ketangguhanku meleleh, lemah tak berdaya.
Sekarang semua orang sudah tau kelemahanku. Aku tidak ingin semua itu menjadi kelemahanku.
Aku selalu menyesali semua yang terjadi dalam hidupku.
“Kenapa harus aku yang merasakanya?”
“Kenapa jalan takdir hidupku seperti ini?”
“apa salahku? Apa aku tidak pantas merasakan merasakn kebahagiaan dalam hidupku?”
Lalu aku menceritakan semua keluh-kesahku kepada ibuku tercinta. Dan Beliau mengatakan kepadaku:
“Nak, semua yang terjadi dalam hidup kita sudah ada yang mengatur yaitu ALLAH s.w.t. Allah telah mengatur suratan takdir kita, dan kita tidak pernah tau apa yang akan direncanakan_Nya. Ambilah hikmah dan pelajaran dari cobaan yang diberikan_Nya kepada kita. Karena setiap cobaan sebesar apapun pasti ada jalan keluarnya. Jangan pernah kamu sesali apa yang telah menimpa hidup kita.
Coba kamu lihat, Anak-anak jalanan sebagian besar dari mereka yatim-piatu.
Mereka tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya. bahkan Mungkin mereka tidak pernah tau siapa Orang tuanya. Seperti apa wajah orang tuanya mereka tidak tau. Tidurnya pun di emperan, mungkin saja mereka kelaparan.
Kamu harus bersyukur Nak, masih mempunyai kedua orang tua yaitu ibu dan ayah meskipun telah berpisah. Tapi ibu sangat menyayangimu.
Meskipun ayahmu seperti itu, tapi ibu yakin ayahmu pasti menyayangimu. Karena sejahat apa pun orang tua pasti menyayangi anaknya. Suatu saat pasti kamu akan merasakannya.
Ingat Nak, sebelum kita melihat orang yang lebih tinggi derajatnya dari kita, kita harus melihat dulu orang yang derajatnya di bawah kita. Agar kita selalu bersyukur, karena masih ada orang yang tak seberuntung kita”.
Aku merenungkan kata-kata ibu dan pada saat itu aku baru tersadar tak sepantasnya aku merasa hidup ini tidak adil untukku, karena ternyata masih banyak orang yan nasibnya tak seberuntung aku, tapi mereka tetap menghadapinya dengan penuh rasa syukur. Tidak sepertiku yang selalu menyesali takdirku.
“Ya, Allah ampunilah aku yana tak pernah bersyukur atas nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku. Ampunilah aku atas keraguanku kepada Mu. Sekarang hamba yakin bahwa setiap cobaan sebesar apa pun yang Engkau berikan pasti ada jalan keluarnya dan hikmahnya”.
Aku telah menemukan hikmah dalam hidupku yang mampu menyadarkanku dari semua kesalahanku. Sekarang aku tidak pernah menyesali takdiku lagi. Semua ini berkat Ibu dan tak luput dari kekuasaan Allah s.w.t.
Aku bersyukur memiliki seorang Ibu yang luar biasa selalu membimbingku kedalam kebaikan.
TERIMAKASIH IBU…
AKU AKAN SELALU MENCINTAIMU
Cerpen Karangan: Sintiya Nuri
Facebook: Chintya Nuri
0 komentar:
Posting Komentar