PASAR
Subuh yang bening, langkah Acil Irus menguak hening. Usai sholat subuh ia pamit pada suami, embun menemani perjalanannya menuju ssuatu tempat di bilangan Pasar Baru. Di sana para tengkulak dari pinggiran kota; Samboja dan Gunung Binjai. Acil Irus pedagang kecil yang menyewa lapak di pasar Manggar bersama pedagang lainnya memilah-milah hasil pertanian berupa sayur mayur untuk dibeli sesuai modal yang dimilikinya. Lalu menjualnya kembali di pasar Manggar.
Setiap hari setidaknya ia harus menyediakan sekitar lima ratus ribu, untuk membeli bayam, sawi, tomat dan sayuran lainnya. Tidak banyak memang, tapi bagi acil Irus itu sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan yang terpenting untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Seorang anak perempuannya, Fitri, sejak lulus SD meminta dimasukkan di pondok pesantren. Acil dan suaminya setuju, sebab, lingkungan di desanya sudah menhkhawatirkan, bulan lalu, tiga remaja diamankan polsek Balikpapan Timur karena ketahuan mengedarkan obat terlarang jenis dobel L, bagi remaja desa, jenis obat terlarang ini cukup terjangkau, hanya dengan sepuluh ribu mereka sudah fly.
Peredran obat terlarang sudah sejak lama menjangkau desa-desa, itulah yang meresahkan para orang tua. Untunglah di dekat kampung Acil Irus, sejak tahun 1975 berdiri pondok pesantren, maka ia langsung setuju saat anaknya, Fitri, menyampaikan keinginan masuk pesantren. Setiap usai berjualan di pasar ia melintasi pondok itu, sambil membayangkan sang putri sedang mengaji dan mendalami pengetahuan agamanya.
“Bayamnya berapa satu ikat, cil”
“Seribu lima ratus, mau berapa?”
“Satu aja cil, nanti ndak habis”
“Siapa tau mau syukuran”
“Tiap hari syukuran kita sudah cil”
“
Advertisements