“JANGAN TINGGALKAN KAMI”
“Saya malu jika harus mengaku
sebagai penderita HIV.
Saya takut masyarakat akan
mengucilkan saya.
Saya ingin
diterima oleh masyarakat layaknya orang pada umumnya”
Begitulah sedikit kata
yang dapat saya petik dari seorang teman penderita HIV. Begitu besar ketakutan
mereka seandainya mereka harus mengaku sebagai penderita HIV/AIDS dan
dikucilkan dari masyarakat. Hanya sedikit dari komunitas mereka yang mau
mengakui dirinya mengidap HIV/AIDS di masyarakat. Mereka takut dirinya akan
dikucilkan.
Menurut data dari Departemen Kesehatan (Depkes)
hingga 31 Maret 2008, kasus AIDS sudah mencapai 11.868 yang terjadi di 32
provinsi dan 194 kabupaten/kota dengan presentase tertinggi pada kelompok umur
20-29 tahun (53,62%). Sedangkan menurut data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
hingga akhir 2007, diperkirakan di Indonesia jumlah penderita HIV/AIDS mencapai
200.000 jiwa. Angka ini masih jauh dengan perkiraan yang dibuat oleh UNAIDS
yang memperkirakan penderita HIV/AIDS mencapai 250.000 jiwa. Jumlah
ini diperkirakan hanya dari 10 persen dari seluruh orang yang terinfeksi HIV di
Indonesia. Jika ditelusuri lebih
lanjut masih banyak penderita HIV/AIDS yang enggan melaporkan dirinya ke Komisi
Penanggulangan AIDS maupun dinas kesehatan terkait karena salah satu alasan di
atas.
Fakta ini
layaknya sebuah gunung es yang hanya nampak pada permukaannya saja. Gunung es
yang hanya nampak setelah gunung tersebut membentuk dasar yang sangat besar.
Begitu pula dengan penderita HIV/AIDS. Mereka enggan untuk mengakui dirinya
mengidap HIV/AIDS. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melaporkan diri ke Depkes
maupun dinas-dinas terkait lainnya sedangkan sisanya yang jumlahnya jauh lebih
besar lebih memilih untuk diam.
Ketakutan para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) ini
sangatlah mendasar mengingat begitu kerasnya stigma negative terhadap mereka di
masyarakat. Masyarakat terlanjur telah memberikan “stempel” negatif terhadap
para pengidap HIV/AIDS. Ada anggapan di masyarakat bahwa pengidap HIV/AIDS
adalah seseorang yang perlu dijauhi. Hal ini bersumber dari
kekurang pahaman masyarakat mengenai penyebaran penyakit HIV/AIDS.. Masyarakat hanya tahu bahwa orang dengan HIV/AIDS
penuh dengan kenistaan. Padahal pandangan keliru inilah yang harus dirubah
dalam masyarakat. Pandangan negatif terhadap ODHA yang selama ini telah ada
dalam masyarakat harus segera diubah agar para ODHA merasa nyaman di masyarakat,
tanpa ada rasa takut yang menghantui
mereka.
Segala upaya pencegahan dan
penanggulangan yang masih diwarnai stigma dan diskriminasi tentu saja akan jauh
dari harapan. Bahkan cenderung merusak citra serta merugikan dan akhirnya
menghambat upaya-upaya penanggulangan berikutnya. Disinilah peran semua pihak dan generasi muda
khususnya, mengingat kelompok umur remaja (20-29 tahun) menduduki peringkat
pertama penderita HIV/AIDS, untuk menghapuskan stigma dan diskriminasi yang
telah beredar di masyarakat.
Peran serta pemerintah dalam memberikan pendidikan
serta pengetahuan kepada masyarakat tentang HIV/AIDS, telah menunjukkan hasil
yang baik. Namun pendidikan dan pengetahuan yang telah diberikan oleh
pemerintah tidaklah cukup bagi masyarakat untuk merubah stigma yang selama ini
sudah melekat kepada ODHA. Masyarakat membutuhkan pembuktian yang nyata dalam
kehidupan bermasyarakat untuk merubah stigma tersebut. Segala tindakan yang
dilakukan ODHA akan selalu menjadi sorotan bagi masyarakat.
Dengan membangkitkan rasa percaya diri para ODHA
akan mampu membuat mereka lebih terbuka. Membangkitkan semangat mereka agar mau
bersosialisasi dengan masyarakat dengan segala keterbukaan. Membangkitkan rasa
percaya diri mereka sehingga mereka tidak lagi tertutup dan memperbanyak jumlah
penderita HIV/AIDS. Generasi muda yang sangat dekat dengan ODHA yang paling
berpotensi untuk melakukan itu semua. Generasi muda, dalam hal ini terutama
teman-teman dalam pergaulan ODHA yang tidak terinfeksi, yang memegang peran
yang sangat besar dalam membangkitkan kepercayaan diri ODHA dan menumbuhkan
keterbukaan mereka.
ODHA pada hakekatnya adalah manusia biasa. Manusia
yang perlu bersosialisasi, manusia yang butuh teman. Mereka tidak ingin
dikucilkan. Mereka memerlukan kita.
Sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda melibatkan ODHA dalam setiap ajang
kegiatan. Hapuskan diskriminasi yang selama ini terjadi. Dengan melibatkan ODHA
dalam setiap ajang kegiatan dan organisasi akan menghapuskan stigma negatif
yang selama ini berkembang di masyarakat. Setidaknya sedikit demi sedikit
masyarakat akan bisa memberikan kepercayaan mereka kepada ODHA. Dengan
mengikutsertakan ODHA dalam setiap kegiatan dan organisasi, akan membuktikan
dengan sendirinya kepada masyarakat bagaimana sebenarnya seorang ODHA.
Masyarakat tidak lagi perlu menerka bagaimana kehidupan seorang ODHA. Tapi
mereka dapat langsung membuktikannya melalui pengamatan mereka dalam setiap
kesempatan.
Keterbukaan seorang ODHA dalam bermasayarakat akan
menjadi kunci utama dalam penanggulangan HIV/AIDS nantinya. Dengan kejujuran
ODHA dan keterbukaan mereka untuk berbagi sedikit kisah mereka kepada generasi
muda lainnya akan membuka wawasan generasi muda agar terhindar dari penyakit
ini. Akan memberikan banyangan nyata dan menimbulkan efek jera kepada mereka
yang telah melakukan tindakan-tindakan beresiko agar segera keluar dari “lingkaran
setan” sehingga mereka terhindar dari penyakit mematikan ini.
ODHA bukanlah seorang manusia yang perlu dijauhi.
ODHA bukanlah manusia yang penuh dengan kenistaan. Mereka sama seperti kita, generasi
muda Indonesia. Hanya saja mereka memiliki sedikit kekurangan yang setiap orang
juga akan mungkin memilikinya apabila tidak waspada. Bukan berarti waspada pada
penderitanya, tetapi pada penyakitnya. Waspada terhadap penularan penyakit
tersebut. Waspada terhadap tindakan-tindakan beresiko yang dapat membuat setiap
orang mengidap penyakit tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar