Sebuah Paket Berisi Kenangan
SEBUAH
paket diterima, paket cokelat dan namanya tertera di sana. Ia teringat
sesuatu. Ia takut dan ragu. Baru saja selama dua hari ini, di hampir
sepanjang dua malam, ia tersedu menangis, teringat sesuatu. Kini ada
paket kiriman yang bisa membuatnya benar-benar habis dihanyutkan arus
masa lalu. Ia membiarkan paket itu di pangkuannya, memandang tulisan
yang berisi nama dan alamatnya. Ia yakin dan sangat mengenal tulisan
itu. Kembali air mata menetes. Beberapa jatuh di paket itu, di atas nama
dan alamatnya, membuat warna tinta menjadi luntur.
Ia
pernah menyakiti hati seseorang. Dulu laki-laki yang disakitinya itu
setiap kali datang hanya dilihatnya dari pagar, ditanya ada keperluan
apa. Lalu ketika laki-laki itu menanyakan apakah boleh masuk atau tidak,
ia dengan tegas menolak. Tidak boleh. Dan laki-laki itu pergi dengan
mengucapkan terima kasih. Berkali-kali, sampai tak terhitung. Laki-laki
itu datang, menelpon, berusaha mengajaknya bicara. Ia tetap bersikukuh
dan ketus. Tapi kemudian dengan sabar laki-laki itu terus datang, terus
mengucapkan terima kasih seakan memberi maklum setiap kali ada
penolakan, setiap kali ada pengusiran.
Hingga
kemudian, ia bisa menerima kedatangan laki-laki itu sekalipun dilayani
dengan acuh tak acuh. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu laki-laki itu
sungguh baik, penyabar dan benar-benar menyayanginya. Ia tidak ingin
perasaan seperti itu dibaca oleh laki-laki itu. Ia tetap angkuh. Dan
waktu tetap berjalan dengan caranya sendiri. Mungkin kesabaran ada
habisnya, ada hal-hal yang harus tetap berjalan ketika keinginan dan
kemauan tidak sesuai dengan kenyataan. Laki-laki itu datang lagi untuk
pamitan pergi.
Kali
ini dadanya yang tergoncang. Kali ini segala keangkuhannya seperti
dikembalikan oleh cermin waktu, merangsek masuk ke dirinya sendiri. Rasa
sesal membuncah, ia meneteskan air mata, tersedu. Laki-laki itu kaget,
tapi segera penuh maklum. Ia direngkuh dalam pelukan laki-laki itu. Di
saat itu, satu kebahagiaan yang tidak pernah didapatinya datang dengan
sangat sempurna.
Mereka
berdua berjalan sebagai sepasang kekasih untuk beberapa saat. Mereka
menjalani saat-saat riang dan saat-saat sedih. Dan setiap kali ada
sebuah peristiwa, baik menyenangkan atau menyedihkan, laki-laki
kekasihnya itu mencatat dalam sebuah buku harian bersampul biru.
Ketika
ia bertanya untuk apa, laki-laki itu hanya menjawab bahwa dia hanya
ingin sekadar mencatatnya saja. Tapi ternyata ia bisa mendapatkan
manfaatnya. Setiap kali mereka bertengkar hebat, lalu laki-laki itu
datang meminta maaf, dan jika ia tetap diam maka laki-laki itu
mengulurkan buku catatan peristiwa yang tertoreh di sana, kemudian
hatinya menjadi cair, memaafkan untuk kemudian menjalani lagi hari-hari
sebagai sepasang kekasih.
Sekalipun
telah berjalan sekian lama, ia merasa dirinya tetap berlaku kejam pada
kekasihnya. Ia sering menceritakan bagaimana sampai sekarang ia dikejar
oleh banyak laki-laki. Ia sering berlaku tidak adil dan curang, memang.
Tapi ia selalu berpikir bahwa itu wajar, toh bukankah laki-laki itu yang
setengah mati mengejarnya? Bahkan jika rasa bosan dan kesalnya yang
bisa datang kapan saja, ia bisa seenaknya berkencan dengan laki-laki
lain yang dipilihnya saat itu. Namun, kekasihnya tetap datang dengan
kesabaran yang tidak pernah dimengertinya.
Memang
kadang-kadang ia merasa kasihan pada laki-laki itu. Kekasihnya tampak
begitu sayang dan setia, rela berbuat apa saja, selalu minta maaf jika
mereka terlibat pertengkaran sekalipun mungkin ia yang bersalah. Ia
harus mengakui, berkali-kali ia menjalin hubungan kasih dengan banyak
laki-laki, tapi hanya laki-laki itu-lah yang bisa dengan sabar menjalani
kehidupan yang serba tidak adil dengan dirinya. Bahkan jika mereka
bertengkar, ia selalu menawarkan untuk putus hubungan saja. Dan
laki-laki itu kemudian hanya menunduk, sambil mengucapkan suara yang
bergetar bahwa laki-laki itu tidak sanggup berpisah dengan dirinya.
Dalam hati, ia tersenyum menang.
KETIKA
saat yang mengagetkan itu datang, ia nyaris kalap pada dirinya sendiri.
Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu sempat meninggalkan kalimat
bahwa ia akan mengirimkan buku harian yang selama ini penuh dengan
catatan peristiwa mereka berdua, jika laki-laki itu hendak menikah
kelak. Lalu laki-laki itu benar-benar pergi. Ia dengan segera masuk
kamar menangis sekeras-kerasnya. Ia sangat menyesal, tapi bukan rasa
sesal saja, ia sesungguhnya merasa tidak rela jika ada perempuan lain
yang menerima perhatian, kasih sayang dan kesabaran dari laki-laki itu.
Jauh
di dalam hatinya, sesungguhnya ia sangat menyayangi kekasihnya itu.
Laki-laki itu bisa memberinya banyak hal sehingga ia merasa utuh menjadi
manusia. Tapi entah mengapa, ia juga kadang tidak mengerti, mengapa
dirinya selalu berperilaku yang bisa menyakiti kekasih yang juga sangat
disayanginya. Mungkin ia ingin terus menguji bahwa kekasihnya
benar-benar mencintainya. Mungkin juga ia merasa harus perlu untuk
memberi semacam tingkah laku agar laki-laki itu merasa terancam
terus-menerus bahwa hubungan mereka bisa putus suatu saat. Dengan cara
seperti itu, laki-laki itu akan terus memberikan kasih sayang yang luar
biasa. Ia terus sibuk bagaimana membuat kekasihnya tersinggung, cemburu,
sakit hati sekaligus khawatir sehingga ia tidak siap ketika datang
sebuah keputusan yang di luar segala perkiraannya.
Setelah
rasa sesal tumpah, ia tetap berjalan sebagaimana yang dulu. Ia tetap
seorang perempuan yang dikejar oleh banyak laki-laki. Ia tinggal memilih
dengan gampang laki-laki mana yang akan diajaknya kencan di sebuah
malam. Tapi ketika ia sudah bersama dengan mereka, kembali ia
membayangkan laki-laki yang ada di sampingnya tidak seperti kekasih yang
akhirnya meninggalkannya dengan penuh luka. Kini hanya ada kekosongan
dimana-mana. Ruang yang kosong selalu merayapkan rasa getir dan sesal.
Konsentrasinya
pada pekerjaan memang banyak membantunya untuk sejenak menghindar dari
kerkahan kenangan. Kariernya dengan cepat menanjak, jam terbangnya
tinggi. Tapi itu seperti membangun sebuah istana pasir. Ketika gelombang
kenangan itu datang menyambar lagi, tembok kukuh yang telah dibangun
dengan segala aktivitas yang padat, kembali luruh, hanyut, tidak
tersisa. Jika saat seperti itu kembali datang, ketika gelombang kenangan
itu kembali menyambar, ia hanya bisa tersedu, dadanya seperti habis
disadap ngilu.
Dua
hari yang lalu, dari rekan sekerjanya, ia tahu bahwa laki-laki yang
pernah menjadi kekasihnya itu dua minggu kemudian akan melangsungkan
pernikahan. Ia langsung terduduk, sampai beberapa saat ia tidak bisa
melakukan apa-apa. Dan ketika pulang, selama dua hari ia mengurung di
dalam kamar, hanya menangis dan menangis. Ia tidak peduli lagi dengan
segala urusan kantornya, ia tidak peduli dengan kesehatannya. Ia selalu
berharap bahwa semua itu kabar bohong, semua itu hanya semacam mimpi dan
ia ingin bangun dengan masih bersama kekasih yang sungguh mati memang
benar-benar dicintainya. Tapi semua justru menuju ke satu kepastian:
sebuah bungkusan bersampul cokelat dengan tulisan tangan yang sangat
dihafalnya.
Kini,
ia sudah tidak bisa mengharap apa-apa. Habis sudah. Selesai sudah
kenangan yang diam-diam dibiarkannya merambat untuk suatu saat menjelma
menjadi kenyataan yang menggembirakan. Ia menunggu laki-laki itu yang
berharap suatu saat mendatanginya lagi, mengungkapkan lagi cinta yang
tulus, dan dengan suka-cita ia akan menerimanya, berjanji untuk tidak
mengulangi segala perilaku yang menyakiti laki-laki yang disayanginya
itu. Kini kuncup-kuncup harapan itu benar-benar musnah, meranggas
dihantam sebuah paket kecil yang berisi sebuah kepastian.
Di
pangkuannya kini, paket itu telah basah oleh air mata. Tinta biru yang
tertulis namanya telah luntur seperti harapan-harapan yang pernah
dibiarkannya hidup bersemi. Dengan perasaan kosong, ia keluar, dalam
gigil tangis yang tak terkata, sedih yang tak teraba, ia memasukkan
paket itu ke dalam tas plastik dan membuangnya ke bak sampah di depan
rumahnya. Lalu ia masuk dan meneruskan sedu-sedannya.
JAUH
di sebuah kamar yang lain, seorang laki-laki diam menunggu. Matanya
juga sembab oleh air mata. Ia telah memutuskan untuk menikah, undangan
telah tersebar. Ia telah memutuskan untuk mengakhiri mata rantai
kenangan yang begitu kuat melilitnya.
Tapi
dua hari yang lalu, ia tidak bisa ingkar pada dirinya sendiri.
Dibungkusnya buku catatan harian dengan sesobek kertas di dalamnya.
Sebuah penawaran terakhir. Tawaran untuk mengulang lagi kisah
kebersamaan dengan segala risikonya. Ia mungkin akan kembali sedih, tapi
laki-laki itu, jauh lebih tahu bahwa menjalani hidup tanpa perempuan
yang dicintainya hanya akan memberi rasa pedih yang lebih dalam.
Dibungkusnya paket itu dengan seluruh keberanian.
Tapi laki-laki itu lupa, ia pernah punya janji lain mengenai catatan harian yang dikirimkannya. Ia benar-benar lupa.
0 komentar:
Posting Komentar