Senandung Detak Jantung
Karya : Oshin Shasela
Ivan memnggenggam erat
bunga mawar putih. Kakinya melangkah mantap dengan senyum yang mengembang di
bibirnya. Sebuah rutinitas. Ia akan menemui seseorang setiap sore di bangku
gedung itu. Seseorang yang ia cintai, namun bukan kekasihnya.
Seorang perempuan
berambut panjang terurai itu telah duduk manis di bangku biru taman dengan baju
biru khasnya. Ia tersenyum sambil membawa buket bunga yang diberikan Ivan
dihari kemarin.
Ivan telah di hadapan
perempuan itu, dan tersenyum kepadanya.meskipun perempuan itu tidak pernah
memblas senyuman Ivan, tetapi Ivan selalu senyum tulus kepadanya.
Ivan duduk di
sampingnya, memperhatikan keadaan perempuan itu. Semakin hari, wajahnya nampak
semakin pucat. Tubuhnya semakin kurus, dan ada garis hitam di bawah matanya.
“Kamu pasti tidak tidur
lagi ya ?” tanya Ivan. Ia tahu, tanyanya tidak akan di jawab oleh perempuan
itu.
“Ini untukmu..”
Ivan mengganti buket
bunga yang ada di tangan perempuan itu.Kali ini ia tersenyum kepada Ivan. Ya,
itu adalah satu-satunya hal yang dapat membuatnya tersenyum kepada Ivan. Bunga
mawar putih. Itu pula yang membuatnya mengingat hal yang telah terjadi pada
dirinya.
September, 2010.
Inka. Dari Akademi
Kebidanan semester akhir. Dia cantik dan pintar, juga termasuk mahasiswi yang
aktif. Seluruh sudut kampus bahkan mengenalnya.
****
Inka berjalan di
koridor dengan senyuman ramahnya.
“Hai, Inka....”
“Halo cantik....”
Sapaan demi sapaan
berbalut pujian ringan telah menjadi sarapan telinga sehari-hari, dan senyuman
manis darinya adalah imbalan dari semua itu. Semua terdengar biasa, kecuali...
“Sayang !”
Inka membalikan badanya
dan melihat seseorang tengah berlari ke arahnya.
“Kakak ? Kenapa di sini
?” Meskipun heran, namun ia tetap tersenyum mendapati kekasihnya telah berdiri
di hadapannya.
Kenneth Alexander.
Seorang pemain violin yang mahir dan ternama. Lelaki lembut dan dewasa pilihan
Inka.
“Aku hanya ingin
memberikan ini.” Katanya sambil memberikan buket bunga mawar putih yang indah.
Inka tersenyum.
“wah... terima kasih !”
Di antara senyuman
kedua sejoli itu, ada sepasang mata yang memperhatikannya dari salah satu sudut
koridor. Tatapan mata itu tajam, namun bukan marah.
“Dua minggu lagi, kamu
kamu akan melihat hamparan bunga ini. Kamu suka ?”
Inka mengangguk dengan
semangat.
****
Inka
memperhatikan tangannya yang tengah digenggam Kenneth di sebuah jalanan kota
Yogyakarta yang rapi dan indah. Dilihatnya Kenneth yang tersenyum memandangi
hamparan jalan ramai itu. Ratusan pasangan telah berlalu lalang dengan
romansanya.
“Jika
kita tidak bersama lagi, apa kamu akan tetap datanag ke tempat ini ?” Tanya
Kenneth.
“Kamu
ini bicara apa ? Bukankah kita akan segera bersama-sama selamanya ?” Inka
terlihat cemberut.
“Selama
apapun kita bersama, pasti akan berpisah juga. Jawab saja pertanyaanku.” Kata
Kenneth sambil mencubit pipi Inka.
“Mana
mungkin aku berani ke sini lagi tanpamu ?” gerutu Inka.
Kenneth
tertawa geli, kemudian mengelus punggung tangan Inka di genggamannya.
“Suatu
saat nanti, akan ada kisah...Di jalanan kota ini kita pernah berjalan bersama.”
Inka
menatap Kenneth sendu.
“Kakak...”
****
“Jadi,
kamu akan menikah dua minggu lagi ?” Prista terkejut.
Inka
hanya mengangguk kegirangan.
“Kamu
kan belum lulus”
“Hey,
aku pasti bisa melakukan keduanya.”
“Kenapa
mendadak ?”
“Sebenarnya, ini permintaanku. Tapi, malam
waktu aku memutuskan ingin menikah, Kenneth seperti berat. Apa mungkin dia
tidak mencintaiku ?” Inka meragu.
“Dia
pasti sangat mencintaimu.” Prista meyakinkan, namun Inka menangkap ada kecemasan
di wajah Prista, sahabatnya.
****
Lipstik
itu telah telah memoles bibir manisnya, dan ia pun telah bersiap pada hari
terindahnya.
“Inka.
Kamu terlihat cantik dengan apapun yang kamu pakai..” puji sahabatnya, Prista.
Inka
tersenyum.
“Ini
bukan mimpi kan ? Aku akan menikah hari ini ?”
Prista
mengangguk.
“Tapi
aku minta maaf, ya..Aku harus pergi.”
Inka
mengerti. Yang ia tahu, hari itu Prista harus keluar kota bersama keluarganya.
Satu
jam sudah dari waktu yang telah ditentukan, namun Kenneth tak juga datang. Dua
jam. Inka mulai cemas. Tiga jam . Kenneth tidak bisa dihubungi. Sampai pada
enam jam kemudian semuanya batal. Inka menangis tersedu. Masih dengan gaunnya,
ia menghampiri Kenneth di rumahnya. Inka tak percaya, rumahnya begitu sepi. Tak
ada tanda-tanda jika tuan rumahnya akan menikah. Tak juga nampak orang tuanya
yang seharusnya telah datang dari Washington untuk pernikahan Kenneth dengan
Inka. Inka telah melihat Kenneth di depan matanya, namun Kenneth tak menyadari
kedatangan Inka. Ia sama sekali tak terlihat bersiap dengan pernikahannya,
justru masih mengenakan baju tebal dengan syal di lehernya. Kenneth duduk
bersama seseorang. Tak terlihat jelas siapa dia.
“Akhirnya
aku menjadi pengecut.” Kenneth memulai pembicaraan.
“Justru
kamu tak boleh melakukannya agar tak ada yang tersakiti.”
Suara
perempuan itu seperti suara...
Inka
menyadari ada kaca yang dapat memantulkan wajah Kenneth, dan yang berada di
sebelahnya adalah..
“Prista
?” Inka mendekat.
Kenneth
dan Prista tekejut dengan kehadiran Inka.
“Inka
?”
“Kamu
terkejut dengan keberadaanku ?” Inka menatap tajam. Matanya seketika merah.
Prista
menggeleng pelan. Inka memandang wajah Kenneth yang pucat.
“Kakak,
kenapa wajahmu pucat ? Kamu begitu terkejut karena aku sudah mengetahui
semuanya ?” Wajah Inka merah padam.
“Ka,
ini tak seperti yang kamu..”
“Tak
seperti yang aku lihat. Kamu ingin bicara begitu, kan ?” Inka memotong
pembicaraan Prista dengan nada suara yang tinggi.
“Aku
minta maaf !” Kenneth mulai membuka mulutnya.
“Aku
mencintai Prista. Aku tidak akan meninggalkannya hanya demi kamu. Dari awal,
aku tidak pernah berniat menikah denganmu.” Ucap Kenneth.
Inka
terkejut, sedangkan ia melihat Prista menangis. Kini dadanya begitu sesak,
nafasnya terasa mengambang. Sebuah tamparan bagi Inka.
“Kalian
ini tak pernah punya hati, ya ? Dua orang yang beraryi dalam hidupku...” Inka
mengepalkan tangannya.
“Mulai
sekarang, aku bukan sahabatmu !” Katanya, telunjuknya mengarah pada Prista.
“Dan
mulai sekarang...bagiku kamu sudah mati !”Kini Inka menunjuk Kenneth.
****
“Kenneth
!!!” Seseorang berteriak memanggil Kenneth.
Valeryan
Ivan, seorang mahasiswa kedokteran semester akhir yang tampan, kaya dan manja
itu berteriak keras mencari sosok Kenneth. Sampai akhirnya ia temukan Kenneth
berdiri di depan kolam renangnya.
“Kamu
mencariku ?” Kenneth menyambut Ivan dengan Senyuman.
Tetapi
tanpa ia duga, Ivan memukulnya dengan keras hingga bibir dan hidungnya
mengeluarkan darah. Kenneth jatuh tersungkur.
“Sudah
ku bilang ! Jika kamu menyakiti gadis itu, aku akan merebutnya darimu !” Kata
Ivan dengan nada tinggi, kemudian melangkah pergi meninggalkan Kenneth yang
masih kesakitan.
“Ivan
! Jaga Inka sebaik yang kamu bisa !”
Ivan
tak menghentikan langkahnya.
****
Inka
berlarian di koridor rumah sakit dengan sisa air matanya sejak tadi. Ia
berhenti ketika melihat Prista telah duduk manis menunggu. Inka menghampiri
Ivan.
“Apa
yang terjadi ?”
“Entahlah,
tapi tadi dia ditemukan pingsan di kamarnya.” Jelas Ivan.
Tak
lama, seseorang berseragam putih keluar dari pintu Unit Gawat Darurat.
“Maaf,
pasien ingin berbicara dengan yang bernama Prista.”
Inka
menunduk, sedangkan Ivan menatap marah.
Prista
memasuki ruangan itu dan melangkah pelan memndekati Kenneth yang terbaring
lemah.
“Prista..”
panggilnya pelan.
“Seharusnya
di saat seperti ini, kamu ceritakan semuanya pada Inka dan Ivan. Adik mu.”
Prista mulai menangis.
“Katakan,
apa yang harus kuceritakan pada mereka ?” Tanya Kenneth.
Prista
semakin menitikkan air matanya, Kenneth hanya tersenyum.
“Apa
aku harus mengatakan, ‘Hai aku sedang sakit. Bersiaplah untuk pemakamanku, ya..
Begitu ?”
“Harusnya
kamu katakan, bukan aku yang kamu cintai. Sebelum hari pernikahan kalian,
dokter memvonis usiamu yang hanya dalam hitungan jam, dan kamu tak ingin pergi
dalam beberapa jam setelah pernikahan kalian !”
Lagi-lagi,
Kenneth tersenyum.
“Prista,
waktu itu kamu tak sengaja menemukanku yang tengah kesakitan ketika menunggu
Inka. Aku senang, bukan Inka yang menemukanku dalam keadaan yang menyedihkan.
Dan disaat kamu tahu aku sakit jantung, tak sedikit pun kamu mengatakan pada
Inka. Terima kasih..” Ucap Kenneth.
Prista
hanya menunduk dan menangis.
“Aku
tahu, Ivan mencintai Inka. Karena itu aku membiarkan Ivan salah faham. Setelah
aku pergi, aku tahu jika Ivan akan menjaga Inka dengan tulus, meskipun di atas
rasa dendamnya kepadaku. Kamu tahu ? Sifat manja Ivan berubah jika ia sedang
memperjuangkan Inka.”
“Prista,
sekarang kamu boleh keluar. Katakan pada mereka, aku minta maaf, dan sekarang
aku pergi dengan tenang.” Air mata terselip di antara senyuman Kenneth.
“Kenneth..”
Kenneth
hanya tersenyum, kemudian memalingkan wajahnya dari Prista. Prista mengerti,
Kenneth telah selesai bicara dan ingin dirinya pergi.
Prista
keluar dan menatap Inka. Mengetahui Prista memandang ke arahnya, Inka
memalingkan muka.Prista mendekat pada Inka dan Ivan.
“Dia
bilang, dia telah pergi dengan tenang..” Ucap Prista yang juga tak dapat
menahan tangis.
“Apa
? Apa kamu bilang ? Sekarang apa lagi, Prista ?! Kamu bohong lagi ?” Inka
mencengkeram lengan Prista.
Pintu
ruangan itu terbuka, Inka berharap Kennethlah yang keluar dan membuktikan jika
Prista berbohong.
“Kenneth
!” Panggil Inka.
Pintu
ruangan itu terbuka, Inka berharap Kennethlah yang keluar dan membuktikan jika
Prista berbohong. Kenneth kekuar dengan bantuan dua perawat. Inka tahu, Kenneth
telah dalam keadaan tak bernyawa. Sekujur tubuhnya telah tertutup kain putih.
“Kenneth!!!!”
Inka menjerit tak berdaya, hanya itu yang ia bisa. Kemudian ia pingsan.
Sebelum
kau pergi jauh dariku,
Dengarlah
isi hatiku tentang dirimu
Yang
selalu ku cinta,
Dan
selalu ku rindukan..
Maafkanlah
semua kesalahanku,
Ku
buat kau menangis, pergi, dan berlalu
Meninggalkan
diriku
Dan
takkan pernah kembali
Dan
akhirnya kesendirian hatiku
Menyadarkan
diriku bahwa engkaulah
Penguasa
hatiku.
Engkaulah
cinta sejati
Dalam
hidupku kaulah yang terakhir yang selalu ku nanti sampai akhir nanti
Dan
kaulah satu-satunya yang selalu ku rindukan
Menghiasi
ruangan hatiku
Sampai
akhir nanti...
(Ungu~
Penguasa Hatiku)
Batu
nisan telah ditancapkan, jelas terukir nama Kenneth Alexander di situ. Inka tak
menangis lagi, ia hanaya terdiam menatap makam Kenneth di atas kursi rodanya.
Sejak Prista menceritakan semuanya, Inka merasa terpukul dan bersalah. Ia tak
sanggup menopang beban mentalnya.
Bunga
mawar putih yang dijanjikan Kenneth, bukan bertaburan di kamar pengantin
mereka, tetapi justru di atas makam salah satu dari mereka.
Inka
menangis bisu.
****
“Ivan..
Selamat ya, sayang. Akhirnya kamu lulus. Jadi, kamu akan mengambil spesialis
apa, Nak?” Suara di seberang sana berbisik di telinga Ivan.
“Terima
kasih, Ma.” Kata Ivan, kemudian berfikir sejenak.
“Aku
telah memutuskan untuk mengambil spesialis kejiwaan.” Lanjut Ivan.
“Apa?
kenapa?”
“Gadis
yang Ivan cintai sedang bersedih.. Begitu bersedihnya, hingga ia tak dapat
menopangnya sendiri..”
“Ivan..
Apa dia adalah Inka?”
“Iya,
ma. Ivan mencintainya sebelum Kenneth, tetapi Sekarang Kennethlah yang meminta
Ivan menjaganya..”
Agustus,
2013
Inka
duduk di panggung senja bersama buket bunga mawar putih. Tatapannya begitu
kosong. Ivan mendekati Inka dan memandangi wajahnya.
“Di
saat keadaanmu yang seperti ini pun, Jantungku selalu berdegup kencang..”
Ungkap Ivan.
Ia
memeluk Inka, Untuk yang pertama kali.
“Aku
mencintaimu, Inka. Izinkan aku menggantikan Kenneth, kakakku.” Bisik Ivan.
Ivan
memperhatikan Inka yang tetap tanpa ekspresi. Wajahnya bagitu datar, tatapannya
begitu kosong.
“Tapi,
bahkan kamu tak pernah melihat orang lain setelah Kenneth.” Kata Ivan.
Ia
beranjak meninggalkan Inka dengan kesedihannya.
Inka
menatap langkah Ivan yang semakin menjauh, dan air matanya mulai menetes.
“Ivan..”
Panggilnya lirih.
****
Pagi
ini Inka telah duduk di bangku taman, Ia memeluk buket bunga mawar putihnya.
Ivan berlarian menghampirinya.
“Inka,
kenapa kamu harus kabur dari kamar saat sarapan? Kamu harus makan..” Kata Ivan
dengan nafas yang memburu.
Inka
meneteskan air matanya, Ivan terkejut melihat Inka bersedih.
“Inka,
Apa ada yang menyakiti mu?” Tanya Ivan, pertanyaan yang tentu tak akan
terjawab.
“Maaf
jika aku menyakitimu, Aku hanya tak ingin kamu lupa makan..” Lanjutnya.
Namun,
air mata tetap membasahi wajah datar Inka.
“Kamu..
Bersedih karena Kenneth?” Ivan menunduk bersedih.
“Kenneth..
Pasti baik-baik saja di sana..” Ivan berusaha tersenyum.
“Kamu
lihat awan di sana?” Ivan menunjuk awan putih tebal di hamparan langit biru.
“Kenneth
sedang mengintipmu dari sana. Dia pasti sedih melihatmu seperti ini.”
Lanjutnya.
“Seperti
aku yang bersedih, karena mencintaimu di balik bayang-bayang kakak ku sendiri.”
Ivan berkata dalam hati.
Ivan
teringat akan sesuatu. Ia pergi sejenak, kemudian kembali dengan gitar
akustiknya.
Ia
mulai bernyanyi sambil menatap awan putih, Sesekali ia menatap wajah Inka dan
meneteskan air matanya.
Aku
sadari engkau pernah dengan dirinya,
Dan
di dalam hati mu masih ada namanya.
Mohon
ijinkan aku untuk mendekati diri mu,
Dan
meyakinkan engkau bila ku mengharap mu.
Walau
aku harus seberangi lautan,
Dan
mendaki gunung tinggi ambil bintang untuk mu.
Walau
aku harus mengitari bumi,
Mencari
sesuatu yang bisa membuatmu tertawa..
Bagaimana
caranya agar engkau mengerti yang selalu di hati hanyalah dirimu?
Sudah
berbagai cara telah ku lakukan,
Walaupun
harus terjatuh aku tak akan pernah menyerah!
Hari
berganti seiring dengan ku mencoba mendapatkan hati mu,
Mendapatkan
cinta mu.
Namun
yang kau berikan tetap diam dan membisu,
Tapi
aku tak akan pernah untuk mencoba!
(Rama
~ Takkan Menyerah)
“Inka,
Sebenarnya aku sangat marah pada Kenneth. Ia meninggalkanmu, dan sejak itu..
Kamu tak pernah lagi menikmati indahnya dunia ini. Tapi, aku lebih marah pada
diriku sendiri. Yang tidak pernah bisa mengembalikan indah dunia itu padamu.
Bahkan, sampai tiga tahun telah berlalu..”
“Jangan
pernah menderita karena orang yang meninggalkanmu, karena aku akan tetap di
sini untukmu, menemanimu sampai kapan pun.. Kamu dengar itu, Inka?”
Ivan
memeluk Inka lebih lama dan lebih dalam dari sebelumnya, kemudian beranjak
pergi. Ia tak dapat menahan kesedihannya lagi. Dan Inka kembali merasakan
sesuatu yang hangat mengalir di pipinya.
****
Hari
telah sore.
Ivan
berjalan cepat, Buket bunga mawar putih telah di genggamannya. Tetapi matanya
masih mencari sosok Inka.
“Dokter
Ivan!” Seseorang memanggil Ivan dan berlari ke arah nya.
“Ada
apa, sus?”
“Pasien
Inka tidak ada di tempat.”
“Apa?
Kamu yakin sudah mencarinya?”
Suster
di hadapan Ivan mengangguk.
Tanpa
berkata lagi, Ivan mencari kembali Inka di seluruh sudut Rumah Sakit. Inka tak
di temukan juga. Ivan terlihat sangat khawatir. Ivan mengendarai mobilnya
dengan kecepatan tinggi menuju pada sebuah tempat, dan berhenti di area
pemakaman.
“Kenneth,
Kamu apa kabar?” Ivan berjongkok di samping gundukan hijau berbatu nisan.
“Kamu
pasti puas. Inka.. Dia selalu mengingatmu dalam hatinya. Kamu tahu? Dan ia tak
pernah sekalipun menyebut nama ku dari bibirnya.” Ivan tersenyum kecil, sambil
menghapus air mata yang sempat tumpah.
“Kenneth,
Aku mohon. Ijinkan aku menjaganya. Bantu aku menemukannya, sekalipun kamu tak
akan merelakannya untukku.”
****
Ivan
melihat Inka berdiri di jalanan kota jogja dimana Ivan pernah melihatnya
bersama Kenneth. Inka masih menenakan seragam rumah sakit, sepertinya ia hendak
menyebrang jalan raya yang dipenuhi mobil dan motor yang berlalu lalang.
Ivan
menghampiri Inka dan meraih tangannya, Namun Inka menghempaskan tangannya ke
udara. Ia melepaskan genggaman Ivan dan berlari. Saat ia akan mengejarnya ia
melihat datang sebuah truk berwarna putih dengan kecepatan tinggi dan tak
disadari Inka. Suara klakson tentu saja berbunyi panjang ketika mobil itu telah
mendekati Inka. Ivan berteriak sekencang-kencangnya.
“INKAAAAA!!!”
Syukurlah…
syukurlah Ivan berhasil menariknya dan memeluknya sehingga tak terjadi sesuatu
yang buruk kepadanya. Jika itu terjadi, Ivan tak tau harus berbuat apa. Dalam
sekejap, kaki dan tangan Ivan membeku. Ia masih terus mendekap Inka erat. Dan
melihat ketakutan yang mendalam di matanya. Ia menggigit kukunya dengan
gemetaran, sedangkan orang-orang berkerumun mengelilingi mereka. Ivan mulai
merasakan sakit. Sakit yang teramat sangat di dalam dadanya, sampai tangannya
memegangi dadanya erat.
Inka
masih menggigit kukunya dengan ketakutannya. Ivan tersenyum lega melihat tak
sedikit pun Inka terluka. Keringat dingin mulai bercucuran di kening Ivan.
Telapak tangannya juga terasa basah dengan keringat. Ada yang mencengkeram
jantungnya hingga sulit berdetak. Ivan jatuh. Matanya masih tetap memandang
Inka, dan masih tersenyum untuknya sambil menahan rasa sakitnya.
“Ivan..”
“Kamu..
Menyebut nama ku?” Ivan gembira mendengar suara Inka menyebut namanya.
Inka
mulai bereaksi mendekati Ivan yang kesakitan.
“Ivan!”
Inka mendekati Ivan dan menggenggam tangannya.
Meskipun
menahan rasa sakit, Ivan tetap menggenggam tangan Inka dengan lembut dan tidak
mencengkeramnya. Inka kebingungan, namun kemudian ia mengingat Kenneth.
“Jangan
ulangi kesalahan Kenneth. Katakan! Kamu juga mempunyai penyakit jantung
sepertinya?” Inka bertanya tegas.
Ivan
tersenyum mengetahui perkembangan Inka.
“Jawab!”
Bentak Inka.
Ivan
mengangguk pelan.
****
Inka
berlarian senada mengiringi roda ranjang Ivan.
“Bertahanlah!
Aku mohon!” Pinta Inka. Tangannya tak pernah ia lepaskan dari Ivan, sampai Ivan
masuk ke dalam ruangan rawatnya.
Inka
terduduk lemah, Jantungnya berdegup kencang.
“Inka!”
Prista menghampiri Inka dengan seragam perawatnya.
“Kamu
sudah sembuh?” Ia terlihat senang mengetahui sahabatnya telah sembuh.
“Pris,
Ivan! Dia punya penyakit jantung seperti Kenneth. Sekarang dia di dalam.” Jelas
Inka, namun Prista hanya menunduk menyesal.
“Pris,
kenapa? Jangan katakan kamu juga sudah mengetahui nya?!”
“Ivan
itu memang pasien jantung di sini. Waktu aku tahu tentang itu, aku mengingatkan
tentang Kenneth. Aku tidak bisa membiarkanmu kehilangan dua kali dengan cara
yang sama. Tetapi, menurut Ivan kamu tidak akan peduli padanya apapun
keadaannya. Kamu tidak akan pernah mencarinya jika ia sekarat, dan kamu tidak
akan menangisinya jika ia meninggal.” Cerita Prista.
“Apa?”
“Inka,
Cita-cita Ivan untuk menjadi Dokter spesialis jantung agar bisa mengobati
dirinya sendiri pupus, Saat dia memutuskan untuk menjadi Dokter spesialis
kejiwaan agar dapat menyembuhkanmu.”
Inka
terdiam, Sendi-sendinya tak mampu lagi menopang kenyataan.
“Ivan
mencintaimu sebelum Kenneth ada di dalam kehidupan kamu. Tetapi, dia adalah
orang yang paling marah ketika Kenneth membatalkan pernikahannya dengan mu..”
Prista menjatuhkan air matanya,
“Kamu
selalu sibuk dengan penderitaan mu sendiri, Tanpa peduli ada orang yang lebih
menderita memikirkan mu.”
“Cukup,
Pris! Kamu ingin aku lebih merasa bersalah dari ini?”
Prista
memeluk Inka yang menangis sejadi-jadinya.
Belum
sempat ku membagi kebahagiaan ku,
Belum
sempat ku membuat dia tersenyum,
Haruskah
ku kehilangan tuk ke sekian kali?
Tuhan
ku mohon jangan lakukan itu..
Sebab
ku sayang dia,
Sebab
ku kasihi dia,
Sebab
ku tak rela tak selalu bersama,
Ku
rapuh tanpa dia,
Seperti
kehilangan harap..
Jikalau
memang harus ku alami duka,
Kuatkan
hati ini menerima nya.
(Agnes
monica ~ Rapuh)
****
Yang
Inka takutkan terjadi. Ivan telah mencapai tahap akhirnya, Tak ada yang bisa
dilakukan dokter kecuali Transplatasi jantung. Itu jugalah, yang akan di
lakukan Inka untuk menebus kesalahannya pada Ivan.
Inka
dan Ivan telah siap di meja operasi. Selagi bisa, Inka menatap Ivan yang
terpejam sepuas hatinya. Bibirnya yang merah itu senantiasa tersenyum pada Inka
sekalipun Inka tak pernah membalasnya. Mata itu selalu terjaga untuk memastikan
tak ada hal buruk yang terjadi pada Inka sekalipun Inka tak peduli apa yang
akan terjadi padanya. Tangan itu yang selalu menarik Inka ketika ia akan
terjatuh ataupun menjatuhkan dirinya. Dan, Tubuh yang kini lemah itu selalu
menopang segala yang tak sanggup di topang Inka. Ivan..
“Aku
ingin kamu selalu ada untukku… Walaupun tanpa kukatakan kamu pasti selalu
menemaniku… Namun kali ini berbeda.” Inka meraih tangan Ivan dan
menggenggamnya.
“Dulu
aku selalu berfikir untuk pergi bersama Kenneth. Tetapi ketika sekarang aku
ingin bersama mu, Aku justru harus pergi dengan Kenneth.”
Air
mata Inka mulai meleleh.
“Akhirnya
semua ini akan berakhir juga..” Inka mempererat genggamannya.
Inka
telah siap, dan perlahan pandangannya telah buram. Ia tahu, itulah terakhir
kali ia menatap terangnya dunia. Setelah itu, Ia akan meninggal.
****
Inka
berbaring di hamparan rumput memandangi hamparan langit tanpa awan. Senyumnya
mengembang. Di sisi kanan, telah hadir Ivan yang menemaninya.
“Kenapa
Kamu di sini?” Tanya Inka.
“Memangnya
kenapa?” Tanya Ivan.
“Bukan
kah ini alam ku? Bukan kah aku sudah mati?”
Ivan
tersenyum,
“Kamu
fikir aku akan membiarkanmu mati? Sendirian? Aku belum puas bersama mu.”
Jelasnya.
“Aku
juga tidak akan membiarkan Ivan membunuhmu untuk hidupnya.”
Inka
terkejut, Seseorang berkata dari samping kirinya.
“Kenneth?”
“Aku
tidak akan membuat Ivan tenang, jika dia mencintai orang lain dalam hidupnya,
sedangkan dia hidup dengan jantungmu.” Kata Kenneth.
Inka
bangkit dan berdiri,
“Apa
kalian ini sepakat untuk meninggalkanku dengan cara yang sama?”
Untuk
pertama kalinya, Inka melihat Kenneth dan Ivan tertawa bersama.
Inka
kesal dan beranjak meninggalkan mereka berdua. Tetapi ketika membalikkan
badannya kembali, Inka telah sendiri.
“KENNEEETH!!!”
“IVAAAN!!!”
****
Inka
membuka matanya perlahan dan mendapati nuansa putih di ujung matanya.
“Kamu
sudah bangun?”
Inka
heran ketika mendapati Prista di sampingnya.
Inka
pun tak merasa sakit, karena memang tak ada bekas sayatan pisau operasi pada
dadanya.
Dan
kemudian ia mengingat, Jika bukan dirinya yang pergi. Tetapi Ivan yang memilih
bersama Kenneth. Apakah itu berarti..?
“Ivan!
Dimana dia, Pris?” Inka terlihat cemas.
“Tenanglah..
Tadi sebelum operasi dimulai, orangtuanya Ivan datang. Dia yang menghentikan semuanya.
Karena Kenneth dan Ivan tidak akan bisa memaafkan mereka jika membiarkanmu
melakukan itu. Sekarang, mereka membawa Ivan keluar negeri dan melakukan
transplatasi jantung di sana.” Jelas Prista.
****
‘Enam
bulan setelah hal itu terjadi, Kini aku memulai hidupku dengan normal. Aku
kembali tinggal bersama Prista di sebuah apartemen, dan melanjutkan
pendidikanku yang terbengkalai.
Enam
bulan berlalu, Ivan belum juga memberi kabar. Entah, Dia masih hidup atau..?
Ah, aku tak pernah ingin memikirkan hal itu. Aku yakin dia akan sembuh, Dan
kembali menemani ku seperti janjinya. Hari demi hari, Aku menunggunya dengan
setia. Sebagaimana dia telah menungguku sembuh dengan setianya.
Setiap
sore, aku selalu membawa bunga mawar putih dan duduk di bangku taman gedung
Rumah Sakit Jiwa seperti yang ku lakukan bersama Ivan dulu. Sampai pada hari
ini…’
Inka
berjalan menuju bangku taman, sambil menyapa satu persatu suster yang pernah
merawatnya dulu. Sampai ia di bangku taman, Buket mawar putih segar telah
menunggunya.
“Kamu
kemana saja? Aku.. Sudah lama menunggumu.”
Inka
membalikkan badan, dan mendapati Ivan telah berdiri di hadapannya dan tersenyum
kepadanya, membuat senyuman Inka terbalut tangisan bahagia. Inilah pertama kali
Inka merasakan jantungnya berdetak kencang di hadapan Ivan, dan jantung Ivan
yang tetap berdetak kencang untuk Inka.
“Hai!
apa kabar, Inka?”

0 komentar:
Posting Komentar