Salju Merah
Judul Cerpen Salju MerahCerpen Karangan: Fauziah Amelia Safira
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 19 May 2016
Aku mengintip mereka dari balik jendela tua kamarku. Di bawah hujan salju mereka berbincang. Tampak raut ketegangan di wajah keriput mereka. Pak Ward tampak bersikeras dengan pendapatnya dan Papa tetap pada pendiriannya yang tidak mau memindahakan patung kucing di taman depan rumah. Menurut Pak Ward patung itu membawa kesialan baginya. Menurutnya pula semenjak keluargaku memasang ‘si kucing’, di rumahnya sering ada hal-hal aneh, seperti bayangan besar kucing di kolam renang Pak Ward, meongan kucing yang mengganggu di kamarnya, serta bekas noda kaki kucing di baju-bajunya. Aku tak mengerti sama sekali. Sehari setelah pertengkaran Papa dan Pak Ward, Merry, putri Pak Ward yang juga sahabatku, mulai bersikap dingin padaku. Setiap aku tersenyum dari jendela kamarku, ia tidak membalasnya. Bahkan ia membanting jendela kamarnya di hadapanku.
“Merry, kau kenapa?” gumamku dalam hati.
Pagi ini salju menumpuk di jalan depan rumah. Papaku harus membersihkannya lagi. Tampak lebih tebal dari hari sebelumnya. Mama menghampiriku yang masih asyik melongok pemandangan di luar jendela. Ia menepuk pundakku, sambil berkata, “Kau harus berangkat sekolah, Jean. Mama sudah siapkan sarapan dan bekalmu.” Aku mengangguk. Mama memakaikan kemeja putih dan rok merah kotak-kotak padaku. Terakhir, dipakaikannya dasi merah kesayangannya di kerah bajuku.
“Hari ini kau harus menyisir rambutmu sendiri, Sayang.. Mama harus ke tempat Merry,”
“Ada apa, Ma?” Mama diam. Aku berlalu menyisir tiap helai rambut ikalku karena ku pikir Mama hendak memberi roti pada Merry seperti biasa.
Aku menyalami Mama dan Papa. Mereka tampak berbeda. Mereka juga tidak menciumku. Saat ku sentuh tangan mereka, rasanya sangat dingin. Aku sempat mengalami efek kejut dan hampir menggigil. Mereka tak mengucapkan sepatah kata pun saat aku mulai melangkah ke luar rumah. Tak seperti biasanya.
Waktu berlalu begitu cepat. Di kelas tak ada cerita yang bisa ku ingat. Aku malas mengingatnya. Aku berjalan pulang dengan hati riang. Berbeda dengan keadaanku di sekolah sebelumnya. Jalanan tampak lengang. Aku bisa memandangi toko roti Uhu dekat rumah sampai puas. Hal yang jarang sekali bisa ku lakukan selama ini. Ku buka pintu rumah. Hanya ada kakek yang sedang tidur di sofa ruang tamu. Aku kembali ke luar, menatap lekat patung kucing berwarna cokelat emas di depan rumah. Wajahnya menyiratkan kesan marah dan terganggu. Tatap matanya seakan ingin menerkamku tiba-tiba. Aku menutup mata dan menjerit. Rupanya hal itu membangunkan kakek.
“Oh, Jean. Di mana Ibumu? Aku mencarinya ke mana-mana, tapi tak ada?” gerutu kakek.
“Aku baru saja sampai. Pagi tadi mereka masih bersamaku. Mungkin mereka sedang ke kebun memetik beberapa apel,” sahutku kemudian.
“Apa besok akan ada perayaan?” tanya kakek lagi. Aku menggeleng. Ulang tahunku tentu akan sepi, Papa tak memiliki banyak uang untuk menyewa tukang dekorasi. Itu karena apel-apel di kebun gagal panen akibat salju turun lebih awal. Musim dingin seakan mengejar musim sebelumnya. Dan bagiku itu menyebalkan. Kakek menyalakan api unggun di perapian ruang tengah. Ia memanasi sepanci sup yang Mama buat pagi tadi. Aku mengganti pakaian. Ku kenakan sweater merah dan celana jins biru, serta topi rajutan pink buatan Mama. Kakek menggerakkan tangannya agar aku mendekat di pangkuannya.
“Kakek, minggu depan aku menerima rapor. Jika aku berhasil mendapat peringkat 1 di kelas, apa yang akan kau berikan?”
“Aku akan mencubit pipi merahmu!” jawab kakek cepat. Aku merajuk. Kakek lalu menggelitiki perutku. Aku merasa geli, hingga tertawa keras dan sesekali menjerit. Kami larut dalam canda tawa siang itu. Terdengar suara pintu diketuk. Kakek menurunkanku dari pangkuannya. Ia beranjak dari tempat duduknya. Aku menghadang, “Biar aku saja yang membukanya,” kataku lirih sambil merunduk girang.
“Mama! Papa!”
“Lihat, apa yang aku bawa?” tanya Papa padaku.
“Apel? Ahh.. aku bosan!”
“Kau tak boleh seperti itu, Jean.. Di luar sana masih banyak orang-orang yang bahkan makan pun sulit, apalagi untuk membeli sebuah apel dan memakannya,” kata kakek memberiku pengertian. Aku cemberut dan masuk kamar. Mama dan Papa meletakkan apelnya di dekat perapian. Mungkin setelah itu mereka minum cokelat panas bersama. Aku kembali mengintip dari jendela seperti biasa. Ku lihat Pak Ward berjalan menuju rumahku sambil membawa pistol kecil di tangannya. Aku jadi sangat gemetar. Aku langsung bersembunyi di bawah tempat tidurku.
“Keluar kau, Bill! Cepat!” seru Pak Ward garang. Aku tahu pasti Papa sedikit ketakutan mendengarnya. Setelah beberapa menit Papa ke luar bersama Mama dan kakek. “Ada apa, Pak?” tanya Papa. “Pindahkan patung ini ke tempat di mana tak seorang pun bisa menemukannya, sekarang juga! Pindahkan sekarang atau kalian ku tembak satu per satu!” Nada bicaranya meninggi. Itulah yang bisa ku dengar. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
“Ward, ayolah.. ini hanya sebuah patung! Mana mungkin patung ini bisa bergerak. Coba kau angkat. Keras!”
“Aku tidak peduli dengan bualanmu itu, Bill! Putriku dikejar sesuatu mirip kucing pagi ini. Ia terjatuh dari tangga dan koma sekarang! Apa kau masih menyangkalnya?!” bentak Pak Ward lagi. “Jadi aku tidak mau tahu, kau harus memindahkannya!”
Kali ini aku penasaran dengan yang terjadi di luar. Aku kembali mengintip dari balik jendela, dan tercengang ketika mendapati pemandangan yang tak wajar. Pak Ward dengan beraninya menodongkan pistol tadi ke kepala Papa. Akhirnya Papa pergi dengan Pak Ward menggunakan mobil kami. Jauh mereka melaju entah ke mana. Mama terisak di pelukan kakek. Kakek tampak pucat dan gemetar. Aku melangkah ke luar kamar, melewati pintu utama dan menghampiri Mama. Aku memeluknya. Mama berbaring di atas tempat tidur. Pandangannya kosong. Aku ikut berbaring di sisi kirinya. Mama menatapku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menyentuh pipiku.
“Aku tak tahu harus berbuat apa, Jean. Pak Ward adalah sahabat Ayahmu. Ia telah banyak menolong keluarga kita. Kita berhutang budi banyak pada keluarganya dan Pak Ward khususnya. Tidak mungkin kita melaporkannya ke polisi atas tindakannya yang aneh dan brutal. Aku benar-benar tak mengerti dengan yang sedang terjadi. Ku pikir Pak Ward gila. Ia aneh, tuduhan yang ia tujukan pada kita terlalu konyol untuk dinalar. Semua ini terkesan dibuat-buat. Apa mungkin penyebab keanehan ini adalah karena kepergian istrinya 3 minggu lalu?” Mama diam sejenak. Menatap langit-langit. Dan ku lihat air mengalir dari sudut matanya, turun menetes melewati telinga. Beberapa helai rambutnya basah sedikit.
“Mama.. jangan menangis..” Aku mengusap air matanya.
Seulas senyum terlukis di sudut bibir mungilnya. Mama selalu terlihat cantik saat tersenyum. Bahkan itu jadi hal favoritku dari seorang Mama. Meski bibirnya senyum mencoba merubah suasana hatinya, tapi matanya tidak bisa membohongiku. Ia masih sangat cemas dan bingung. Sekitar pukul setengah enam sore terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Itu bukan suara mobil Papa. Kakek mengintip lewat lubang pengintai di pintu. “Bill!” pekiknya gembira sambil segera memutar gagang pintu. Kakek membiarkan Mama memeluk Papa terlebih dulu.
“Sayang, kau pakai taksi?” tanya Mama heran.
“Ward merampas mobilku. Ia pergi entah ke mana. Tapi ia berteriak padaku, ia akan kembali,” jawab Papa sedikit menggigil. Kakek menyuruh Papa cepat masuk. Ditutupnya pintu kayu yang mulai usang dimakan waktu. Selang beberapa menit, kakek mohon diri untuk kembali ke rumahnya yang terletak 2 blok dari rumahku.
Terakhir yang ku ingat dari Pak Ward adalah ketika ia membawa mobil Papa kabur. Yang ku tahu itu adalah 2 hari yang lalu. Mama membiarkanku bangun siang dan bolos sekolah. Itu selalu ku lakukan setiap tahunnya. Seperti ritual. “Aku selalu senang di hari itu, meski umurku berkurang satu tahun,” itulah yang pernah dikatakan mendiang kakakku saat cairan merah mengalir dari hidungnya, dimana di hari itulah terakhir aku mengenal dan melihatnya di dunia ini. Hari ulang tahunnya yang keempat hanya selisih 3 hari dengan hari lahirku. Jadi aku selalu mengingatnya.
Kicauan burung sungguh menggangguku. Ia seperti berkicau di telinga. “Ahh.. berisik!” gerutuku sambil menutup telinga dengan bantal.
“Jean, kau tak akan melewatkan saat-saat ini, kan?” tanya Mama yang tiba-tiba ada di samping tempat tidurku. Aku mengernyitkan dahi dan menaikkan alis kananku. Mama tertawa lebar. Ia menggendongku menuju ruang tamu.
“Apa kau suka dekorasinya, Sayang?” tanya Mama padaku. Aku mengangguk. Ku lihat Papa masih melanjutkan dekorasinya. Sederhana, tapi indah, pikirku. “Kita akan adakan pesta kecil-kecilan nanti malam, Jean,” kata Mama sambil menurunkanku dari punggungnya.
“Apa Merry diundang?” tanyaku penasaran.
“Kau kan tahu, dia sedang koma. Hingga kini pun ia belum sadar,” sahut Papa menjawab tanyaku.
Betul juga. Aku sangat sedih mengetahui Merry tak bisa bergabung di acara ulang tahunku. “Cepat sembuh ya, Merry. Aku ingin segera bermain lagi bersamamu..” ucapku dalam hati. “Tapi kakek akan datang, Sayang.. Jangan bersedih ya..” kata Mama mengalihkan. Aku tersenyum getir.
Malam tiba. Langit dihiasi kabut putih salju yang turun dengan lebatnya. Mama memakaikan sweater merah kesukaanku. “Sekarang pejamkan matamu, Jean,” kata Papa lirih. Mama mematikan semua lampu di ruangan. Aku menutup mata. Beberapa menit kemudian Papa membisikiku, “Buka matamu, Sayang..” Ku buka mata. Dan.. “Surprise!” Kakek ada di depanku membawa sebuah kue cantik bertuliskan ‘Happy Birthday Jennifer’. Aku meloncat girang. Mama dan Papa bertepuk tangan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Tiba-tiba terdengar kegaduhan di depan rumah.
Pandangan semua orang yang berada di ruang tamu tertuju ke arah kegaduhan itu. Seseorang menggedor pintu kasar. Aku sangat takut. Aku berlari ke kamar, bersembunyi di lemari dengan gemetar. Dari balik lemari, aku hanya bisa mendengar sambil menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Baru saja ku dengar suara pintu didobrak, lalu suara kakek yang sempat beradu argumen dengan Pak Ward, kemudian suara benda jatuh dua kali, serta rintihan Mama yang mencekam menyiksa setiap orang yang mendengar. Aku menangis sambil menyumpal mulutku dengan menggigit pakaian yang tergantung di depanku.
“Kalian pikir kemarahanku karena patung kucing itu?! Haha, tidak sama sekali! Itu karena aku merasa tidak adil atas apa yang telah Tuhan berikan padaku. Ia mengambil semua yang ku punya, sedangkan kalian, kalian sangat bahagia. Kalian begitu dekat dan tidak seperti keluargaku. Aku iri pada kalian. Tuhan jahat padaku. Tuhan hanya baik pada kalian. Kenapa?! Kenapa?!” seru Pak Ward murka. Sekali lagi, suara rintihan Mama dan Papa sangat jelas di telingaku.
Selang beberapa waktu, keadaan berubah jadi hening. Tanpa suara sedikit pun. Seperti malam terdingin di tengah badai Perang Dunia II yang pernah kami lewati di rumah ini. Kami hanya berbaring dan diam ketakutan. Seperti itulah senyapnya. Aku yakin Pak Ward telah pergi setelah dentuman langkah yang menjauh. Aku ke luar kamar, mencoba melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang telah terjadi. Mama dan Papa menangis. Mereka tampak sangat lemah. Pakaian Mama dan Papa berubah jadi merah pekat. Lantai juga jadi merah. Mama tak sengaja melihatku yang berdiri linglung tepat di depan pintu kamar. Ia menatapku gembira meski tergambar jelas rasa sakit yang amat dahsyat di tubuhnya. Spontan aku gemetar. Mataku berubah jadi panas. Langkah kakiku memberat di ujung jari. Aku hanya diam. Terpaku. Syok.
Pandanganku mulai kabur digenangi air mata. Melihat Mama dan Papa yang duduk bersimpuh menahan sakit, menambah guncang jantungku. Ia berdegup sangat keras. Mama meraih kue ulang tahun berhias lilin yang tinggal separuh. Tangan kiri Papa memegang pundak Mama, dan tangan kanannya menggenggam erat pakaian yang ia gunakan untuk menahan cairan merah itu. Mama dan Papa tersenyum padaku. Sungguh, mereka tersenyum! Aku bisa melihat gigi-gigi mereka meski keadaan gelap dan hanya dihiasi cahaya lilin. “Mendekatlah, Jean.. Kita..ha..rus melanjutkan..nya bukan? Ka..mi tak ingin mengecewakanmu, Sa..sayang..” ucap Mama terbata-bata. Aku melangkah perlahan, berdiri di hadapan mereka.
“Mama.. Papa..” ucapku gemetar diselingi air kesedihan.
“Buat permohonan, lalu tiup lilinnya, Nak..”
Aku mengangguk pelan, menyatukan kedua tanganku. Ku pejamkan mata. Aku berdoa semoga Mama, Papa, dan kakek selalu ada bersama di sisi untuk melihatku meraih cita-cita. Terakhir, ku tiup lilinnya. Mama dan Papa meletakkan kembali kue ulang tahunku di atas meja. Mereka berbaring lemas berjajar. Aku mengambil tempat di antara mereka. Ku genggam erat kedua tangan mereka yang mulai dingin.
“Mama hanya lelah, Sayang. Jaga dirimu baik-baik ya, Jean..” Mama menutup matanya, begitu pun Papa. Dan kakek yang hanya terdiam di pinggir tembok. Ia duduk lemas bersandar di tembok. Mengapa mereka mengantuk lebih cepat di hari ulang tahunku ini? Bukankah mereka telah berjanji akan menghabiskan malam dengan makan apel dan krim kue yang sudah mereka buat? Mereka sudah berjanji akan merayakannya bersamaku!
“Mama.. Mama.. aku takut gelap.. Papa.. bisakah kau nyalakan lampunya? Atau Kakek, bisakah kau nyalakan lagi lilinnya? Mama..” Hanya hening dan gelap yang menjawab. Dingin kian menusuk tubuhku. Tiba-tiba ponsel Papa berdering. Aku tersentak. Aku hanya memandangnya penasaran. Menunggu beberapa saat hingga Papa mengambilnya. Tapi dering tetap dering. Papa masih mematung. Tidurnya pulas ku rasa. Aku terpaksa langsung merogoh saku bajunya. Ku ambil ponsel yang bergetar-getar sejak tadi. Panggilan dari Dessy, nenek tiriku. Aku mengangkatnya.
“Halo, Bill.. Bagaimana perayaannya? Apa David masih di rumahmu?”
Aku masih diam.
“Halo, Bill? Bill? Halo?” tanya Dessy sekali lagi.
“Ha..halo?” jawabku gagap.
“Ap..apa ini Jennifer?”
“Ya, Dessy. Ini aku, Jennifer. Emm.. Dessy.. bisakah kau datang ke mari? Aku takut gelap..” tuturku memohon.
“Apa Ayahmu tidak menelepon petugas listrik daerah? Apa kau sedang sendirian, Jean? Atau kau sedang tidak di rumah?!” tanya Dessy memberondong. Nada bicaranya terdengar makin cemas.
“Tidak.. aku tidak sendirian. Aku juga tidak sedang di luar rumah. Di sini ada Mama, Papa, dan kakek. Tapi mereka mengantuk, mereka tidur. Aku tak bisa membangunkan mereka. Bisakah kau datang ke mari menyalakan lampunya dan membangunkan mereka semua? Aku mohon, kemarilah..”
“Aku tidak mengerti dengan yang kau bicarakan, Jean. Baiklah kalau begitu. Aku akan segera ke sana.” Dessy sedikit menggerutu lalu menutup sambungan teleponnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa hawa dingin yang masuk melalui koyakan pintu telah membuat bibirku jadi sedingin es. Salju-salju mulai masuk ke dalam rumah dan berganti warna menjadi merah. Aku mengamatinya yang perlahan menebal. Ku peluk tangan kanan Mama. Dingin sekali. Bau amis di mana-mana. Rasanya aku seperti berada di pasar daging. Bau yang paling ku benci ada di sana. Tapi kini bau itu juga menyambangi rumahku. “Mama, Papa.. ayo masuk ke kamar. Kalian sangat dingin. Apa kalian tidak takut sakit?” tanyaku heran. Mereka masih membisu.
Tak lama Dessy datang. Ia heran melihat pintu depan rumahku yang koyak sisinya. Ku tahu ia mempercepat langkah kakinya. Ia melangkah masuk menuju ruang tamu, kemudian memanggil namaku. Aku menyahut pelan. Ia segera menyenter wajahku dengan cahaya ponselnya. Seketika Dessy menjerit dan terduduk gemetar melihat Mama dan Papa yang juga terkena biasan cahaya ponsel Dessy. Ia juga sempat menyoroti kakek dengan cahaya itu. Aku heran padanya. “Dessy.. Jangan berteriak, nanti mereka bangun..” desahku lirih sambil menekan telunjukku di bibir. Dessy tampak tak senang melihatku. Ia malah lari terpontang-panting menjauhiku. Apa sih yang terjadi? Pikirku.
Sekitar sepuluh menit kemudian, sirine polisi berhenti tepat di depan rumahku. Ya Tuhan, apa Dessy melaporkanku ke polisi? Apa yang sudah ku lakukan? Apakah aku berbuat kesalahan? Aku menghitung suara sirine yang datang kira-kira ada empat atau lima mobil termasuk ambulans. Seorang pria bejaket hitam dan berkumis tebal mendekatiku. Aku tak tahu yang terjadi selanjutnya karena yang ku lihat semua jadi gelap setelah ketakutanku memuncak.
—
Sepuluh tahun kemudian.
“Sweet seventeen!” sorak anak-anak dari belakang.
“Selamat ulang tahun ya, Jean…”
“Selamat ulang tahun Jennifer..”
“Hay, Jean..selamat ulang tahun yaa..”
Sebuah kue ulang tahun ada di hadapanku. Mark, salah satu sahabatku di SMA membawakannya untukku. Spesial nampaknya. “Ini untukmu, Jean. Buat permohonan!” pinta Mark lembut. Aku mengangguk ragu. Ku pejamkan mata perlahan. Sekelebat bayangan menyeramkan di malam itu kembali menghampiri. Aku menjerit.
“Jean, apa kau baik-baik saja? Ada apa?” tanya Mark menahan tubuhku yang hendak ambruk. Ia lalu memegangiku.
“Ak..aku.. aku hanya.. Bisakah kau antar aku pulang, Mark? Aku merasa tak enak badan.”
“Bb..baiklah.. Emm..bagaimana dengan kuenya?” tanya Mark bingung.
“Kalian bisa memakannya..” jawabku pada sahabat-sahabatku yang lain.
Mereka tampak kecewa. Tapi apa mau dikata? Aku tidak sanggup melawan ketakutanku! Maafkan aku, Kawan. Hal yang demikian itu telah menghantuiku selama bertahun-tahun. Aku sudah mencoba melawannya, tapi begitu sulit! Bayangan itu menerkamku setiap ku tiup lilin bertahun-tahun setelah terapi psikologiku dulu. Tetap. Aku tidak akan pernah lupa terakhir aku melihat Mama dan Papa hidup, dan terakhir kali ku dengar suara mereka berdua yang menyayat hati. Cintaku mungkin kandas bersama genangan salju merah di hari ulang tahunku. Mungkin juga cintaku telah terkubur bersama jasad Mama dan Papa di pemakaman dulu. Jadi jangan paksa aku. Biarkan hari ulang tahunku berlalu tanpa seorang pun merayakannya. Biarkan aku berlalu dan meninggalkan kejutan kalian. Maaf.
Mobil yang dikendarai Mark melaju kencang. Menyusuri setiap inci jalan raya menuju rumah Dessy, tempatku tinggal sepuluh tahun belakangan. Sesampainya di sana, ku lihat Dessy dan salah satu putrinya, Chloe sedang mengikat tumpukan koran-koran lama. Mungkin ia ingin menjualnya pada tukang loak yang sejak aku datang telah berdiri di depan rumah. Aku kemudian ke luar dari mobil. Mark hendak mengikutiku, tapi aku menolaknya. Ia lalu berpamitan padaku dan memutar balik kendaraannya, melesat jauh ke sudut kota.
“Apa kau ingin menjualnya, Dessy?” tanyaku datar sambil menimbang-nimbang satu eksemplar koran yang tercecer.
“Ya.. ini sudah memenuhi gudangku. Sudah lama sekali aku tak menjualnya.”
“Sebanyak ini?!” tanyaku lagi.
Aku sangat heran. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkannya. Aku memutuskan untuk membantunya. Ia terlihat sangat senang. Tanpa sengaja aku membaca judul berita di halaman pertama, ‘Pembantaian Satu Keluarga-“KEJAM!”‘. Aku membaca baris selanjutnya.
Pemabantaian satu keluarga yang terjadi di wilayah Newcastle pada 22 Desember 2004 telah menggemparkan warga. Korban tewas antara lain: Anna Hammer (32), Patrick Hammer (35), dan David Resenbolt (65). Dalam peristiwa ini, seorang bocah bernama Jennifer Scraafh (7) dinyatakan selamat. Ia ditemukan bersama mayat kedua orangtuanya saat Dessy Oliver (51) datang ke rumah korban setelah diminta datang oleh Jennifer yang tidak mengerti perihal keadaan orangtuanya. Jennifer yang saat ini tengah berada di Balai Penyembuhan Mental Pusat Santiago belum bisa dimintai keterangan karena kondisinya masih terguncang akibat peristiwa tragis tersebut. Pihak kepolisian telah melakukan olah TKP dan hasilnya ditemukan bekas koyak di pintu utama yang mirip dobrakan kaki orang dewasa. Polisi menyimpulkan bahwa bukan Jennnifer pelakunya.
“Jelas ini tindakan orang dewasa,” tutur Riley Bright, kepala polisi sektor 6. Selain itu, bekas pukulan menguatkan simpulan ini. “Tidak mungkin seorang bocah bisa menghajar orang dewasa tanpa ada kekerasan fisik di tubuh bocah itu,” lanjut Riley menerangkan. Motif pembunuhan ini diduga karena dendam pribadi. Sayangnya hingga kini pembunuh keluarga yang malang tersebut belum berhasil ditangkap. Polisi masih memburu pria tetangga korban yang disinyalir merupakan pelakunya. (24/12/04)
Aku meremas kertas koran lain yang juga sedang ku genggam. Aku menyobek berita itu dan menyimpannya. Ku hapus air mata yang tanpa ku sadari telah mencapai dagu. Dessy menatapku heran.
“Ada apa. Jean? Apa yang barusan kau baca?” tanyanya. Aku menggeleng lalu tersenyum lebar.
“Aku memang tidak bisa menceritakan hal-hal itu pada polisi. Mungkin jika aku mau, mereka akan langsung menangkap dan mengadilimu. Tapi lihat, aku akan menangkap dan menghabisi psikopat sepertimu dengan tanganku sendiri, Ward. Ya, pasti!” ucapku dalam hati.
THE END
Cerpen Karangan: Fauziah Amelia Safira
Blog: www.fauziahsafira.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar