Daun
Bianglala
Terbaring di telapak tanganku
selembar daun, daun biru
teramat biru, sebab terlalu lama
ia memandang angkasa –
ia ingin telanjang, sebab ia jemu
pada gaunnya yang itu-itu juga.
Tak mampu ia menjadi tua
meski oleh gerimis ia merebah
ke tanah: ia pun memerah
seperti parasmu, paras
yang tak tertangkap tanganku.
Maka, sekali tak berumah
ia tak akan lagi menyerah.
Ungu, jika ia tidur.
Putih, jika ia mimpi.
Jingga, jika ia dahaga.
Kuning, jika ia sembunyi.
Hitam, jika ia terbang.
Hijau yang menodai telapak tanganku
bukanlah darah daun
tetapi bayangannya, bayangan
yang tak dibawanya mengembara.
Jika aku menjulang di depan rumahmu
berakarkah aku
membawa hilang-daun ke pangkuanmu:
sebentang hijau, hijau raya?
Tapi tak ada daun mati, cintaku
sebab daun itu berdegup
seperti jantungmu, tapi degup
yang tak bisa lagi kudengar
ketika aku bangun, tersadar
di pangkal jalan
sebab kau telah telanjang—
luas, teramat luas, bersama daun
seperti daun
yang kini mungkin mengilap baja
nun di ujung jalan sana.
Dan aku yang harus menyimpan
gaunmu, gaun biru, teramat biru:
pohonkah namaku?
(2005)
Cumi-cumi
--untuk Hiroshi Sekine
Seperti saputangan ia
yang terloyak di satu sudutnya
ketika terantuk gugus terumbu
saputangan tembus-cahaya
karena kenyang oleh airmata
kini mencari mata sejati
mata yang tak bertanya-tanya
ke mana rangka tubuhnya
ke mana merah dagingnya.
Sungguh, mata seperti itu
adalah mata penyelam ulung
yang juga tahu bahwa rerumbai
dari sudut yang terluka itu
berjumlah hanya sepuluh
seperti jemarinya sendiri
jemari yang pernah terasah
oleh duri bintang dan bulu bulan.
Kukira keduanya bertemu
di hamparan ganggang ketika
jemari penyelam itu berdarah
dan para seteru bergigi belati
memburu mereka ke dasar jurang.
Kukira keduanya berlomba
menuju garis penghabisan
tidak, mereka bersintuhan
bahkan berkelindan tanpa malu
sehingga dua puluh jemari itu
dua puluh rerumbai cabikan itu
menjadi selebat gelombang
sehingga tubuh si penyelam
menjadi sebening udara pagi
dan si saputangan bukan lagi
berenang, tetapi terbang
terbang tinggi mencari mata
mata yang masih juga berkaca-kaca
sebab tak kuasa membedakan malam
dari mangsi hitam seluas laut
yang menarik si penyelam dari maut.
Kukira seekor cumi-cumi
menjelma sehelai saputangan
karena ia selalu dahaga
akan matamu, airmatamu.
(2005)
Lebah
Ratu
Ribuan peminang mengepung ia setiap waktu. Tak mampu
menyigi wajah mereka satu demi satu, ia bimbang apakah
harus
memuaskan atau membunuh mereka. Bila ia merasa lapar,
mereka jatuh birahi kepadanya; bila ia menghalau mereka,
justru
mereka kian terhisap olehnya.
Gaunnya yang tampak selalu meluas seperti telaga itu tak
pernah bisa menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan
panggulnya
kian berulir dan berkilau-kilau. “Wahai junjungan, kami
adalah
serdadu dan penari terpilih dari segala penjuru,” para peminang
itu berseru. Padahal mereka sekadar peminta-minta yang
terlalu
angkuh untuk menadahkan tangan.
Di sekitarnya terdapat juga ribuan dayang yang selalu
memaku
gaunnya ke arah matahari. Para peminang itu tak tahu.
Bagi
mereka, dedayang itu seperti bayangan mereka belaka: ben-
tangan putih-kelabu yang membuat tubuh batusabak mereka
tak lagi terlalu hitam muram.
Ia selalu hendak melepaskan diri dari ruang segi enam
yang
serupa dengan reruang di sekelilingnya. Tapi apa beda di
sini
dan di sana, di dalam dan di luar? Ia merasa dedayang itu
selalu
memasuki wujudnya. Ia percaya sudah bertahun-tahun ia men-
coba bertahan di singgasana kabut itu, meski tiba-tiba ia
merasa
baru kemarin ia membinasakan ibunya (atau kembarannya, ia
tak yakin).
Berkatalah para dayang itu, “Engkau tak pernah membunuh,
wahai junjungan. Yang gugur adalah bayang-bayangmu sendiri,
yang mencoba lebih nyata ketimbang citramu. Bayang-bayang
yang hendak menaklukkan kami. Kaulah wujud yang meliputi
seluruh kami, bahkan seluruh seterumu. Kaulah yang
terindah
sebab kaumuliakan kami.”
Bila ia berdandan, ia membakar gaunnya, agar para
peminang
itu muak kepadanya. Tubuhnya ikut hangus, namun para
dayang itu tak henti menjilat-jilat kepalanya, berusaha
mencekuh
jantungnya; mereka menebarkan getah emasnya ke seluruh
buana, sehingga lebih berlimpah lagi peminang yang
datang,
yang baru saja selamat dari sergapan air bah darah.
“Masukkah. Lekaslah. Sebelum kalian habis terbakar,” ia
berkata
kepada kaum jantan yang dahaga itu. Menghunus senjata
atau
menari, para peminang itu tak yakin apakah mereka menatap
ke cermin atau memasuki farjinya yang bersinau-sinau. Di
tero-
wongan hijau-biru, akhirnya mereka berkeping-keping
terben-
tur pada tiang api
atau dinding pasir seraya menguar, “Kamilah
milikmu, wahai junjungan, sebab kami tak mampu mempeso-
namu atau membunuhmu.”
Ia pun tahu bahwa selama ini ia telah keliru. Ternyatalah
mereka
bukan kekasihnya. Mereka cuma kantung mani yang
mengorban-
kan diri (atau harus disesapnya terpaksa dan
tergesa-gesa) agar
ia mampu menghadiahkan ribuan telur yang berisi gambaran
jantungnya, alih-alih jantungnya sendiri, kepada para
dayang
yang gemar mengaji itu. Dan agar ia mulai belajar
menghapus
wajahnya sendiri.
“Maafkan aku,” ia berkata kepada kaum jenazah yang
teramat
lega itu. “Aku akan menyimpan kalian dalam museum sebab
kalian telah menari dan tikam-menikam demi aku. Akan
kuingat
selalu bahwa setiap kali aku hendak mematikanmu, aku
jatuh
birahi; bahwa setiap kali kalian memasuki aku,
mendekatlah
aku kepada maut. Aku cemburu kepadamu, wahai pencinta
buta,
maka akan kulahirkan lagi ribuan kau yang lain.”
Ia kecewa sebab tak tahu apakah satu atau seribu yang
dalam
sekarat sungguh-sungguh memandang wajahnya. Tapi sejak
itu
ia tahu ranahnya meluas dan meluas lagi. “Inilah koloni
di mana
kami makan roti terbaik di dunia. Roti yang terasa
seperti daging
matahari,” kata kaum serdadu yang tersisa, yang tak tahu
lagi
bagaimana mengasah zakar dan menyaru sebagai penari.
Seperti telur-telur yang keras kepala itu, ada yang
selalu menetes
dari dalam dirinya, seperti bayangannya sendiri,
salinannya yang
sempurna, yang membesar terus oleh bening gaunnya, oleh
hujan mani para peminang berikutnya. Ia tak tahu apa
bedanya
kuburan dan museum, sebab ia terlalu bahagia. Ia bimbang
apa-
kah kakinya terbenam ke samudra tepung sari atau kaki
langit
ketika ia telanjang sepenuhnya.
Tapi ia tahu bahwa ruangnya tak lagi segi enam. Para
dayang
sepuh itu membangun ribuan ruang lain dari cermin yang
lebih
cemerlang, sebab mereka tak mampu lagi membedakan ia
dengan tiruannya (atau pantulannya, mereka tak yakin) yang
kian berlipat ganda. Sampai suatu hari para pedandan yang
mulai remaja itu bertarung satu sama lain, dan tiba-tiba
ia ber-
ada di antara mereka, bertahan, sampai salah satu, yang
bergaun
seluas telaga, yang berpanggul ulir, yang bertangan kidal
seperti
ia, berseru kepadanya, “Aku akan membunuhmu, Ibu.”
Dan ia berkata, untuk terakhir kali, “Jantan atau betina,
mereka
akan mengawetkanmu. Serdadu atau penari, mereka akan
meng-
hisapmu. Dayang-dayang atau mata-mata, mereka akan membu-
takanmu. Roti atau koloni, itu akan menghapus namamu.
Istana
atau museum atau mausoleum, semuanya telanjur segi enam.
Kau telah lama mengimpikan aku. Selamat datang, wahai
kembaran. Selamat jalan, wahai junjungan.”
(2007)
Boogie Woogie
--untuk Umar Kayam
Di Broadway, hanya di Broadway
langit bisa menggirangkan diri
dengan merah, semu merah,
merah Mao, merah Marilyn Monroe,
meski di setiap sudut surai salju
mengintai hendak memberkati
ungu magnolia musim semi,
hitam legam seragam polisi,
kuning taksi dan sepatu Armani,
kuning kunang-kunang tak tahu diri.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
sungguh merah tak pernah sampai
ke surga, betapapun ia meninggi
melampaui puncak menara tertinggi,
menjinjing jantung paling murni,
jantung tercuci kuas Balladan Boccioni.
Di Broadway, hanya di Broadway
merah terkalung tenang ke leherku
(leher kadal gandrung Ragajampi)
sebelum memecah memanjang
seperti akanan, ketika gelombang
jingga memecah pasukan pemadam api,
kelabu membajak lidah para padri,
hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
langit seperti berbentuk huruf Y
sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,
lelaki lencir kelam seperti daun pandan
(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)
membentangkan putih, putih semata,
putih seluas sabana senjakala,
dan membariskan tujuh juta noktah
ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang
seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,
seperti simpang semua jalan New York,
noktah kuning kelabu biru merah,
kuning kunang-kunang tahu diri,
kelabu kaus kaki Januari,
biru dahi kereta bawah tanah,
merah tabah seperti duka nyonya
sebab terlalu lama ia bersandiwara
di Broadway, hanya di Broadway.
(2007)
0 komentar:
Posting Komentar