Judul Cerpen Kami Pecinta Sepak Bola
Cerpen Karangan: Rizal
Kategori: Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 19 March 2016
Sewaktu masih SMP, aku dan teman-temanku suka bermain sepak bola.
Kami bermain pada sore hari, saat matahari tidak terlalu panas. Kadang
jika sudah tidak ada aktivitas di rumah, kami akan bermain lebih awal
dan berhenti saat adzan maghrib berkumandang. Kami mencintai sepak bola,
hal ini bisa dilihat saat kami bermain semuanya pasti memakai kostum
tim kesayangan dan meniru gaya pemain yang diidolakan. Tapi sayangnya,
kami tidak bermain di lapangan. Hal ini disebabkan karena pemerintah
setempat, sudah menggusur lapangan kami untuk dijadikan lahan bandara.
Hingga suatu sore, Fikri temanku yang baru pulang sekolah menawari kami
untuk bermain di pekarangan samping rumahnya.
“Mending main di rumahku aja!” kata Fikri.
“Emang boleh?” tanya Rais penasaran. Aku dan teman-teman yang lain, menatap ke arah Fikri dengan penuh harap.
Fikri diam sebentar, berpikir tentang resiko yang akan terjadi. Lalu
dengan aksen inggrisnya yang absurd, dia menjawab, “Of course man, move
on!” suasana hening. Kepalaku mendadak pusing, Rais terbatuk-batuk dan
yang lain tertawa. Fikri bertanya dengan wajah heran.
“Kalian kenapa? Ada yang salah?”
Aku yang kesal pun menjawab, “Ya iyalah. Bukan move on tapi come on!”
“Ya, maksud aku juga begitu!” tandas Fikri. Hari itu, kami bermain
dengan penuh semangat. Seusai bermain, Fikri mengeluarkan 2 botol air
dingin lengkap dengan sepiring pisang goreng yang dibuat oleh ibunya.
Seminggu berlalu begitu cepat, kami bertemu lagi dengan masalah
tempat. Kali ini, pekarangan rumah Fikri dijadikan tempat parkir oleh
karyawan bandara. Ayah Fikri pun menjelaskan padaku dan teman-teman agar
tidak berkecil hati. Akhirnya, kami memilih untuk tidak bermain dulu
sampai kami menemukan tempat bermain yang baru. Rasa jenuh dengan
aktivitas yang ada di rumah, membuatku dan teman-teman, mulai mencari
cara untuk bermain. Terlebih Rais, yang baru saja membeli sepatu baru,
sudah tidak sabar untuk mencobanya.
Saat pulang sekolah, aku bertemu dengan Ipul dan Amat. Kami pulang
bersama-sama dan berjanji akan bermain sore itu. Sampainya di gang
kompleks, kami bertiga bersilang jalan dan pulang ke rumah
masing-masing. Sore harinya, Rais datang dan menungguku di depan rumah.
Saat aku ke luar, Rais menyambutku, “Hallo Rizal, bagaimana
penampilanku? Sudah mirip Messi bukan?” sembari menggoyangkan kakinya.
Aku tahu, dia sengaja menanyakan hal itu agar aku memuji sepatu barunya.
Dengan ikhlas aku menjawab.
“Kamu lebih mirip Tessy, hahaha!”
“Terima kasih untuk pujiannya!” jawab Rais dengan wajah kecewa.
Aku dan Rais bergegas menuju ke warung bu Minah, tempat kami biasa
berkumpul. Satu per satu dari kami mulai berdatangan, diskusi pun
dimulai.
“Jadi kita main di mana hari ini?” kata Riat membuka pembicaraan.
Kami mulai berpikir mencari solusi untuk tempat yang baru. “Aku punya
ide!” cetus Iwan ditengah keheningan kami. “Gimana kalau kita mainnya di
bandara aja!”
“Apa? Di bandara? kalau pesawat turun terus kita ketabrak gimana?” kata Rais dengan kesal.
“Itu kalau mainnya di landasan, maksud aku kita main di dalam bandara.
Aku lihat di situ ada lahan kosong, dekat lapangan tenis!” lanjut Iwan
menegaskan.
“Aku setuju, aku pernah lihat banyak pula orang sering jogging di situ,
bagus kali tempatnya, aman!” sambung Parman dengan logat bataknya yang
kental.
Tanpa membuang waktu, kami segera pergi ke tempat yang dimaksud.
Setelah puas bermain, kami duduk dekat trotoar menghadap ke arah
landasan. Rais kembali membuat sensasi, “Sepatuku ini punya kelebihan!”
katanya padaku.
“Mana buktinya?”
“Lihat ya, aku akan mengitari jalan ini dalam waktu 1 menit,” kata Rais
sambil bersiap. Bagiku dan teman-teman, cepat atau tidak Rais berlari
bukan masalah. Yang jadi kekhawatiran kami adalah, jalanan bandara
sangat sensitif.
Rais berlari sambil bersorak kegirangan, dia terlihat seperti badut
sirkus yang kelaparan. Aku dan teman-teman pun tidak ketinggalan untuk
menyemangati. Akhirnya malapetaka terjadi, Rais kehilangan keseimbangan
saat sepatunya menginjak pasir, yang berada di sisi jalan. Hal ini
membuat Rais tersungkur dengan tampan di atas trotoar jalan. Lututnya
luka, wajahnya penuh dengan pasir, dan kami tertawa. “Hahaha makanya
jangan sombong!” kata Ipul sembari membantunya berdiri.
Hari itu kami lalui dengan senang. Persahabatan kami begitu indah
untuk dikenang. Dari kejauhan, sebuah pesawat siap untuk terbang. Aku
dan teman-temanku berdiri dari trotoar, memandangi pesawat yang terbang
sampai pesawat itu menghilang di tengah awan. Kami semua terkagum
melihatnya, lalu dalam hati aku bertanya, “Apakah kebersamaan ini akan
terulang lagi?”
Cerpen Karangan: Rizal
Blog: rizalistis.blogspot.com
Mahasiswa sosiologi unsrat, pecinta sastra dan penikmat kopi.
Twitter: @rizalistis
Facebook: Rizal Rahman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar