Tukang Parfum dan Pandai Besi
By Wi Noya
Jawa Pos, edisi 3 Agustus 2014
SEJAK tubuhku masih beraroma susu, kakek rajin mengaribkan hidungku
dengan berbagai wewangian. Penghiduku amat peka terhadap aroma-aroma
yang khas, terlebih bau tak sedap kaus kaki, mulut tanpa gigi, serta
keju basi. Aku juga dapat mengenali seseorang hanya dengan mengendus bau
badannya, kecuali kakek. Aroma keringatnya selalu samar oleh wangi
geranium, krisan, maupun mimosa. Bahkan, ketika malaikat maut telah
mencabut nyawanya, aku tak jua mencium bau anyir darah atau busuknya
jenazah.
Aku ingin mati seperti kakek. Tubuh kakunya kutemukan tergolek di bawah
ranjang sambil mendekap sekuntum magnolia. Wajah keriputnya seolah tanpa
beban. Harum bunga itu pasti mengantarnya sampai ke surga. Maka,
sewaktu kutaburkan kelopak-kelopak bunga di atas gundukan makam yang
masih basah, aku berjanji akan menuruti nasihatnya: berkawan dengan
orang-orang wangi, lantas menjauhi si pandai besi.
***
Kakek tersohor sebagai peracik parfum tradisional di Pulau Gingeria.
Baru kusadari, setelah kepergiannya, wangi di rumahku turut memudar. Tak
ada yang mengajakku ke hutan untuk memunguti kayu cendana serta
daun-daun nilam. Keranjang bambuku tergeletak di sudut dapur, tak pernah
lagi berisi kembang. Mahkota bunga yang biasa ia lingkarkan pada mercu
kepalaku, mengering diterpa angin.
Suatu hari, seorang lelaki datang dan mengaku pernah menjadi murid
kakek. Ia berniat mengasuhku sebagai balas budi terhadap gurunya.
Berbekal kepandaiannya merayu pembeli, ia dipercaya mengelola pabrik
parfum milik seorang saudagar kaya. Mendengar kesuksesan semacam itu,
para tetangga yang merawatku lantas menyerahkan nasib anak sebatang kara
ini padanya.
“Siapa namamu, Manis?” tanya lelaki berpantofel hitam di hadapanku. Ia
membuatku kesal karena seenaknya menjamah koleksi parfum kakek. Padahal,
hanya beberapa botol yang tersisa setelah aku menjualnya saat kehabisan
uang.
“Neroli Ugni Rose Acacia,” jawabku datar.
“Nama yang cantik. Bagaimana aku memanggilmu?”
“Nura.”
“Kau tahu, kenapa aku menjemputmu, Nura?” Ia berjongkok sambil
mengibaskan sapu tangan berbau mawar. “Kita akan meneruskan usaha
kakekmu, menjadi peracik parfum terkenal di kota. Hidung ajaibmu bisa
menciptakan parfum yang luar biasa.”
“Kau membuat parfum?” Aku menyela. Kecurigaanku lesap seketika.
Ia mengangguk mantap seraya mengusap kepalaku. Aroma tubuhnya begitu
menyengat. Campuran cedar, mint, geranium, seolah melambangkan dirinya
yang ambisius dan petualang.
***
Lelaki itu adalah penjual parfum ternama di Kota Oldie. Percikan sitrun
selalu melekat pada tengkuknya, pun bau rambutnya yang sangat melenakan.
Ia memberiku tempat tinggal berupa toko kecil di tengah pasar. Kami
berjualan sejak siang hingga petang, selepas ia pulang bekerja.
Tugasku cukup memberitahu wangi yang cocok dengan aroma tubuh seseorang,
lantas ia akan memulai aksinya. Mulutnya tak henti menyanjung calon
pembeli, kemudian ia cipratkan bermacam aroma hingga orang itu terlena
dan membeli parfumnya. Kaum perempuan, baik berkulit kencang maupun
gelambir, dengan mata genit mereka menanggapi kelakarnya. Casaflava,
demikian gadis-gadis menjulukinya.
Di kota ini, aku selalu bersikap manis kepada semua orang, kecuali Ru.
Aku menghidarinya semenjak melihat lelaki itu mengasah kapak dan parang.
Flava mengingatkanku supaya menjauhi Ru, berikut tempat kumuhnya yang
terletak di seberang toko. Seperti pesan yang pernah kakek lontarkan
dulu, mendekati pandai besi sama saja merelakan diri terkena percikan
api.
Namun, keadaan memaksaku berhutang budi padanya. Saat aku kelaparan, Ru
sering mengirimiku makanan. Mulanya aku menolak, tapi ia terus menaruh
roti di atas etalase, hanya bila Flava tak kunjung datang. Bahkan dalam
situasi genting ketika pintu toko roboh dihantam angin, hanya Ru yang
bersedia membantu. Celakanya, Flava menemukan palu milik Ru tergeletak
di samping etalase.
“Siapa yang membetulkan pintu?” selidik Flava.
“Ru,” jawabku.
“Ru?!” Flava meradang. “Kau bisa minta pertolongan orang lain, ‘kan? Mengapa tidak menungguku?”
Semalaman Flava memarahiku. Percuma menjelaskan padanya, bahwa di saat
itu hanya Ru yang peduli. Orang-orang di kota ini seolah sibuk dengan
kepentingannya masing-masing. Pelanggan Flava yang datang silih
berganti, tak sudi membeli jika hanya aku yang berpromosi.
Beruntung Flava lebih dulu pergi sebelum bertemu Ru keesokan harinya.
Aku bermaksud mengembalikan benda itu secara diam-diam. Cukup
meletakkannya di depan pintu, kemudian pulang.
***
Aku mengintip dari pintu yang terbuka lebar. Rumah Ru hanya bersekat
seng dan bata merah. Palu, besi, gerinda, parang, dan pisau berjajar,
baik di tanah maupun menggantung pada dinding. Bau arang menyengat
tajam.
“Kau sengaja menghalangi pelangganku, Nona Parfum?” Ru mematung di
hadapanku. Ia mengenakan kaus tanpa lengan sehingga aku dapat melihat
keringat membanjiri sekujur tubuhnya yang gelap.
Aku menggeragap. Jemariku kontan mencengkeram terali pintu saat pemuda
itu mendekat. “Aku mau mengembalikan palumu. Terima kasih.”
“Hei, masuklah.” Ia membersihkan tangannya, lalu mengambil sesuatu dari
dalam tungku kecil di sudut ruangan. Tumpukan roti yang selama ini
memancing liurku.
“Silakan. Aku cuma punya ini untuk menjamu tamu.” Ia duduk bersila di sebelah tumpukan arang.
Sambil menahan malu, aku mendekati Ru yang sibuk menghidangkan sepiring
roti gandum dan segelas susu. Ah, mengapa cacing dalam perutku enggan
berkompromi?
Tiba-tiba mataku menangkap tabung mungil dengan posisi terbalik di sudut rak. “Apa itu parfum?” tanyaku spontan.
Ru menoleh, mengikuti arah telunjukku. Rautnya tampak keheranan. Ia
bangkit, kemudian mengambil sebotol parfum seukuran jari kelingking yang
kumaksud. Ia meletakkan parfum tersebut di atas meja kayu.
“Nah, hadiah kecil untukmu dari seorang pengrajin besi.”
Dengan mulut masih tersumpal roti, aku lekas mengoleskan minyak wangi
tersebut pada pergelangan tangan. Sekejap memejamkan mata seraya
menghirupnya dalam-dalam. Aroma pinus berbaur lavender dan sedikit
sentuhan vanila, bau yang mengingatkanku pada kakek.
“Kau suka parfum?” tanyaku ragu.
Ia menghela napas. “Tidak. Parfum itu kubeli untuk kekasihku sebelum ia
meninggalkanku demi pria lain. Ambilah, aku sudah tidak memerlukannya.”
Ru menenggak minumannya. “Tetapi… kalau ia saja menolak, apalagi ahli
parfum sepertimu.”
Pernyataannya membuatku berhenti mengunyah roti.
“Kekasihku bilang, aku lelaki yang tidak peka. Tidak tahu mana parfum
berkelas dan feminin. Jangankan membahagiakan, aku hanya mampu membeli
minyak wangi murahan untuknya.” Ru mengacak rambutnya. “Heh, untuk apa
aku menceritakannya pada anak kecil sepertimu?”
“Aku bukan anak kecil!” bantahku, “kau tahu apa soal parfum?!”
Mata birunya terus menatapku. Ia tersenyum sambil menopang dagu.
“Nona Parfum,” panggilnya agar aku tidak memalingkan muka, “suatu saat
kau akan mengerti, tukang parfum tak selalu wangi, dan pandai besi tak
selamanya berapi.”
Belum sempat kutanyakan apa makna ucapannya barusan, seseorang
memanggilku. Flava muncul di depan pintu. Entah sejak kapan ia berdiri
di sana. Mata Flava mengobarkan amarah. Kedua bola itu tampak lebih
menakutkan daripada mata elang Ru.
“Jadi ini yang kau kerjakan selama aku tidak ada?”
Aku menghampiri Flava, namun tak bernyali menjawabnya. Ia mengalihkan pandangan, matanya membidik lelaki berotot di belakangku.
“Ayo pulang!” Flava menarik tanganku.
Ru tersenyum masam. Ia melambaikan tangannya hingga aku lenyap dari
pandangan. Roti gandum itu, kiranya adalah makanan terakhir yang
kusantap bersama si pandai besi.
Flava memaksaku berjejalan di antara kerumunan pengunjung pasar, tanpa
memedulikan tatapan orang. Sesampainya di jalan yang sepi, ia
menumpahkan segala kekesalan. Ini kali pertama kulihat ia sedemikian
gusar.
“Sudah berapa kali kuperingatkan agar menjauhinya?! Sekali lagi kau
mendekati tukang besi sialan itu, aku betul-betul akan membuangmu!”
Flava menggertak. Ia membanting parfum pemberian Ru, lalu mencengkam
lenganku. “Katakan, parfum apa yang kau pakai? Baumu bercampur arang!”
“La… lavender.”
“Oh, Nura. Kau harus mencoba wewangian yang berkelas.” Ia mengambil sebotol parfum dari saku celana. “Pakai.”
“Cendana, lilac….”
“Narcissus, kau tahu? Bunga yang sangat mahal.”
“Narcissus?”
“Aku tidak menjual parfum berkualitas rendah, Nura.”
Aku bungkam. Mataku masih terpaku pada zat cair yang telah meresap di
pergelangan tangan. Aneh. Meskipun berkali-kali membaui, aku tak dapat
menerka seluruh esens yang terkandung di dalamnya.
***
Esoknya, secara tak terduga Flava mengajakku ke sebuah tempat di pusat
kota. Ia menunjukkan beragam mesin canggih yang belum pernah kujumpai.
Seluruh pekerja pabrik bergantian menyapa. Aroma tubuh mereka mengelabui
hidungku. Sebagian tampak ramah, sebagian lainnya bersikap sinis,
mungkin karena aku menempati posisi orang yang telah mengabdi sekian
lama. Aku tak peduli. Sebentar lagi impianku menjadi ahli parfum akan
segera terwujud.
Flava membuka gerbang besar dengan tiga kunci pengaman. Pekarangan yang
luas terhampar di depan mata. Ilalang, dandelion, rerumputan hijau
tersibak angin nakal saat menyambutku.
“Kau tahu metode enfluorase?”
“Tidak. Kakek hanya mengajariku proses ekstraksi dan penyulingan.”
Kami berjalan perlahan, menghampiri sebuah kandang besi berpagar kayu di
belakang pabrik. Entah apa yang ada di sana, semakin dekat, inderaku
menangkap suara dan bau yang janggal.
“Aku menggunakaan lard dalam metode enfluorase.”
“Lard?”
“Untuk mendapat aroma yang kuat, kau membutuhkan lemak hewani yang bisa memerangkap gas parfum agar tidak hilang.”
“Lemak… hewani?” tanyaku bimbang.
“Ini tempat kerjamu sekarang, Nura.” Flava menepuk bahuku.
Aku mengerjapkan mata berulang-ulang ketika ia membuka pintu kandang.
Suara-suara ternak kecokelatan yang terus menguik mulai mengacaukan
pikiranku. Puluhan ekor berendam di kubangan lumpur, sisanya tampak
asyik menyantap pakan. Perutku lantas bergejolak. Kini aku paham,
mengapa cairan parfum tempo hari seolah menyatu dengan kulitku.
Wajah kakek, Flava, dan Ru berkelebat dalam benakku. Kakek telah menemui
ajal dengan damai. Agaknya, Flava pun tak jauh berbeda, karena ia
selalu dikelilingi putri, serta bermandikan cairan wangi. Ru memang
tidak seharum tukang parfum, tapi aku dapat membayangkan kepergiannya
diiringi aroma gandum. Aku tak sanggup menahan mual jika melukiskan
ajalku sendiri. Apakah kelak aku akan mati sambil mendekap seekor babi?
(*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar