Sungguh saya tak juga mengerti kenapa cuaca menjadi sekacau ini
padahal matahari tetap terbit di timur dan tenggelam di barat. Banjir
masih juga melanda Pati, Jawa Tengah, meski sudah dua minggu, air tak
juga surut. Sementara di Riau dan Jambi, hutan terbakar. Tapi apa
peduliku, sedang cuaca juga tak mau tahu apa keinginan-keinginanku.
Sebaiknya saya terus mengayuh rakit batang pisang ini, dari Pati ke
Rembang, untuk menemui Kiai Zaim Zaman, barangkali beliau mau menolong
kami mengatasi kesurupan massal yang melanda pesantren di desa kami.
Saya melewati antrean kendaraan yang macet sepanjang 24 km yang terdiri
dari truk, mobil-mobil pribadi, kontainer, bus, maupun motor karena tak
mampu menembus banjir.
Air banjir setinggi satu setengah sampai dua meter mengganyang
seluruh kawasan yang sangat luas, sawah-sawah yang siap panen,
perumahan, perkebunan, tambak, kolam ikan, dan pertokoan, meliputi
kota-kota Demak, Kudus, Rembang, Pati, Jepara, Juwana, Tuban. Tapi, apa
Kiai Zaman sendiri tidak repot? Beliau tentu juga sangat dibutuhkan oleh
pesantrennya yang juga dilanda banjir.
Saya mengayuh rakit menerjang sawah siap panen yang tenggelam yang
airnya semakin tinggi. Sejumlah rakit dari batang pisang maupun bambu
tampak berseliweran. Para penumpangnya yang saling kenal
berteriak-teriak bertegur sapa. Terdengar gelak-tawa seolah tak peduli
akan kesulitan hidup yang sedang dirundung. Mendadak mendung datang
menyergap disusul hujan lebat. Subhanallah. Saya yang satu minggu
kehujanan terus, rasanya badan bertambah ringan tapi dinginnya minta
ampun. Tubuh saya menggigil dan saya sudah tak tahu jalan. Gelap gulita.
Apa kiamat seperti ini? Geledek bersahutan seperti dihamburkan dari
langit yang membuat saya tiarap gemetaran. Rasanya tubuh ini beku.
Halilintar menyilet langit memberi jalan
rasa bersalah pada rakit saya. Mendadak laju rakit ini terhenti. Agaknya
tersangkut sesuatu. Saya menunggu halilintar untuk mengirim sinar,
namun tak kunjung muncul. Wahai, cahaya perak, cahaya perak. Saya
meraba-raba apa gerangan yang menyebabkan rakit saya terhenti. Masya
Allah, saya meraba tubuh orang. Cepat-cepat saya singkirkan tubuh itu
dengan galah lalu saya menghindar dari tempat itu. Saya semakin
menggigil. Tentu ada saja yang menjadi korban dari bencana yang besar
ini mungkin tidak sedikit jumlahnya. Sawah siap panen yang tenggelam
tentu menelan lebih banyak lagi korban. Ibu, ayah, dan anak-anak, juga
nenek-kakek, cucu, cicit, ke mana mengungsi jika seluruh kawasan yang
sangat luas ditelan banjir yang rasanya semakin tinggi ditambah oleh
deras hujan.
Di dusun tak ada bangunan yang tinggi tempat mengungsi. Hanya bukit
yang cukup sulit didaki karena licin dan terjal. Kebanyakan warga tetap
di rumah masing-masing dengan bertengger di atap dengan payung atau
lembaran plastik untuk menahan hujan.
”Kalau ibumu ini mati,” kata ibu yang duduk di atap rumah dengan memegangi payung dalam hujan lebat, ”Cepat kuburkan.”
”Ah, ibu kok ngomong begitu,” sergah saya sambil memeluk tubuhnya yang gemetaran kedinginan.
”Jaga adik-adikmu.”
”Ibu saja yang menjaga adik-adik. Saya mau cari nafkah di Jakarta.”
”Tega kamu meninggalkan adik-adikmu.”
”Saya mau cari duit yang banyak untuk ibu dan sekolah adik-adik.”
Di atas atap dapur, ayah memeluk kedua adik saya yang basah kuyup
karena tak terlindung dari hujan. Yang saya takutkan kalau tiba-tiba ibu
atau ayah meninggal. Maka ketika banjir surut, kakak yang menetap di
Jakarta memboyong ibu, ayah, dan kedua adik ke Jakarta. Ditinggalkannya
saya sendirian di dusun untuk menjaga rumah. Tapi mereka tak betah di
Jakarta. Terlalu bising, katanya. Lalu boyongan kembali ke desa, meski
selalu kekurangan tapi cukup bahagia, katanya.
Kemudian kakak membangun rumah bertingkat untuk kami menghadapi
banjir. Benar saja. Banjir yang lebih besar kali ini datang, ditambah 25
santri putri yang kesurupan diungsikan di rumah bertingkat kami.
Alhamdulillah. Banyak jalan yang Allah bimbing supaya bangunan itu
bermanfaat bagi sesama. Masalahnya kini adalah bagaimana bisa menemui
Kiai Zaim Zaman dan di mana beliau berada jika di pesantrennya tak
dijumpai sementara di mana-mana, sejauh mata memandang, air, air, air
melulu yang tampak.
Tiba-tiba rakit mentok, sampai saya terjatuh. Kembali saya
meraba-raba apa gerangan yang menyebabkan rakit ini berhenti. Ternyata
tangan saya menyentuh tembok. Bangunan apa gerangan? Kembali kilat
merobek udara. Sekilas terlihat bangunan putih ini masjid. Barangkali
saya bisa mencapai atapnya supaya saya bisa tidur dan tidak terlalu
kedinginan.
Pagi harinya masjid itu terkatung-katung di danau yang luas dengan
saya satu-satunya berada di atapnya. Kadang gelombang menerpa karena
digelontor angin puyuh yang juga mempertajam tetes hujan bagai jarum.
Kadang batang-batang padi muncul di permukaan air lalu kembali
tenggelam. Apa yang terjadi sesungguhnya? Siang harinya panas sangat
teriknya. Sambil berayun-ayun dimainkan oleh kantuk, di atap masjid itu
tidak hanya baju, tubuh saya juga mengering. Di tengah sawah yang sudah
jadi danau ini, alur mana (?) saya tak lagi mengenal peta.
Di mana Pati, di mana Rembang, kedua kota itu mengingatkan saya akan
hubungan rumah saya dengan rumah Kiai Zaim Zaman yang berada di tengah
pesantrennya, di mana para santri, putra maupun putri, berseliweran
berlarian, bermain maupun berdebat soal jodoh, juga Tuhan, yang membuat
saya selalu kangen untuk mengunjunginya. Rumah tertutup pohon mangga
yang sangat rindang, manalagi, nama yang mengingatkan orang sehabis
menikmati sebuah lalu minta lagi, manis dari akarnya. Seorang kiai
dengan pohon mangga yang lebat buahnya, merupakan perpaduan yang elok,
dalam ukuran apa pun.
Karena panas tak tertahankan, saya mencari jalan turun ke dalam
masjid. Meski sangat kesukaran, saya berhasil masuk ke ruang salat. Dua
rakaat saya selesaikan setelah berwudu air banjir, saya tertidur tanpa
diawali kantuk. Cukup lelap dan tak terganggu oleh mimpi. Waktu bangun,
saya kaget bukan alang kepalang, Kiai Zaim Zaman berzikir di sisi saya.
Saya bangun dengan sigap, mencium tangannya, menanyakan kesehatannya,
meminta doa, berusaha sebaik mungkin untuk tidak kentara baru bangun
dari tidur.
”Saya mendengar panggilanmu bertalu-talu,” kata Kiai Zaman hampir-hampir berbisik, ”Maka cepat-cepat saya menemuimu.”
”Subhanallah,” seru saya.
”Saya sudah bertemu dengan dua puluh lima orang santri putri yang kesurupan itu di rumahmu dan mereka sudah baik kembali.”
”Subhanallah.”
”Orang-orang modern bisa juga kesurupan, ya.”
”Subhanallah.”
”Salamualaikum,“ kata Kiai sambil ngeloyor pergi.
”Pak Kiai,” seru saya sambil mengejar beliau, ada hal-hal yang perlu saya tanyakan.
Di luar, Kiai Zaman berjalan di atas air tanpa mempedulikan panggilan
saya, menjauh. Di dalam hati saya mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya atas semua kebaikan Kiai yang mumpuni ini. Kapan
seorang awam seperti saya bisa membalas kebaikannya dan jasa-jasanya
dengan segala kemampuan yang tulus seperti selembar sajadah kepada
sebongkah kepala yang sujud di atasnya. Semoga berkah Allah selalu
mengayomi Kiai Zaim Zaman sekeluarga turun-temurun. Betapa seandainya
kita punya banyak kiai seperti beliau, tangan yang dua lengan itu, kaki
yang dua jenjang itu, sementara di luar sana, orang-orang berteriak
meminta tolong, banyak sekali, ya, banyak sekali.
Ketika saya kembali ke dalam, di depan mihrab saya jumpai
bertumpuk-tumpuk uang yang banyak sekali. Rasanya saya semakin banyak
utang kepada Kiai ini, dari imbalan yang bisa disentuh tangan sampai
berkah yang tidak kasatmata, orang-orang pernah berduyun-duyun menemui
saya dengan seluruh permintaan yang bisa diucapkan mulut:
”Saya bukan Kiai Zaim Zaman,” teriak saya ketika itu kepada orang-orang itu, ”Saya hanya orang yang kepengin seperti beliau.”
Pagi hari ketika matahari kencar-kencar dan mendung hitam sedang
mengincar, saya mendayung rakit batang pisang ini meninggalkan masjid
yang sudah memberi pelajaran banyak kepada saya dengan bertumpuk-tumpuk
lembaran uang di atasnya. Saya mendayung kembali ke Pati dengan arah apa
pun, ke sebuah dusun yang sunyi, kepada ibu, ayah, dan kedua adik saya,
yang boleh jadi terus menunggu dengan harap-harap cemas.
Kembali rakit saya terhadang oleh antrean truk yang sangat panjang
dalam kemacetan oleh banjir yang masih setinggi dada orang dewasa. Tetap
betah juga sopir-sopir dan kenek-kenek itu melantunkan
potongan-potongan lagu meningkahi irama dangdut yang tak kunjung padam.
Bahkan yang beradu bidak-bidak catur sambil berendam dengan papan
caturnya yang berayun-ayun oleh riak air yang dihembus angin atau
sengaja diaduk-aduk oleh sejawatnya yang selalu mengganggu, diiringi ha
ha ha he he he dan olok-olok yang diuleg sepedas mungkin sehingga banjir
itu tambah sempurna mengharu-biru.
Ketika para sopir dan kenek itu melihat gepokan lembaran uang yang
bertumpuk-tumpuk di atas rakit saya itu, saya pasrah setulus mungkin.
”Ya, Allah, semuanya ini milik-Mu,” doa saya.
Seorang sopir mengambil segepok uang itu dan menimpukkannya ke arah
temannya sambil mencemooh, ”Lo ambil! Lo yang mata duitan! Ha ha ha!”
Teman yang kena timpuk itu melempar uang itu ke teman yang lain
sambil berteriak, ”Gue ude konglomerat. Lo aja ambil yang masih kere!”
Akhirnya semua sopir dan kenek itu berebut uang di atas rakit saya
dan saling timpuk-menimpuk sejadi-jadinya. Keadaan jadi kacau dan
meriah. Penuh banyolan dan semprotan kata-kata konyol. Tentu banyak
gepokan uang itu yang jatuh ke dalam air dan tenggelam.
”Ya, Allah, bukakan mata mereka. Itu uang beneran dan mereka boleh merebutnya,” doa saya dengan kenceng.
Anehnya para sopir dan kenek itu, subhanallah, menyelam dan
menyelamatkan seluruh uang yang tenggelam dan mengembalikannya di atas
rakit saya. Lalu mereka mendorong rakit supaya saya meneruskan
perjalanan. Saya tertegun. Seperti mati berdiri. Bagaimana mungkin
mereka tidak menyadari, uang yang saya bawa itu uang sungguhan. Bukan
uang mainan. Masya Allah. Tuhan punya rencana.
Sesampai di rumah, ibu, ayah, kedua adik saya, dan para santri dengan
sejumlah ustadnya yang masih menginap menyambut saya dengan sukacita.
Ketika ibu mengetahui saya membawa uang yang bukan main banyaknya
itu, menyuruh saya membuang seluruh uang itu dengan mendorong rakit
menjauh dari rumah. Menurut ibu, itu uang haram yang belum tentu dari
Kiai Zaim Zaman. Dalam hati saya menyesal, kenapa saya tidak
menyembunyikan segepok dua di dalam baju saya.
Malam harinya saya tidak dapat tidur karena perut keroncongan.
Persediaan makanan habis sementara jumlah orang yang menginap di rumah
bertambah setiap harinya. Dengan sebungkus mi-instan yang dibagi dua
orang, semakin kentara kami butuh bantuan yang tak kunjung datang.
Pagi harinya kami dikagetkan oleh teriakan ibu, ”Rakit itu kembali ke rumah!” yang disambut seisi rumah dengan takjub.
Ini artinya bergepok-gepok uang itu kembali ke tangan kami. Subhanallah.
Tangerang, 14 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar