Ini soal perasaan, soal yang sangat pribadi pada diri seseorang.
Karena itu jangan pernah membantah atau menyangsikan ungkapan perasaan
seseorang, apapun itu. Juga ketika Rumila, seorang gadis manis usia
jelang dewasa, menyatakan bahwa purnama semalam berasa stroberi.
“Bagaimana
kamu mengenalinya bahwa itu rasa stroberi, bukan rasa buah naga atau
apel malang, bukan buah manggis atau kelengkeng?” tanya Siskia – teman
kuliah yang paling akrab- setengah terkejut, dengan wajah berkerut aneh.
“Aku
amat suka makan buah, apa saja. Namun memang buah stroberi yang paling
kusuka. Terasa asam, legit, dingin, dan nendang campur-aduk di lidah.
Rasa itu sangat kuhafal. Jadi kadang apapun yang kulihat dan kucecap
bila membuatku penasaran akan terasa serupa stroberi, termasuk bulan
bulat tadi malam. Keindahannya menawarkan perasaan menyegarkan. . . .
.!” jelas Rumila dengan aksen serupa dialog pemain watak di panggung
teater, jelas dan fasih.
“Bahkan untuk sebuah purnama yang begitu jauh jaraknya dari bumi?”
“Ya,
tentu saja. Aku merasakan melalui indera mata, telinga, peraba, dan
terutama perasaan. Semua kuendapkan dalam kepala untuk sampai pada
kesimpulan sederhana tak terbantahkan di lidah: purnama rasa stroberi!”
“Absurd,
aneh. . . . .gila!” komentar Saskia sambil beranjak dari bangku kayu
panjang di halaman kampus. Ia bergegas untuk mengikuti kuliah pertama di
Jurusan Teater yang dipilihnya. Beberapa menit lagi pukul sepuluh pagi,
saat kuliah dimulai. Hari itu matahari menyorot terik, suasana kampus
ramai.
***
Apa yang sebenarnya dialami Rumila tentu
hanya gadis itu saja yang tahu persis. Purnama tanggal lima belas
kalender Komariah malam itu memang terlihat sangat sempurna, bulat
terang. Mengambang di keluasan langit yang diselang-seling dengan mega
kelabu sepotong-sepotong serupa goyangan ombak laut selatan.
Dalam
kondisi begitu ada saja yang muncul dalam ingatannya. Kini tentang
perempuan yang melahirkan dan membesarkannya. “Mami, aku merindukanmu.
Rindu pada senyummu ketika mengabulkan permintaanku. Rindu pada
pelukanmu ketika aku menangis sedih karena nilai ujianku tidak cukup
memadai untuk masuk ke SMA favorit. Rindu pada semua kata-kata lembutmu
yang mengharuskanku terus menerabas rintangan meski hidup dalam serba
kekurangan sepeninggal papi darimu. . . . !”
Tidak ada Mami di
situ. Perempuan itu bertahun lalu menikah lagi dengan duda bule dan ia
dibawa ke dataran Eropa sana. Sementara itu Rumila hidup sendiri di
rumah kost lantai dua. Mencari kehidupan sendiri untuk dapat meneruskan
kuliah. Dari teras kamar kost ia dapat langsung menghadap ke langit.
Untuk menikmati sinar bulan dengan lebih seksama ia mengeluarkan sebuah
kursi rotan yang dimilikinya. Hari lewat tengah malam sudah. Sepi dan
dingin. Rumila baru selesai belajar, belum mengantuk benar.
Rumila
mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Dan kemudian ingatan lain
muncul. Seminggu lalu ia menolak lagi ungkapan terus terang seorang
cowok yang coba mendekatinya. Ia bernama Januar, mengaku seorang
pengusaha muda. Lelaki itu hampir mirip dengan sosok Papi, perawakan,
gaya bicara dan orientasi kehidupannya yang praktis-ekonomis-hedonis.
Maka seketika itu Rumila menolak lagi. Cowok itu yang keempat, atau
kelima. Rumila tidak pernah mempedulikan perasaan kagum, memuja,
terpesona, atau apapun lainnya. Ia tidak gampang untuk menyerah pada
romantisme yang bisa saja salah arah.
Maka di teras rumah kost
lantai dua itu Rumila terduduk kaku dengan wajah mendongak sambil
merasakan berbagai aneka perasaan dan pikiran yang berkecamuk menjadi
satu. Pemicunya tentu saja bulan purnama yang
mencrang-mencorong-kinclong, meski sesekali menghilang tertutup tumpukan
mega yang melaju bolak-balik seolah cemburu pada kecantikan rembulan
penuh yang begitu sempurna.
Lalu Rumila teringat pada satu nama
yang sudah sangat lama dilupakannya. Jowi, teman masa kanak hingga SMP,
karib yang sangat menyenangkan. Sampai suatu hari lelaki cilik itu
menghilang dibawa hanyut banjir Sungai Cikapundung. Rumila masih ingat
pada pertanyaan Jowi yang tak pernah dijawabnya: “Mengapa kamu lebih
suka berteman dengan aku yang cacat dan jelek ini? Padahal banyak cowok
lain yang ganteng dan kaya ingin berteman akrab denganmu!”
***
Jelang
tengah malam selalu ada kejadian menarik di gerbang rumah kost. Para
lelaki yang mengantar pacar dari acara mereka, entah apa. Rumila sampai
hafal apa yang mereka lakukan di depan gerbang. Ada yang sekadar saling
melambaikan tangan, yang lain berpelukan; tapi tak jarang ada yang
justru bertengkar hebat. Ada yang pakai teriak-teriak segala sehingga
semua penghuni rumah kost melongok keluar jendela.
Ketika Saskia
melangkah menaiki tangga menuju lantai dua rumah kost, Rumila menunggu
di ujung tangga. Kawan kuliah itu tampak kesal dengan mulut masih
mengomel.
“Bagiku, purnama selalu membawa sial. . . . . .!” ucap
Saskia sebelum Rumila berkata sesuatu. “Tiga purnama kami berpacaran,
dan pada purnama ke empat semuanya harus selesai. . . . .!”
Rumila
tak ingin berkomentgar, tak ingin berbantahan. Tiap orang toh boleh
saja punya pendapat berbeda, karena pikiran dan pengalaman hidup orang
per orang juga berbeda. Tapi baginya sendiri, purnama selalu berasa
stroberi, tak lebih tak kurang!***
Bandung, 14 Februari 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar