Setiap kali memandang papan tulis, Ngadi selalu gelisah. Kedua matanya
tidak berfungsi untuk jarak lebih dari dua meter. Ia akan melihat
kearahku dan aku memberikan padanya apa yang baru kusalin dari papan
tulis. Bu Asri, wali kelas kami, sudah mengizinkan Ngadi untuk mendengar
saja. Setahuku Ngadi dulu pernah punya kacamata. Tetapi pecah saat
bermain dengan Wahyudi dan sampai sekarang belum memiliki gantinya.
Keluarga Ngadi memang hidup pas-pasan. Bapaknya seorang tukang batu.
Ibunya menjual sayur dari rumah ke rumah di sepanjang bukit-bukit padas.
Karena gangguan matanya, Ngadi tidak dapat membedakan wajah orang
didepannya dengan jelas. Seringkali ibu guru yang bertubuh kecil
dianggap sebagai temannya. Itu membuatku merasa geli namun juga sedih.
Apabila malam tiba, aku sering membayangkan kehidupan Ngadi. Di bawah
temaram lampu minyak ia mengeja huruf dalam dingin rumah bambu. Aku
ingin menolong Ngadi. Tetapi aku juga tidak mau merepotkan orang lain.
Apalagi ayahku sekarang tidak ada di rumah. Lama aku merenung. Tiba-tiba
mataku tertumpuk pada sisa selembar kulit. Selembar kulit bahan wayang
yang masih mentah.
"Ah, aku kan bisa menatah!" gumamku pada diri sendiri. Sejak Sekolah
Dasar, 'membuat wayang' menjadi pelajaran tambahan yang wajib di
daerahku. Tetapi hanya beberapa orang yang menekuninya sebagai
pengrajin. Dulu ayahku juga pernah menjadi penatah wayang. Tetapi karena
penghasilannya sedikit, Ayah nekat merantau ke Jakarta mengikuti Pak
Nasir yang telah jadi kontraktor sukses. Sejak itu setiap bulan Ayah
dapat mengirimiku uang sampai saat ini.
Karena pernah mengalami kehidupan miskin, aku bisa merasakan derita Ngadi.
Kulit kerbau warna cokelat itu mulai kuraba. Aku mulai memilih tokoh
wayang yang akan aku buat. Akhirnya kuputuskan untuk membuat tokoh Bima.
Aku mulai memindahkan pola di atas kulit. Aku mulai menatah satu per
satu ornamen yang ada pada tokoh Bima. Aku juga mencoba memasukkan jiwa
ke dalamnya seperti yang pernah diajarkan ayahku dulu. Hari ketiga aku
sudah mencampur cat poster. Lalu menggoreskan gradasi warna dengan
hati-hati.
Setelah tujuh hari, dengan tangan kecil dan keringatku, Bima pun berdiri
tegak gagah di hadapanku. Tinggal memasang penyu di rumah Pak Taru
langganan Ayahku dulu. Oh ya Pak Taru adalah petugas koperasi yang
menyediakan peralatan pembuatan wayang di desaku.
Pagi-pagi sekali aku membawa Bima yang telah kubungkus rapi menghadap
Kepala Sekolah. Satu-satunya harapanku untuk menolong Ngadi. Sebab
beliau selalu menekankan untuk tolong menolong antar sesama. Bapak
Kepala Sekolah menatapku, mukanya ramah kebapakan.
"Ada apa Budi," sapa beliau. Aku sempat heran bagaimana beliau tahu
namaku. Tetapi ketika kuikuti arah pandangannya aku jadi mengerti. Aku
gembira seperti kehilangan kata-kata dihadapan beliau. Aku mengambil
napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku. Bapak Kepala Sekolah
menanti dengan penuh kesabaran.
"Bapak pernah bercerita kalau Bima itu tokoh simbol kebaikan. Juga memiliki sikap yang baik seorang murid terhadap gurunya."
"Iya, Bapak ingat betul itu amanat pertama Bapak saat diangkat menjadi
Kepala Sekolah disini," beliau meyakinkan. Aku mengambil napas lega.
"Sebelumnya mohon maaf. Saya tidak tahu apakah langkah saya ini baik
atau buruk," ujarku mulai lancar bercerita. Bapak Kepala Sekolah
menatapku, dengan serius memperhatikan ucapanku. "Apakah Bapak mau
membeli Bima yang saya buat dengan tangan dan keringat saya sendiri?"
tanyaku penuh harap. Bapak Kepala sekolah masih menatapku dengan senyum
yang khas.
"Coba perlihatkan."
Aku mengeluarkan tokoh Bima dari kantong kain dan menyerahkan kepada
beliau. Bapak Kepala Sekolah menimang Bima di tangan kanannya sedangkan
tangan kirinya memainkan tangan Bima. Beliau tersenyum puas.
"Untuk apa uangnya nanti?" tanya beliau.
"Untuk membeli kacamata," sahutku mantap.
"Kacamata untuk siapa?" tanya beliau lagi.
"Untuk teman saya, Ngadi," jawabku.
Lalu tanpa diminta aku menceritakan keadaan Ngadi. Dahi beliau tampak
berkerut kemudian mengangguk dan tersenyum puas. Beliau menepuk pundakku
dan berucap, "Kamu pantas untuk jadi Bima!" Hatiku seperti dilambungkan
pada tempat yang jauh.
"Tolong kamu panggil Ngadi kemari," perintahnya. Aku bergegas memanggilnya.
Setelah memberi beberapa pesan kepada Bapak Wakil Kepala Sekolah, beliau
mengajak Ngadi dan memilihkan kacamata yang cocok untuknya. Bapak
Kepala Sekolah mengambil uang dari sakunya.
Begitu Ngadi memakai kacamata wajahnya kelihatan cerah.
"Terima kasih Pak, saya bisa melihat lagi," ucap Ngadi tulus. Matanya berkaca-kaca dari balik kacamata baru yang dipakainya.
Bapak Kepala Sekolah juga tersenyum puas.
"Berterimakasihlah pada Bima. Itu hadiah dari dia."
"Bima siapa?" tanya Ngadi bingung.
"Bima Werkudara," jawabku kalem.
Matahari mulai meninggi tetapi begitu indah di mata Ngadi. *****
0 komentar:
Posting Komentar