Siapa?
Ayahku.
Benar?
Dia, tukang jam
***
Katamu, kita tak berjodoh.
“Bukan, kita yang tak mau berjodoh,” bantahku.
Dan kau langsung membuang pandangan keluar jendela, menonton rumah-rumah
dan pepohonan yang melesat cepat. Benar-benar membuatku tak habis
pikir. Apa kau lupa betapa susahnya kita mencuri waktu hanya untuk
saling memandang? Kau lupa betapa bencinya kita pada dinding, tumpukan
buku dan punggung-punggung yang membuat kita sulit untuk melihat wajah
masing-masing?
“Apa sekarang pohon-pohonnya lebih menarik dariku?”
“Jangan mulai,” kau menyahut tanpa melihatku. Tapi ada urat yang mulai
mengendur dan senyum tipis muncul di bibirmu. Aku tertawa, merasa sangat
bangga. Tentangmu, aku sangat ahli. Tentangmu, aku mirip ensiklopedi.
“Jangan mandangin aku terus,” desismu. Aku langsung tersenyum dan mengenggam tanganmu lembut.
“Tapi suka, kan?”
“Mana mungkin,” sahutmu angkuh. Tawaku meledak lagi. Selalu menyenangkan melihatmu berlagak seperti itu.
Sebenarnya aku ingin menggodamu lagi. Tapi kau bilang, urusan
goda-menggoda seharusnya sudah selesai. Karena kini saatnya kau dan aku
membicarakan apa yang harusnya kita bicarakan bertahun-tahun lalu.
Membicarakan ide yang sekarang terasa basi dan tidak masuk akal.
Apa karena rencana kita yang terlalu besar? Kau selalu sangat
bersemangat akan ide tentang berangkat kuliah bersama, menyusuri setiap
jalan dan sudut di kota London dengan bergandengan tangan saat akhir
minggu dan saling mencium tanpa ragu.
“Setelah kuliah kita selesai, apa yang akan kita lakukan?”
Bertahun-tahun kita menghindari pertanyaan itu. Sekarang harus dijawab
karena usia tak muda lagi. Ah, tapi bukan usia yang membuat kita takut.
Kenyataan bahwa kita membohongi orang banyaklah yang membuat kita
gentar. Terlebih dirimu. Kau, yang terlalu disiplin untuk urusan surga
neraka.
Kau takut kita kepergok tiduran di rumput pada malam hari dan memandangi
kunang-kunang. Kau takut ada yang melihat saat kita sedang berusaha
saling menggenggam tangan satu sama lain. Dan selama ini, setiap hari,
kau selalu khawatir jika orang kantor ada yang iseng mengungkit status
lajang kita.
“Kalian berdua kenapa masih belum punya pacar?”
Ya, kita tak punya jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Kita hanya bisa
meracau soal ‘masih ingin sendiri’. Lalu pertanyaan itu semakin sering
menerpamu ketika ada yang tahu kebiasaanmu naik gunung sendirian.
Sebentar, sudah lama aku ingin bicara soal hobi mendakimu ini. Ah, aku
benar-benar frustasi dibuatnya. Kau selalu mengabaikan rasa cemasku yang
sering memuncak saat kau tak bisa ditelepon. Mengabaikanku meski tahu
aku selalu marah saat cemas.
“Sudah kubilang, ajak teman. Teman pria juga tidak kenapa!”
“Aku bisa sendiri kok,” jawabmu selalu.
Bagaimana aku bisa percaya? Kau bahkan tak membawa kotak obat saat bepergian.
“Tapi aku pulang dalam keadaan sehat. Dan masih hidup,” bantahmu sombong.
Kau tak pernah sadar bagaimana acap kali. diam-diam, kumasukkan obat
sakit perut ke dalam ranselmu, bukan? Lalu kau sering bercerita dengan
bangga tentang selalu membawa obat bahkan saat kau lupa kapan
memasukkannya. Kadang kupikir kau menderita amnesia dadakan. Dan
penyakit ‘tak tahu diri’ akut.
Tiap tahun kau selalu naik gunung, makin mirip ritual. Karena kau tahu,
aku akan selalu memberi ijin. Ya, untuk satu ini aku memang tak bisa
melarangmu. Aku tak bisa lupa tragedi naik gunungmu pertama kali. Kau
mendaki, menghilang dihutan tak terjangkau provider manapun
tepat dihari ayah dan ibu membawa seorang gadis ke rumah untuk
dikenalkan padaku. Kau tak marah. Hanya saja esoknya aku sudah mendapati
diriku tak bisa menemukan dan meneleponmu. Aku kehilanganmu total.
Kehilanganmu bukan hal yang sangat menakutkan buatku. Dulu.
Ya, dulu kita tak takut kehilangan satu sama lain. Kita pernah yakin
bahwa pelukan kita akan mendingin sebelum waktu memaksa kita
mendinginkannya sendiri. Dengan percaya diri mengatakan bahwa seperti
cinta yang terlalu menggebu di awal, cinta kita juga akan padam dengan
cepat. Lalu sambil menertawai semua kebodohan itu, kita akan kembali
pada hidup masing-masing. Kau dengan hidupmu, aku dengan hidupku. Kau ke
gereja setiap minggu, aku bersarung setiap Jumat. Agar tambah ganteng,
seperti yang selalu kau ucapkan dulu untuk menggodaku.
Tapi ternyata kita memang tak benar-benar ahli dalam hal meramal masa
depan. Tak pernah menyamai Nostradamus. Matamu semakin bergerak liar
saat tak menemukanku. Sementara aku semakin takut melepas tanganmu di
tengah keramaian. Lalu telapak tanganmu menjadi satu-satunya yang kucari
saat hatiku terlalu kacau. Kau menjadi lebih menyenangkan dari kue
nastar saat Lebaran.
Helaan nafasmu yang terlalu panjang membuatku menghentikan lamunanku.
Kau menutup novel dan memandang keluar jendela. Membuatku benar-benar
ingin menyingkirkan jendela itu. Tapi di saat yang bersamaan aku sadar
jika jendela itu juga mengirimkan sinar bulan yang membuatku bisa
menatap wajahmu. Kau indah, kau tahu? Tidak, tidak saat kau memakai
setelan mahal kebangganmu itu. Tapi saat kau memakai kaus dengan noda
kopi, laptop menyala namun matamu mengarah padaku. Membuatku ingin
melarikanmu jauh-jauh agar kita tak usah berurusan dengan langit, bumi,
surga, neraka.
Dua kali. Dua kali aku pernah berpikir untuk benar-benar membawamu ke
hadapan orang yang mampu mengesahkan kita dalam kecepatan cahaya agar
kita tidak keburu diserang rasa takut dan ragu. Pertama, saat kancing
bajuku lepas. Kau menjahitnya dan aku tiduran di sebelahmu, menunggumu
selesai. Aku tidak menyangka kau terampil dengan jarum dan benang.
“Bisa jarit?” tanyaku heran.
Kau mengirimkan tatapan menghina,”Tentu saja.”
“Oh,” sahutku pendek, cari damai.
Tapi kau lalu menatapku penasaran,“Kenapa? Kenapa?”
Aku memutar mata. Kau memang selalu sensitif jika diragukan. Jika aku
bilang aku tidak percaya, maka kau akan terus mencecarku. Mengejar
alasan pertama, kedua dan seterusnya. Terus berusaha mencari tahu apakah
kau sama sekali tidak terlihat seperti orang yang ahli dalam
mengerjakan sesuatu. Tidak hanya menanyaiku, tapi semua orang. Kau akan
lebih heboh dari ayam minta kawin.
Kali kedua aku ingin mengikat janji denganmu adalah saat aku bertanya
padamu apa yang akan terjadi kalau aku menjadikanmu pacar dan
mengakuinya pada semua orang. Alih-alih menjawab langsung, kau menulis
pada secarik kertas.
Aku berjanji bahwa aku akan menjadi pacar;
..yang paling tidak rewel
..yang tidak akan pernah membuatmu terjebak dalam jam-jam panjang penuh pertengkaran
…yang tidak akan pernah mengirim pesan bernada cemburu, curiga
…yang tidak akan menuntut ketika kamu tidak mengirim pesan lebih dari dua hari
…yang akan membalas dengan cepat dan hangat setiap kali kamu mengirim pesan
…yang tidak akan meminta dibelikan coklat atau bunga, apalagi barang mahal
…yang tidak akan membuatmu merasa memiliki kewajiban menjemput dan mengantarku.
…yang akan mencintaimu sampai kau bosan.
Setelah membaca itu, yang bisa kukatakan padamu hanya satu,
“Siapa pun dia nanti, berikan definisi cinta yang berbeda padanya. Jangan berani-beraninya kau berikan yang sama denganku.”
Ya, definisi pemberianmu itu kusimpan di dompet dengan jaritan khusus
yang baru kutambahkan di tukang jahit, karena ia lebih berharga dari
kartu-kartu kreditku. Dan harus selalu kubawa kemana-mana agar aku bisa
bernafas normal.
“Han?” suaramu lamat-lamat terdengar, kembali menyadarkanku.
“Ya?” sahutku.
Kau terdiam sejenak.“Pernahkan kau berpikir, apa kita benar-benar saling jatuh cinta?”
Aku menoleh, terkejut. Tak percaya kau menanyakan hal itu. Tanganmu bergerak menangkup kedua pipiku. Matamu menatapku dalam.
“Tolong, jangan marah. Coba tanya dirimu sendiri.”
Lalu kau bergumam soal hati kita yang mungkin terlalu sibuk merasa
hingga pikiran jadi lupa menimbang. Kau mulai lagi. Terlalu berlebihan
memikirkan sesuatu. Aku mendengus, merasa pertanyaan itu sangat bodoh.
Yang kutahu, suatu hari aku memiliki dorongan kuat untuk melihatmu dan
merasa sangat merindukanmu. Esoknya dan esoknya lagi. Lalu berakhir
ketagihan hingga sekarang. Apa perlu dipikir lagi?
“Kau sendiri…benar-benar mencintaiku?” alih-alih menjawab, aku bertanya balik. Berharap kamu menganggukkan kepala dengan pasti.
“Aku tidak tahu,” sahutmu sangat pelan.
Sekali lagi aku terkejut mendengarmu. Rasa kecewa menghantam menyusul
perasaan tidak percaya. Ingin sekali kukatakan padamu keras-keras bahwa
pikiran yang terlalu banyak menimbang membuat hati lupa merasakan.
Itulah asal muasal perpisahan.
Ah, aku lupa. Memang itu yang akan kita lakukan sekarang, bukan?
Berpisah. Mungkin sekarang kau ingin cepat-cepat menemukan pemberhentian
bus sehingga bisa menurunkanku disana. Aku melirikmu. Tiba-tiba merasa
bahwa aku tidak sedang bersama dengan orang yang sama dengan yang kubawa
melihat matahari terbenam tadi sore. Benarkah kau pemilik kening yang
selalu ingin kucium berulang-ulang? Tanpa mengalihkan pandangan dari
kedua tanganku yang mencengkram lutut keras-keras hingga membuat semua
buku jari memutih, aku berkata,
“Aku juga tidak tahu.”
Kepalamu berpaling dan menampilkan wajah yang terkejut. Kau menengadah
menatapku dengan tangan refleks hinggap di dadaku. Merasakan tanganmu,
kemarahan yang tadi menyesaki tenggoranku terasa asing. Perasaan
bersalah menyerbuku. Maaf, kau masih sosok yang sama dengan yang tadi.
Kau masih sosok yang kucium keningnya tadi sore. Kau masih satu-satunya
orang yang punggungnya selalu ingin kulihat dan tangannya selalu ingin
kugenggam.
“Tidak, aku tidak bermaksud begitu,” kucoba memelukmu. Tapi kau diam tak bereaksi. Lalu tiba-tiba kau berkata,
“Aku benar-benar takut.”
Lama aku mencerna kalimatmu. Terasa asing. Takut? Selama ini aku tak
pernah memikirkan kemungkinan itu. Kupikir hubungan ini berjalan tanpa
ada rasa takut yang bisa menghigapi satu diantara kita. Kita…terlalu
kuat bukan untuk merasa takut? Tapi sekarang kau mengatakan bahwa kau
merasa takut. Lalu kutatap wajahmu yang mengerut siap menangis.
Kau benar-benar takut? Kurengkuh tubuhmu yang mulai bergetar dan air
matamu mengalir. Tangis pertamamu setelah sepuluh tahun. Tangis ini
membuatku berpikir, bagaimana jika besok kau menangis lagi? Besok, aku
tak akan bisa meredakan rasa rindumu. Dan suatu hari di depan sana, rasa
cemas, gugup dan takutmu mungkin harus kau redakan sendiri.
Dan siapa yang kau telepon nanti kalau malam-malam merasa bosan? Oh, aku
lupa kalau kau bakan belum selesai kursus menyetir. Kalau hujan, apa
kau akan nekat naik motor ke kantor? Kau tak suka nasi, lebih suka kopi.
Apa aku harus menyuruh orang lain untuk mengingatkanmu makan? Kau juga
tak pernah ingat meminum air putih setelah minum kopi.
Tidak, tidak. aku tidak bisa meninggalkanmu sekarang. Aku tak bisa
menyetujui rencanamu untuk menghentikan semuanya sekarang. Aku takut
saat kau pulang, kau menangis lagi dalam gelap. Tak mau bangun hingga
besok. Tidak. Mungkin satu atau dua tahun lagi. Benar, dua tahun lagi.
“Aku pasti sarapan dengan benar,” tiba-tiba kau bicara. “Dari seminggu yang lalu aku berusaha berhenti minum kopi.”
Aku terdiam. Ya, aku salah. Kau benar, mungkin memang sudah saatnya.
Tidak perlu dua tahun tambahan. Benar, mungkin memang harus sekarang.
Seharusnya aku sudah menyadari bahwa kau sudah menetapkan hari ini
sebagai hari penghabisan. Bahkan sejak sore tadi, berulang kali kau
menunjukkan padaku sebuah baris kalimat dari novel yang kau baca.
Jika seorang pria jatuh cinta, maka dia akan sanggup melepas segalanya.
“Lalu?” aku pura-pura tidak mengerti, memilih memandangi penumpang lain.
“Lelaki harus berkorban demi cintanya,” sahutmu.
“Kau juga lelaki, jangan lupa.”
Mendengar sahutanku, kau langsung terdiam. Tidak tertawa seperti biasanya.
“Kau bukan ayah, kau tak bisa memundurkan waktu,” tiba-tiba kau berujar
dengan nada lelah. Kepalamu kau letakkan di sandaran kursi. Kata-katamu
seperti kau tujukan untukmu sendiri.
“Aku bukan tukang jam,” geramku.“Ya, kita tidak perlu dua tahun lagi.”
Tak ada sahutan darimu. Kutarik kembali kepalamu dan kuhempaskan sebutir kancing teratas kemejaku dan mengulurkannya padamu.
”Ini.”
Kau menatap kancing di tangamu, menyentuhnya dan ujung jemarimu. Dengan
kancing ini, aku ingin kau ingat bahwa bagaimanapun istriku kelak
menjahitkan kancing bajuku yang lepas, kau satu-satunya yang berhak
untuk kancing paling atas. Kau satu-satunya pemilik sah setiap kancing
di baju-bajuku.
“Selamanya?”
Tenggorokanku tercekat. Maaf, aku tak bisa menjadi tukang jam seperti
harapanmu. Aku tak bisa menghentikan waktu untuk kita berdua. Aku harap
aku bisa, tapi ternyata tidak. Aku pikir aku bisa, tapi ternyata aku
menipu diriku sendiri. Mulai besok sampai urusan kita di dunia ini
selesai atau sampai kau bertemu perempuan yang baik – yang aku harap
semoga tidak pernah terjadi—, aku berharap kancing kecil itu bisa
menjadi tukang jam bahkan mesin waktumu. Hingga bisa membawamu ke saat
kita masih bisa memandang langit dan kunang-kunang berdua.
0 komentar:
Posting Komentar