Oleh Muhammad Rifki
Cuaca memang tak pernah menentu. Kadang mendung, kadang cerah. Tak
seperti kota ini yang kerap ramai dan padat. Jalanan yang meski terik
seolah sejengkal pun tak menyurutkan raung-raungan di jalan raya.
Kemarin hujan, kemarin lagi panas dan hari ini kembali mendung yang
menjamah langit disertai guntur yang menggerurtu.
Di pasar, kulihat sebagian pedagang mulai mengeluhkan hari dan
perlahan bersiap menyambut hujan. Kalau begini, para pembeli di pasar
pun menipis, hujan malah memenjara rezeki mereka. Sebenarnya, meski tak
ada hujan pun pasar kini telah terbiasa sepi. Para pedagang kecil yang
biasa suaranya meledak-ledak hingga memenuhi seisi pasar kini mulai
mengenal putus asa dan merasa percuma. Tak ada pembeli yang datang.
Malah sebagian mereka kini memilih menjadi kuli untuk toko-toko besar di
pasar atau pemberi jasa syurga; peminta-minta yang ketika diberi akan
nyerocus mendoakan pemberinya agar masuk syurga. Tak aneh, di kotaku
banyak orang yang memilih pekerjaan ini. Bahkan hampir di tiap sudut
kota, lampu merah, pasar di kota ini telah mereka ambil alih. Saling
berlomba meminta belas kasihan. Tak peduli tua atau muda, kakek atau
anak-anak, mereka sama saja. Penipu yang lihai. Belum lagi pengamen yang
mengganggu di jalanan tak kalah padat. Maka menurutku, , lampu merah
hanya menjadi kantor kerja bagi mereka. PT. Tangan Peminta.
Merepotkan, kadang aku merasa kasihan pada mereka yang rela
mengorbankan harga diri bahkan tubuh mereka yang dibuat cacat sedemikian
rupa. Kadang pula aku benci, karena mereka tak boleh dipandang sebelah
mata. Boleh saja siang mereka cacat dan hina meminta-minta di lampu
merah, padahal di malam hari justru lebih kaya ketimbang orang yang
memberi mereka uang.
Untung hujan belum menetas sebelum aku sempat menjemput Nana, adikku
yang masih kelas satu SD. Ayah belum mengizinkannya pulang sendiri
melewati jalan raya. Terlalu bahaya. Terlebih beberapa hari yang lalu
beredar luas berita penculikan anak. Takut kenapa-napa. Kata orang, anak
yang diculik itu nantinya akan dijadkan peminta-minta, memohon dengan
tangan kecil mereka di lampu merah. Ya, seperti mainan yang diperalat
seenaknya.
Kami pulang melewati jalan pasar, hanya jalan ini yang cukup surut
dari kepadatan kota. Bau amis, becek-becek jalanan sudah menjadi
santapan biasa. Lalu seorang kakek bertubuh kurus tinggi dengan baju
kumal bolong-bolong mendekati Nana. Tangannya lihai menadah, sambil
memainkan mimik wajah memeras. Adikku spontan meraih tasnya, bersiap
mengulurkan uang sertibu rupiah. Belum sempat itu ia raih, lekas kutarik
tangan Nana pergi menjauh dari orang tua itu.
“Nggak usah!”
“Kenapa? Nana ‘kan mau sedekah,”
“Nggak uasah!”
Adikku mana mengerti maksudku. Sepanjang jalan ia berontak berasama
airmatanya yang ,menjerit-jerit. Orang-orang pasar menatapku dengan
tatapan menusuk seperti seorang hakim yang mendakwaku bersalah. Sebagian
lagi menggeleng-geleng.
Di rumah, ibu dan ayah berbaring sambil mengayunkan potongan kardus
untuk melibaskan peluh yang kian lahir beranak pinak. Meski mendung,
udara panas di rumah masih terperangkap. Maklum, rumah kami hanya
mempunyai dua ventilasi, benar pengap. Sama saja panas atau hujan, rumah
serasa pemanas nasi.
“Nana kenapa nangis?” ibu mendadak bangun begitu mendengar isak
tangis Nana yang masih tersisa. Adikku itu lalu mengadukan kejadian tadi
kepada ibu. Tetapi ibu hanya menggeleng lantas menatapku. Mungkin aku
benar, nasib kami mungkin lebih menderita dibanding pengemis tua di
pasar tadi. Dagangan ibu pun, sejak dua hari yang lalu sudah macam
tempat pemakaman yang kerap kunjung datang hanya suara jangkrik
bersahutan. Padahal kebutuhan hidup semakin menuntut dan memaksa. Tak
jarang ibu dan ayah hanya menyusun kotak kosong di toko. Banyak yang
rugi.
***
Padahal ini hari pasar, seharusnya ada pengunjung yang datang ke toko
kami. Barang satu atau dua orang. Tetapi hari ini pasar pun tak lebih
seperti gudang tua yang pengunjungnya hanya debu dan sarang laba-laba.
Padahal besok Nana mesti bayar spp sekolah. Juga tempat beras di rumah
pun mulai ringan dan kosong. Sedangkan toko semakin betah dirayapi sepi.
Sudah dua kali, eh, bahkan tiga kali kulihat penjaja pentol itu lalu
lalang di depan toko kami. Ia tampak lelah mengayuh gerobak besarnya
itu, mungkin sendi-sendi tulangnya mulai menjerit dan jerih ingin
istirahat. Nana yang tadi asyik memainkan bonekanya mendadak meloncat
keluar rumah begitu tahu ada gerobak pentol yang lewat. Namun ibu
buru-buru memanggilnya, bilang pentol itu sudah basi. Sudah tidak enak
lagi. Ya, aku paham. Tapi Nana mana mengerti, ia tetap berkeras batu.
Mengacaukan sepi yang tadi berniaga di toko ini dengan tangisnya yang
ricuh.
Bagaimana mau belanja, toh gak ada pembeli, mana ada uang.
Ayah yang tadi nyaman memanjakan matanya dengan koran ikut merasakan
resah. Mungkin karena di pagi minggu ini ibu absen membuatkannya kopi.
Perlu hemat, itu kata ibu setiap kali aku atau ayah menginginkan
sesuatu.
“Mas beli rokok satu!”
Ayah yang lekas melayani pemuda yang bertampang kuli pasar itu.
Dicarinya rokok di antara kotak yang berderet. Hanya ada sisa angin.
Kosong.
“Den, pinjam rokok sana di toko sebelah,” suruhnya berbisik di telingaku.
Ya begitulah. Sudah lama kami tak membeli barang-barang dagangan yang
baru. Tak ada modal. Bahkan semua sisa barang di toko ini pun nyaris
kadaluarsa.
“Nih, buat jajan beli pentol,” kata ayah seraya tangannya menyodorkan uang seribu rupiah kepada Nana.
Ibu melotot.
***
Siang ini, panas lagi-lagi menjalar di kotaku. Tanpa jeda teduh
sesaat. Orang-orang di pasar sama keluhnya setiap hari, hanya penjual
kipas angin saja yang terlihat agak damai. Bermodal secarik kertas,
setidaknya cukup melebur peluh yang kian beranak pinak.
Biasanya setengah jam sebelum djuhur, Nana sudah pulang dari sekolah
dan menungguku di halte depan sekolahnya ini. Tapi ia kali ini tak ada,
malah aku yang sudah seperempat jam memanen peluh sendiri sambil
menunggunya. Ia jarang seperti ini, apa main bersama temannya yang kaya?
Memang, di sekolah adikku, hampir separuh murid antar jemput
menggunakan mobil. Wong kaya. Sebenarnya aku tentu pernah merasa kasihan
dengan Nana, tak jarang ia mengeluhkan tentang dirinya yang ditirikan
teman-temannya di kelas. Tapi ada juga yang kadang baik, mengajaknya
jalan-jalan, itupun ia minta izin dulu, tidak seperti ini yang entah di
mana. Beberapa temannya yang kutanyai hanya menjawab gelengan, ada pula
yang menjawab sudah pulang. Entahlah.
Usai djuhur, aku pun pulang sendiri sedang Nana belum memberi tanda
ada di mana. Orang-orang di pasar yang mengenalku tampak heran. Sesekali
saling tanya di mana Nana. Kupikir salah seorang mereka ada yang
melihat dan mereka juga malah bertanya kepadaku di mana Nana. Eh? Maka
terpakksa, dua kali kakiku kuseret menyisiri pasar dan kota mencari
Nana, rela saja tubuhku menjadi mangsa liar terik siang ini seperti kain
jemuran. Percuma, adikku itu, entah melalang di mana siang ini.
Di trotoar, dekat lampu merah, kubentangkan kakiku di sana, sekedar
menjawab jeritan sendi tulangku yang kelelahan. Salah satu dari tiga
lampu yang tegak berdiri di tengah jalan raya berkedip merah. Kulihat
seorang anak kecil, berbilang masih anak SD, entah di mana orang tuanya
yang tega membiarkan anaknya gentayangan di jalan raya menjedi pengemis.
Dua, tiga bahkan empat orang anak lainnya menyusul berikutnya. Dan
sepertinya aku mengenali anak perempuan yang baru menyusul itu, yang
tangan kecilnya liar di sana.
“Nana!”
Maibelopah, Sabtu 27 Maret 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar