Translate

cerpen tukang parfum dan pandai besi

Written By iqbal_editing on Selasa, 16 Mei 2017 | 18.35

Tukang Parfum dan Pandai Besi

By Wi Noya
Jawa Pos, edisi 3 Agustus 2014

SEJAK tubuhku masih beraroma susu, kakek rajin mengaribkan hidungku dengan berbagai wewangian. Penghiduku amat peka terhadap aroma-aroma yang khas, terlebih bau tak sedap kaus kaki, mulut tanpa gigi, serta keju basi. Aku juga dapat mengenali seseorang hanya dengan mengendus bau badannya, kecuali kakek. Aroma keringatnya selalu samar oleh wangi geranium, krisan, maupun mimosa. Bahkan, ketika malaikat maut telah mencabut nyawanya, aku tak jua mencium bau anyir darah atau busuknya jenazah.

Aku ingin mati seperti kakek. Tubuh kakunya kutemukan tergolek di bawah ranjang sambil mendekap sekuntum magnolia. Wajah keriputnya seolah tanpa beban. Harum bunga itu pasti mengantarnya sampai ke surga. Maka, sewaktu kutaburkan kelopak-kelopak bunga di atas gundukan makam yang masih basah, aku berjanji akan menuruti nasihatnya: berkawan dengan orang-orang wangi, lantas menjauhi si pandai besi.

***

Kakek tersohor sebagai peracik parfum tradisional di Pulau Gingeria. Baru kusadari, setelah kepergiannya, wangi di rumahku turut memudar. Tak ada yang mengajakku ke hutan untuk memunguti kayu cendana serta daun-daun nilam. Keranjang bambuku tergeletak di sudut dapur, tak pernah lagi berisi kembang. Mahkota bunga yang biasa ia lingkarkan pada mercu kepalaku, mengering diterpa angin.

Suatu hari, seorang lelaki datang dan mengaku pernah menjadi murid kakek. Ia berniat mengasuhku sebagai balas budi terhadap gurunya. Berbekal kepandaiannya merayu pembeli, ia dipercaya mengelola pabrik parfum milik seorang saudagar kaya. Mendengar kesuksesan semacam itu, para tetangga yang merawatku lantas menyerahkan nasib anak sebatang kara ini padanya.

“Siapa namamu, Manis?” tanya lelaki berpantofel hitam di hadapanku. Ia membuatku kesal karena seenaknya menjamah koleksi parfum kakek. Padahal, hanya beberapa botol yang tersisa setelah aku menjualnya saat kehabisan uang.

“Neroli Ugni Rose Acacia,” jawabku datar.

“Nama yang cantik. Bagaimana aku memanggilmu?”

“Nura.”

“Kau tahu, kenapa aku menjemputmu, Nura?” Ia berjongkok sambil mengibaskan sapu tangan berbau mawar. “Kita akan meneruskan usaha kakekmu, menjadi peracik parfum terkenal di kota. Hidung ajaibmu bisa menciptakan parfum yang luar biasa.”

“Kau membuat parfum?” Aku menyela. Kecurigaanku lesap seketika.

Ia mengangguk mantap seraya mengusap kepalaku. Aroma tubuhnya begitu menyengat. Campuran cedar, mint, geranium, seolah melambangkan dirinya yang ambisius dan petualang.

***

Lelaki itu adalah penjual parfum ternama di Kota Oldie. Percikan sitrun selalu melekat pada tengkuknya, pun bau rambutnya yang sangat melenakan. Ia memberiku tempat tinggal berupa toko kecil di tengah pasar. Kami berjualan sejak siang hingga petang, selepas ia pulang bekerja.

Tugasku cukup memberitahu wangi yang cocok dengan aroma tubuh seseorang, lantas ia akan memulai aksinya. Mulutnya tak henti menyanjung calon pembeli, kemudian ia cipratkan bermacam aroma hingga orang itu terlena dan membeli parfumnya. Kaum perempuan, baik berkulit kencang maupun gelambir, dengan mata genit mereka menanggapi kelakarnya. Casaflava, demikian gadis-gadis menjulukinya.

Di kota ini, aku selalu bersikap manis kepada semua orang, kecuali Ru. Aku menghidarinya semenjak melihat lelaki itu mengasah kapak dan parang. Flava mengingatkanku supaya menjauhi Ru, berikut tempat kumuhnya yang terletak di seberang toko. Seperti pesan yang pernah kakek lontarkan dulu, mendekati pandai besi sama saja merelakan diri terkena percikan api.

Namun, keadaan memaksaku berhutang budi padanya. Saat aku kelaparan, Ru sering mengirimiku makanan. Mulanya aku menolak, tapi ia terus menaruh roti di atas etalase, hanya bila Flava tak kunjung datang. Bahkan dalam situasi genting ketika pintu toko roboh dihantam angin, hanya Ru yang bersedia membantu. Celakanya, Flava menemukan palu milik Ru tergeletak di samping etalase.

“Siapa yang membetulkan pintu?” selidik Flava.

“Ru,” jawabku.

“Ru?!” Flava meradang. “Kau bisa minta pertolongan orang lain, ‘kan? Mengapa tidak menungguku?”

Semalaman Flava memarahiku. Percuma menjelaskan padanya, bahwa di saat itu hanya Ru yang peduli. Orang-orang di kota ini seolah sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Pelanggan Flava yang datang silih berganti, tak sudi membeli jika hanya aku yang berpromosi.

Beruntung Flava lebih dulu pergi sebelum bertemu Ru keesokan harinya. Aku bermaksud mengembalikan benda itu secara diam-diam. Cukup meletakkannya di depan pintu, kemudian pulang.

***

Aku mengintip dari pintu yang terbuka lebar. Rumah Ru hanya bersekat seng dan bata merah. Palu, besi, gerinda, parang, dan pisau berjajar, baik di tanah maupun menggantung pada dinding. Bau arang menyengat tajam.

“Kau sengaja menghalangi pelangganku, Nona Parfum?” Ru mematung di hadapanku. Ia mengenakan kaus tanpa lengan sehingga aku dapat melihat keringat membanjiri sekujur tubuhnya yang gelap.

Aku menggeragap. Jemariku kontan mencengkeram terali pintu saat pemuda itu mendekat. “Aku mau mengembalikan palumu. Terima kasih.”

“Hei, masuklah.” Ia membersihkan tangannya, lalu mengambil sesuatu dari dalam tungku kecil di sudut ruangan. Tumpukan roti yang selama ini memancing liurku.

“Silakan. Aku cuma punya ini untuk menjamu tamu.” Ia duduk bersila di sebelah tumpukan arang.

Sambil menahan malu, aku mendekati Ru yang sibuk menghidangkan sepiring roti gandum dan segelas susu. Ah, mengapa cacing dalam perutku enggan berkompromi?

Tiba-tiba mataku menangkap tabung mungil dengan posisi terbalik di sudut rak. “Apa itu parfum?” tanyaku spontan.

Ru menoleh, mengikuti arah telunjukku. Rautnya tampak keheranan. Ia bangkit, kemudian mengambil sebotol parfum seukuran jari kelingking yang kumaksud. Ia meletakkan parfum tersebut di atas meja kayu.

“Nah, hadiah kecil untukmu dari seorang pengrajin besi.”

Dengan mulut masih tersumpal roti, aku lekas mengoleskan minyak wangi tersebut pada pergelangan tangan. Sekejap memejamkan mata seraya menghirupnya dalam-dalam. Aroma pinus berbaur lavender dan sedikit sentuhan vanila, bau yang mengingatkanku pada kakek.

“Kau suka parfum?” tanyaku ragu.

Ia menghela napas. “Tidak. Parfum itu kubeli untuk kekasihku sebelum ia meninggalkanku demi pria lain. Ambilah, aku sudah tidak memerlukannya.” Ru menenggak minumannya. “Tetapi… kalau ia saja menolak, apalagi ahli parfum sepertimu.”

Pernyataannya membuatku berhenti mengunyah roti.

“Kekasihku bilang, aku lelaki yang tidak peka. Tidak tahu mana parfum berkelas dan feminin. Jangankan membahagiakan, aku hanya mampu membeli minyak wangi murahan untuknya.” Ru mengacak rambutnya. “Heh, untuk apa aku menceritakannya pada anak kecil sepertimu?”

“Aku bukan anak kecil!” bantahku, “kau tahu apa soal parfum?!”

Mata birunya terus menatapku. Ia tersenyum sambil menopang dagu.

“Nona Parfum,” panggilnya agar aku tidak memalingkan muka, “suatu saat kau akan mengerti, tukang parfum tak selalu wangi, dan pandai besi tak selamanya berapi.”

Belum sempat kutanyakan apa makna ucapannya barusan, seseorang memanggilku. Flava muncul di depan pintu. Entah sejak kapan ia berdiri di sana. Mata Flava mengobarkan amarah. Kedua bola itu tampak lebih menakutkan daripada mata elang Ru.

“Jadi ini yang kau kerjakan selama aku tidak ada?”

Aku menghampiri Flava, namun tak bernyali menjawabnya. Ia mengalihkan pandangan, matanya membidik lelaki berotot di belakangku.

“Ayo pulang!” Flava menarik tanganku.

Ru tersenyum masam. Ia melambaikan tangannya hingga aku lenyap dari pandangan. Roti gandum itu, kiranya adalah makanan terakhir yang kusantap bersama si pandai besi.

Flava memaksaku berjejalan di antara kerumunan pengunjung pasar, tanpa memedulikan tatapan orang. Sesampainya di jalan yang sepi, ia menumpahkan segala kekesalan. Ini kali pertama kulihat ia sedemikian gusar.

“Sudah berapa kali kuperingatkan agar menjauhinya?! Sekali lagi kau mendekati tukang besi sialan itu, aku betul-betul akan membuangmu!” Flava menggertak. Ia membanting parfum pemberian Ru, lalu mencengkam lenganku. “Katakan, parfum apa yang kau pakai? Baumu bercampur arang!”

“La… lavender.”

“Oh, Nura. Kau harus mencoba wewangian yang berkelas.” Ia mengambil sebotol parfum dari saku celana. “Pakai.”

“Cendana, lilac….”

“Narcissus, kau tahu? Bunga yang sangat mahal.”

“Narcissus?”

“Aku tidak menjual parfum berkualitas rendah, Nura.”

Aku bungkam. Mataku masih terpaku pada zat cair yang telah meresap di pergelangan tangan. Aneh. Meskipun berkali-kali membaui, aku tak dapat menerka seluruh esens yang terkandung di dalamnya.

***

Esoknya, secara tak terduga Flava mengajakku ke sebuah tempat di pusat kota. Ia menunjukkan beragam mesin canggih yang belum pernah kujumpai. Seluruh pekerja pabrik bergantian menyapa. Aroma tubuh mereka mengelabui hidungku. Sebagian tampak ramah, sebagian lainnya bersikap sinis, mungkin karena aku menempati posisi orang yang telah mengabdi sekian lama. Aku tak peduli. Sebentar lagi impianku menjadi ahli parfum akan segera terwujud.

Flava membuka gerbang besar dengan tiga kunci pengaman. Pekarangan yang luas terhampar di depan mata. Ilalang, dandelion, rerumputan hijau tersibak angin nakal saat menyambutku.

“Kau tahu metode enfluorase?”

“Tidak. Kakek hanya mengajariku proses ekstraksi dan penyulingan.”

Kami berjalan perlahan, menghampiri sebuah kandang besi berpagar kayu di belakang pabrik. Entah apa yang ada di sana, semakin dekat, inderaku menangkap suara dan bau yang janggal.

“Aku menggunakaan lard dalam metode enfluorase.”

“Lard?”

“Untuk mendapat aroma yang kuat, kau membutuhkan lemak hewani yang bisa memerangkap gas parfum agar tidak hilang.”

“Lemak… hewani?” tanyaku bimbang.

“Ini tempat kerjamu sekarang, Nura.” Flava menepuk bahuku.

Aku mengerjapkan mata berulang-ulang ketika ia membuka pintu kandang. Suara-suara ternak kecokelatan yang terus menguik mulai mengacaukan pikiranku. Puluhan ekor berendam di kubangan lumpur, sisanya tampak asyik menyantap pakan. Perutku lantas bergejolak. Kini aku paham, mengapa cairan parfum tempo hari seolah menyatu dengan kulitku.

Wajah kakek, Flava, dan Ru berkelebat dalam benakku. Kakek telah menemui ajal dengan damai. Agaknya, Flava pun tak jauh berbeda, karena ia selalu dikelilingi putri, serta bermandikan cairan wangi. Ru memang tidak seharum tukang parfum, tapi aku dapat membayangkan kepergiannya diiringi aroma gandum. Aku tak sanggup menahan mual jika melukiskan ajalku sendiri. Apakah kelak aku akan mati sambil mendekap seekor babi? (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik