Translate

cerpen lilin harapan

Written By iqbal_editing on Minggu, 14 Mei 2017 | 18.58

Tahukah kau sudah berapa banyak lilin yang aku tiup? Dan jawabannya sudah sangat banyak sampai aku tak dapat menghitungnya. Pasti kau menganggapku seperti orang gila bukan? Tapi ini memanglah aku, yang selalu meniup lilin setiap hari dan mengucapkan harapan konyol yang tak mungkin terkabul karena semuanya itu sudah takdir dari Tuhan dan tak dapat diubah.
Dengan lilin-lilin itu aku bisa menumbuhkan semangat yang membara walaupun harapan itu kapan saja bisa menghempaskanku begitu saja dan kapan saja. Setiap lilin-lilin itu mewakili sebuah harapan dalam hatiku.
CKLEK
Bunyi itu membuatku memalingkan pandangan yang semula kosong memikirkan apa yang sebentar lagi terjadi dalam hidupku dan sekaligus menjadi kenyataan pahit.
Sesosok pria tampan bermata elang dan berkulit putih tampak masuk ke dalam ruanganku dengan membawa sebatang lilin dan sekotak korek api. Langkah kakinya semakin dekat denganku. Ia meletakkan lilin dan sekotak korek api itu di sebuah meja didekatku. Tangannya memegang telapak tanganku dan menciumnya lembut kemudian berlanjut mengecup keningku.
Aku bisa melihat cahaya terang dari tubuhnya yang memancarkan harapan besar untukku. Setiap aku berada di dekatnya kurasa kedamaian dan ketidaktegaan padanya setelah takdir itu terjadi padaku.
Pria tadi mengambil lilin dan korek apinya kembali. Ia menyalakan korek api itu. Bara api di korek itu di dekatkan ke sumbu dan membuat lilin itu menyala terang dan mendekatkannya kearahku.
“Ko,” panggilku pada pria yang ada diruanganku. Riko Pratama. Kekasihku yang selalu menemaniku melewati hari-hari yang kelam ini.
“Iya, Bella.” Jawabnya sembari meletakkan lilin yang menyala itu kembali ke atas meja dan tangannya mengusap dahiku perlahan.
“Ko, kenapa kamu masih terus melakukan kebiasaan ini untukku? Harapanku sudah patah. Aku gak mau kamu termakan harapanku yang terlalu tinggi. Aku takut nanti kamu terhempas, sakit dan perih yang mendalam.” ucapku sembari menatap Riko lekat-lekat.
Riko meletakkan telunjuknya dibibirku dan aku bisa melihat ujung matanya yang basah. Aku mengerti apa yang dia rasakan karena aku juga merasakannya bahkan lebih pahit lagi.
“Ssstt… kamu gak boleh berkata seperti itu, bukannya mimpi bisa jadi kenyataan? Dan mimpi itu dimulai dari sebuah harapan?” tukas Riko.
“Tapi, aku bukan gadis pemimpi. Aku hanya gadis tak berguna dan tak bisa berbuat apa-apa.” Ucapku dan tak kusangka sebutir air mata keluar dari pelupuk mataku. Jemari lembut Riko langsung mengusap mataku perlahan.
“Siapa bilang kau tak berguna dan tak bisa berbuat apa-apa? Bagiku kau adalah pelita dalam hatiku yang mampu menerangi dan mewarnai hariku.” ucap Riko dan tangannya mulai meraih lilin yang tergeletak di atas meja itu lagi. Dengan susah payah aku berusaha mendudukkan tubuhku.
“Bella, Believe in all that can be. A miracle start whenever you dream and now, say your wish for today.” perintah Riko.
Aku menutup kedua kelopak mataku dan menghela nafas sebelum aku benar-benar mengcapkan wish untuk hari ini.
“My wish for today, aku ingin orang-orang yang ada di sekitarku tetap tersenyum dan bahagia. Aku tak ingin melihat mereka menangis tanpa atau adanya aku.” ucapku lirih.
“My wish for today, aku ingin wanita disampingku ini selalu ada untukku dan menjadi milikku sampai aku menutup mata dan selalu tersenyum di setiap harinya.”
FIUH… Secara bersamaan ku tiup lilin itu hingga padam. Tangan Riko mendekap erat tubuhku sehingga aku hampir kehilangan nafas. Namun, dekapan itu membuatku nyaman. Aku bisa mencium bau musk yang menyeruak ditubuhnya dan bau sampo yang ia gunakan untuk mengeramasi rambutnya.
“Ko, aku mau ke taman dekat sini, kamu mau kan mengantarkanku?” tanyaku di dalam pelukannya.
Riko menganggukkan kepalanya dan melepaskan pelukannya. Ia berjalan mendekat kearah kursi roda yang ada di sudut ruangan kemudian, ia mendorongnya ke samping ranjangku. Dia membantuku duduk di kursi roda dan memindahkan kantung infus ke tiang besi yang ada di kursi roda itu. Ia mendorong kursi rodaku keluar dari tempat yang setiap detik berbau obat.
Segar itulah yang kurasakan saat ini. Menghirup udara bebas yang sudah lama aku tak merasakannya. Hembusan angin yang semilir itu membelai rambutku yang tinggal beberapa helai saja.
Kini aku sudah tepat berada di sebuah taman dengan sekumpulan anak-anak kecil yang berlari kesana kemari, tertawa, dan merasakan kebebasan. Riko bertekuk lutut dihadapanku dan memegang kedua tanganku yang kini tinggal tulang dan kulit. Aku menatapnya dengan pandangan sendu.
“Maafin aku, aku sudah merepotkan kamu.”
“Bella, kamu gak pernah ngrepotin aku. Dan aku minta kamu jangan berkata seperti itu lagi. Kamu harus kuat dan punya semangat. Mana Bella yang dulu aku kenal. Bella yang semangat dan ceria.” ucap Riko menyemangati.
“Tapi, kenyataannya aku memanglah bukan Bella yang dulu yang selalu ceria dan semangat. Namun kini, aku hanya seseorang yang rapuh.” ucapku putus asa.
“Stop Bella aku tidak mau denger kata-kata itu lagi. Bella tunggu sebentar ya! Jangan kemana-mana.”
Aku menganggukkan kepalaku dan Riko melangkah pergi. Sorotan mataku terus memandangi anak-anak yang sedang bermain bola dan tak disengaja bola itu mendarat dipangkuanku. Seorang anak laki-laki berumur 6 tahun berlari mendekatiku dengan sedikit ketakutan. Ia langsung membawa bola itu pergi dan tidak meminta maaf padaku tapi, Ia malah langsung bergerombol dengan kelompoknya yang lain.
“Hey, Itu kakak yang duduk di kursi roda kaya monster. Rambutnya hampir gundul dan tubuhnya kurus.” ejek anak laki-laki itu. Aku mendengar semua perkataannya dengan jelas dan perkataan itu berhasil membuatku menumpahkan butiran air mata.
Ketika aku menangis, ternyata Riko sudah ada di sampingku membawa 2 buah cone es krim lalu ia berdiri dihadapanku.
“Bella kamu tidak boleh menangis karena cibiran anak kecil itu. Menurutku kau tetaplah seorang bidadari cantik yang di turunkan Tuhan ke bumi dan selamanya aku disini untukmu. Ini ada eskrim vanila kesukaanmu. Kamu mau?” tawar Riko.
Aku menerima cone eskrim vanila dari tangan Riko. Aku melahapnya dan Riko pun demikian. Di sekitar mulutku banyak sekali es krim yang berceceran. Riko mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya.
“Kamu itu memang dari dulu gak pernah berubah. Cara makan eskrimnya masih seperti anak kecil.” ucap Riko sembari mengelap eskrim yang berceceran kemudian ia mencolek pipiku dengan eskrim coklatnya.
“Riko… apa-apaan sih kamu kok malah colek pipi aku pake es krim?” ucapku seraya memajukan bibir
Memang hanya dia yang bisa membuatku tersenyum saat ku merasa sedih. Aku seharusnya bersyukur Tuhan mengirimkan seorang pangeran tampan seperti dia yang selalu bisa membuatku tersenyum dan ceria. Tapi, kenapa pangeran seperti dia mendapatkan wanita rapuh sepertiku?
“Bella jangan cemberut gitu dong! Tambah jelek tau. Please smile.” Seraya menarik bibirku supaya tersenyum.
Bukannya tersenyum, aku malah merintih kesakitan. Kepalaku sakit serasa ingin pecah. Hidungku perlahan meneteskan darah dan terjatuh di es krim vanilaku. Apa mungkin ini sudah saatnya?
“Bella kamu kenapa?”
Aku tak menjawab pertanyaan Riko yang ada aku terus mengerang kesakitan dan darah dari lubang hidungku terus mengalir. Aku sudah tak kuasa menahan sakit ini dan seketika itu cone es krim yang aku pegang terjatuh begitu saja ke tanah. Perlahan aku mulai mengatupkan mataku dan tak sadarkan diri.
Riko semakin panik. Ia mendorong kursi rodaku melesat cepat ke tempat yang bau obat obatan itu. Dan sekarang aku telah terkulai lemas di atas ranjang dengan bau obat yang teramat menusuk hidung. Belasan jarum suntik terasa menembus kulitku ini. Entah apa cairan yang dimaksukkan ke dalam tubuhku dan suara alat monitor jantung terdengar masuk menggetarkan gendang telingaku.
Dokter yang memeriksaku telah selesai mengontrol kondisiku. Ia keluar dari ruangan itu dan mendekati Riko yang sedang cemas dengan keadaanku.
“Dokter, bagaimana keadaan Bella?” ucap Riko penuh dengan nada khawatir. Dokter itu menepuk bahu Riko dan menatapnya tajam.
“Kondisi Bella sudah sangat lemah.”
Kata-kata itu langsung membuat Riko berhambur ke dalam ruanganku. Mendengar derap langkah kaki itu, aku berusaha untuk membuka kedua kelopak mataku dan akhirnya berhasil.
Aku mampu melihat Riko yang berdiri disampingku. Tanganku berusaha melepaskan alat bantu pernafasan yang bertengger di sekitar hidung dan mulutku dan itu sangat menggangguku untuk berbicara. Setelah alat bantu pernafasan itu terlepas, tangan kananku menggenggam erat tangan Riko.
“Ko, aku mau setelah aku pergi, kamu mencari penggantiku yang lebih cantik, lebih sehat dan lebih daripada aku.”
“Bella, sudah ku bilang jangan berkata seperti itu lagi. Kamu harus bisa melawan penyakit leukimiamu. Dan aku tidak akan mencari penggantimu. Karena cintaku dan cintamu telah terpatri dalam hatiku dan dalam ukiran cinta kita berdua. Hanya kamu yang telah mengisi rongga-rongga hatiku. Dan aku takkan pernah menggantimu sebagai pengisi hatiku untuk seumur hidup.”
Aku hanya tersenyum mendengar pernyataan Riko dan Aku sudah tak sanggup lagi menahan rasa sakit ini. Aku menutup kedua bola mataku dan genggamanku dengan Riko merenggang, jantungku berhenti berdetak selamanya.
“Bella, aku mohon jangan tinggalkan aku.” ucap Riko menangis sembari menggoyang-goyangkan tubuhku yang kaku dan dingin.
Terima kasih Riko, kau telah menemani hari terakhirku. Aku minta maaf padamu karena selama ini aku telah banyak merepotkanmu. Janganlah menangis Riko, tetaplah tersenyum walaupun sudah tak ada aku di sampingmu.
Kini lilin-lilin yang setiap hari kutiup sembari mengucapkan harapan terus menyala tanpa ada yang meniupnya dan setiap hari kekasihku, Riko membawa sebatang lilin yang menyala dan diletakkan di kamarku dan membiarkan api lilin itu mati sendirinya.
~ THE END ~
Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik