Cerpen 14 Febuari: "Gadis Penjual Warteg"
Sejak aku kecil, aku sudah belajar memasak dari Ibu dan Ayahku. Aku sudah sering diminta untuk mengupas bawang, hingga memotong-motong daging ayam yang masih mentah. Lalu tak lupa untuk mengetahui berbagai jenis sayuran, dan bagaimana cara memasak mereka satu persatu. Namun dari semua itu, tentu aku lebih menyukai sayuran labu, karena entah mengapa, makanan ini sangat enak di lidahku, membuatku menjadi terasa sehat hingga aku sudah SMA sekarang.
"Windy! Ada pembeli noh!" Teriak Ibuku disaat aku sedang mengerjakan PR
dari sekolahku pada malam hari ini. Memang, setiap malam warteg
keluargaku ini pasti selalu ramai, karena di daerah ini jarang terdapat
tempat makan, jadinya untung lah, keuntungannya bisa membuatku menjadi
terus bersekolah kini.
"Mau pesen apa mas?" Tanyaku ke Mas Joni, salah satu pekerja bangunan
yang kini sedang membangun kos-kosan di sebelah warteg keluargaku. Sudah
sejak lama Mas Joni selalu makan disini.
"Biasa neng, nasi setengah, sama ayamnya paha, plus tempe orek yah." Katanya sambil tersenyum terhadapku.
Lalu aku pun mengambilkan semua makanan yang diinginkannya, hingga ia mengejutkanku dengan perkataannya.
"Neng, besok jalan yuk sama mas. Mau?" Tanyanya, Ibu dan Ayahku pun melihati kami.
"Besok aku ada tugas kelompok mas sama teman-teman sekolah aku. Maaf...." Jawabku bohong.
"Oh ya sudah, lain kali mau ya neng."
"Liat aja nanti ya mas...."
Setelah itu ia pun duduk sambil makan makanannya tersebut. Aku sendiri
berusaha untuk menjauh darinya, membawa PR ku masuk ke dalam ruangan
rumahku. Aku sungguh tak menyangka kalau Mas Joni akan mengatakan hal
seperti itu. Oh Tuhan, aku menginginkan sesosok pria yang lebih muda....
Beberapa menit kemudian, pada waktu aku sedang fokus mengerjakan PR, Ibuku lagi-lagi berteriak memanggilku.
"Windy! Ada pembeli!"
"Iya!" Teriakku balik, sambil menutup buku PR ku dan keluar dengan raut muka yang kesal.
"Glek!" Tiba-tiba gerakanku terhenti sejenak, saat melihat sesosok pria
tinggi, muda, dan sedang mengenakan pakaian santai, dimana ia sedang
melihat-lihat lauk pauk yang ada pada malam hari ini.
"Mau beli apa mas?"
"Hmm...." Ia berpikir sejenak. "Apa ya...."
Aku hanya bisa diam menunggunya berkata dan menunjuk lauk apa yang ia
ingini seperti yang kebanyakan pembeli lakukan. Aku pun berusaha untuk
menjaga sikapku yang sekarang sudah susah menahan kuasa saat mataku
sedang melihat mukanya yang sungguh tampan ditemani rambut kepalanya
yang sangat rapi.
"Tempe orek sama ayamnya enak loh mas, cobain deh." Kata Mas Joni ke pria ini. Aku pun kebingungan.
"Eh Mas Joni, beneran tuh mas enak?"
Dia kenal si mas Joni?? Siapa dia??
"Iya lah. Cobain deh."
"Hmm.... Eh, gak deh, ternyata ada sayur labu. Aku pesen satu yah."
Katanya sambil menatapku dengan senyumannya yang sepertinya ia sangat
suka dengan sayur labu sama sepertiku.
"Itu aja mas?"
"Sama nasinya satu yah. Dibungkus."
"Baik." Lalu aku pun mengambil makanan yang diinginkannya itu. Dan tanpa
sadar aku sudah menyendokkan sayur labu lebih dari kadar biasanya.
"Kebanyakan tuh Win." Ucap Ibuku.
"Eh iya-iya."
"Kamu kenapa sih?" Tanyanya dengan berbisik di telingaku.
"Gak apa-apa kok, Bun."
Setelah selesai kubungkus, aku pun memberikannya ke pria tersebut.
"Makasih ya."
"Iya sama-sama...." Kataku, sambil terus menatapnya sewaktu ia sudah pergi dan menuju ke kos yang ada di sebelah rumahku ini.
"Mas Joni, kos-kosannya sudah bisa ditinggali ya?"
"Iya, tapi di lantai atas aja. Lantai bawahnya masih dibenerin. Biasalah, yang punya pengen cepet-cepet dapetin duit."
"Ohh...."
***
Pagi hari sekitar pukul enam pagi, sebelum aku berangkat sekolah,
seperti biasa, aku sudah wajib untuk membantu kedua orangtuaku lewat
memasak semua lauk pauk yang ada. Namun hari ini aku entah mengapa
merasa berbeda, seolah-olah jiwaku sedang tak bersama dengan ragaku. Aku
juga merasa sedikit kesepian, merindukan sesuatu yang hilang, yang
entah itu apa. Mungkin itu adalah seorang pria yang tiba-tiba saja
sedang masuk ke dalam warteg ku ini.
"Pagi.... Aku mau pesen makan dong, ada sayur labunya?" Tanyanya
kepadaku. Ia adalah pembeli pertama di pagi hari ini, seseorang yang
pada akhirnya membuatku menjadi merasa ingin tersenyum tanpa hentinya.
"Masih dimasak mas. Mau tungguin?"
"Duh jangan deh, nanti aku telat kerja lagi. Yasudah, nasinya setengah sama telur dadar saja deh."
"Baik."
Aku senang bisa mengambilkannya makanan lagi pada pagi hari ini. Namun
kesenanganku harus terhenti ketika Ibuku mendatangiku, dan
mengingatkanku akan sesuatu.
"PR kamu gimana Win?"
Waduh!! Aku terkaget. Gara-gara aku semalaman terus memikirkan pria ini sambil ketiduran, PR ku pun tak kunjung selesai.
"Oh iya Bun, aku selesain dulu deh. Malah susah lagi."
"PR apa memangnya?" Tanya pria tersebut kepadaku, aku terkaget lagi.
"Ma...matematika."
"Pas sekali, coba sini aku lihat. Boleh?"
"Boleh-boleh...." Lalu kuambil PR ku dari dalam tas ku, dan kuberikan kepadanya.
"Oh ini gampang. Ayo sekarang kita duduk, dan kamu ambil pulpen kamu, aku akan bantu kamu mengerjakannya dengan cepat."
Aku terkejut dengan tawarannya tersebut. Namun aku mengiyakannya, dan
benar-benar ini adalah masa-masa paling bahagia di dalam hidupku ini!
***
Sejak kejadian dimana pria ini membantuku untuk mengerjakan PR ku, kami
pun sempat berkenalan, dimana namanya adalah Reiner, seorang pria
berumur 18 tahun dan sehari-harinya ia berkuliah lalu bekerja sebagai
guru les di suatu kelas bimble. Lalu ternyata, ia pun berasal dari
Pontianak, dan memutuskan untuk pindah ke Jakarta karena berhasil
mendapatkan beasiswa full untuk berkuliah disini. Yup, ia memang seorang
pria yang pintar, tampan, dan idaman semua perempuan. Bisa gak yah aku
mendapatkannya? Ah rasanya tak mungkin, pria sepertinya sudah pasti akan
bersama dengan perempuan yang memiliki pekerjaan yang bagus, tak
seperti diriku, hanya seorang penjual warteg. Namun aku tak bisa
membohongi hatiku ini.
Sejak kejadian itu, ia pun memang sering makan di warteg ku ini, tetapi
terkadang ia membeli dari tempat makan di luar sana. Namun tetap, aku
lah yang selalu melayaninya, dan kami sendiri sudah beberapa kali bisa
mengobrol dengan nyamannya, seperti sekarang, dimana pada waktu siang,
orang tuaku sedang pergi berdua ke suatu tempat, dan hanya ada aku
bersama dengan dirinya, sedang mengobrol.
"Oh jadi kamu juga sama toh suka sayur labu." Katanya sambil tersenyum manis.
"Iya nih, soalnya enak terus sehat sih. Memangnya Mas Reiner kalau di Pontianak makannya apa aja?"
"Aku sih sejak dulu suka makan banyak macem, mangkanya nih pipiku jadi
tembem gini sekarang, walau untunglah tak terlalu gemuk badanku. Cuma ya
gitu, aku lebih suka sayur labu, soalnya enak sekali. Coba deh
kapan-kapan aku bawain kamu labu dari Pontianak, rasanya lebih enak
loh."
"Beneran Mas? Memangnya mas kapan mau pulang ke Pontianak?"
"Masih lama kok, kira-kira tiga bulan lagi deh, pada waktu aku sudah selesai ujian di kampus."
"Ohh.... terus balik lagi ke Jakarta?"
"Iya tentu saja lah, hahaha....."
Siang itu walaupun panas, tapi aku merasa sangat bahagia bisa
menemaninya makan sambil mengobrol seperti ini. Mungkin ada kesempatan
untuk ia bisa menyukaiku nantinya. Hahaha..... cuma harapan bodoh.
***
Harapan bodoh....
Dua bulan lebih telah terlewati, dimana aku tersadar akan suatu hal yang
kini sudah membuat raut mukaku menjadi terasa pahit. Mungkin aku memang
bukan seorang perempuan yang pantas mendapatkan kebahagiaan di usiaku
yang sekarang. Mungkin aku memang merasakan apa yang selalu dialami oleh
semua anak perempuan seusiaku, yaitu "cinta monyet". Tapi ini lebih
dari sekedar cinta monyet, ini adalah sesuatu yang membuatku menjadi
ingin berdekam di dalam kamar lama sekali, dan memutuskan untuk beberapa
kali tak membantu kedua orang tuaku di warteg.
"Kamu kenapa toh Win? Kok dari kemarin-kemarin kayak lagi ada banyak
masalah, diem melulu." Tanya ibuku kepadaku pada waktu kami akan tidur
di malam hari.
"Gak apa-apa kok Bun...." Kataku sambil tiduran di tempat tidurku.
"Gara-gara Mas Reiner yah?"
Aku kaget sewaktu Ibuku menyebutkan namanya. Apakah memang terlihat
sekali yah kalau aku suka sama dia selama ini. Namun lebih baik aku
jujur saja ke Ibuku, karena memang biasanya aku selalu curhat dengannya
mengenai setiap permasalahanku.
"Iya Bun...."
"Bukannya kamu senang gara-gara ada dia sekarang terus makan di tempat makan kita?"
"Gak Bun, aku tidak suka. Soalnya sudah lama sejak ia makan disini, dan rasanya gitu-gitu aja."
"Maksud kamu?"
"Yaaa, dia pesen makan sama aku, lalu aku kasih, dia kasih duit, aku
terima, lalu ia pulang, dan besok-besoknya kejadian yang sama terus
berulang. Bahkan sempat, sekali ia membawa seorang wanita, dan mereka
makan berdua di warteg kita ini. Mereka sudah pasti berpacaran Bun. Dan
aku merasa seperti gak ada gunanya lagi sekarang. Mungkin dia cuma
memandangku sebagai seorang penjual warteg biasa aja kali yah, bukan
sesosok yang lain, seperti seorang perempuan yang bisa menjadi
kekasihnya." Lalu air mataku pun keluar karena tak tahan dengan
rutinitas tersebut.
Ibu ku langsung mengambilkanku tisue, dan ketika aku sudah tenangan beberapa saat, Ibu ku lanjut memberikanku sebuah cerita.
"Win... seorang wanita itu harus tegar. Khusus untuk kita, sudah pasti
akan selalu ada beberapa pria yang masuk ke dalam kehidupan kita. Namun
kamu harus tetap tegar dan bisa mengontrol diri kamu sendiri. Soalnya
dulu juga pada waktu belum ada kamu, ada banyak pria-pria yang lebih
tampan dari bapak kamu, yang selalu beli ke Bunda." Ceritanya sambil
tersenyum dan berbisik di bagian akhirnya. Aku pun sedikit tertawa.
"Tapi Bunda sadar kalau mereka hanyalah seorang pembeli, bukan lah orang
yang akan selamanya akan Bunda temui. Tak seperti kamu dan Bapakmu.
Kalian berdua sangat lah spesial buat ibu. Kamu juga sama kok, pasti
nanti akan ada pria yang lebih spesial buat kamu. Seperti Mas Joni
contohnya."
"Ih Bunda, aku tak mau kalau sama dia."
"Ya sudah, nanti kita cari lagi yah yang lain, yang lebih bagus dari Joni bahkan Reiner!"
Hatiku pun sedikit lega, dan pikiranku juga sedikit terbuka setelah
Ibuku berhasil memberikanku sebuah pengarahan yang sangat sesuai dengan
kesukaanku. Namun tetap, setelah Ibu ku memberikan sebuah kecupan
selamat tidur di keningku lalu pergi dari kamarku, aku pun tetap merasa
kalau ada sesuatu yang hilang, yang mungkin karena sejak awal aku
bertemu dengan mas Reiner, aku sudah jatuh terlalu dalam. Dan sekarang,
aku hanya bisa berharap untuk dapat cepat melupakannya dan menganggap ia
hanya sebagai pembeli yang selalu menguntungkan warteg milik keluargaku
ini.
Yes!
***
Sebulan kemudian, tiba pada waktunya aku akan terbebas dari pria ini.
Pada waktu malam hari, dimana ia untuk ke sekian kalinya mendatangi
warteg ku ini, ia pun mulai memesan seperti biasanya, namun yang
bedanya, ia kali ini sedang membawa sebuah koper kepergiannya
"Pesan seperti biasa ya, cuma kali ini nasi sama sayur labunya banyakan, soalnya aku lapar sekali nih."
"Baik." Jawabku yang sudah terlihat cuek.
"Win, hari ini aku pergi yah ke Pontianak. Nanti aku bawain sayur labu
buat kamu dan keluarga kamu yah." Katanya, yang tak kusangka ia masih
mengingat akan hal tersebut. Padahal sebelum-sebelumnya ia tak pernah
berbicara apa-apa lagi padaku, hanya memesan makanan, makanan, dan
makanan seperti biasanya.
"Gak usah mas, terima kasih."
Ia pun terdiam, dan setelah ku berikan makanannya, aku langsung meninggalkannya, menuju ke kamarku.
Di dalam kamar, aku menangis. Rasanya aku sudah tak tahu apa yang telah
aku perbuat kepadanya. Mengapa aku bisa begitu kasar terhadapnya? Walau
aku terus teringat akan kata-kata Ibuku, tetapi perasaanku tak bisa
dibohongi. Aku terus sakit ketika sedang bertemu dengannya. Apalagi
untuk mengetahui kalau ia akan segera pergi ke kampungnya untuk waktu
yang lama, dan aku juga tak tahu apakah ia akan tinggal lagi disini.
Apakah ia akan pindah ke kos-kosan yang lain?? Yah, ia pasti akan pergi
selamanya, dan kejadian ini hanya akan menjadi kenangan bodoh di masa
tua ku nanti. Oh Tuhan, aku benci untuk mengenang ini! Aku benci untuk
mencintai!
"Win, kamu kok di kamar aja sih??" Tanya Ibu ku tiba-tiba kepadaku.
"Bunda gak liat nih aku lagi ngapain. Aku gak kuat buat kerja malam ini
Bun. Besok aja aku kerjanya yah." Jawabku dimana pipiku sudah basah
karena air mataku.
"Kamu ini, tadi itu Mas Reiner titipin ini ke Ibu." Kata Ibuku sambil ia menyodorkan sebuah coklat dan surat putih.
"Su-surat dari dia Bun??"
"Iya. Buruan mangkanya baca!" Aku pun langsung mengambilnya dan cepat-cepat membaca surat tersebut.
Windy, aku harus jujur sesuatu sama kamu. Kamu itu cantik dan lucu.
Tapi aku susah mengungkapkannya lewat kata-kata selama ini. Aku punya
kebiasan untuk menyembunyikan perasaanku terhadap seseorang, dan kini
aku putuskan untuk membukanya lebar-lebar karena aku melihat sesuatu
yang berbeda dari kamu. Walau aku tidak tahu apakah kamu juga suka
kepadaku, tetapi aku berharap dapat bertemu dengan kamu lagi. Setelah
kepergianku untuk pulang ke kampung halaman selama dua bulan ke
depannya, aku akan datang dengan membawa satu tujuan yang pasti, yaitu
hanya untuk bertemu dengan kamu. Ya, kamu adalah prioritas pertamaku
selain kuliah dan bekerja. Semoga aku bisa mendapatkan respon yang baik
dari kamu. Aku harap....
Dari seorang pembeli yang sangat menyukaimu,
Reiner
N.B. Jangan lupa untuk memakan coklatnya. Aku yang membuatnya, dan
sedikit kuberikan kacang ke dalamnya. Semoga kamu suka yah. Happy
Valentine! :D.
"Ibu, dimana dia sekarang??" Tanyaku tak sabaran, yang lalu langsung aku berlari ke depan.
Pada waktu aku sudah sampai di depan Warteg keluargaku, tepat sekali
taxi yang dimana Reiner sedang tumpangi sudah berjalan sangat jauh....
Rasa senang pun bercampur dengan kesedihan yang begitu dalam dari
batinku ini. Melihatnya sudah pergi menjauh, dan telah menyia-nyiakan
semua rutinitas yang pernah kami berdua alami di warteg ini, benar-benar
sudah membuatku menjadi kacau balau. Tetapi aku harus bisa menjadi
seperti Ibuku, yaitu menjadi perempuan yang tegar, yang bedanya kini aku
harus tegar karena aku akan menunggu seorang calon kekasihku dua bulan
lagi. Semoga saja ia tak menyukai perempuan penjual warteg lainnya di
kampung halamannya itu.
Kuharap....
0 komentar:
Posting Komentar