Translate

cerpen tangan kecil di lampu merah

Written By iqbal_editing on Rabu, 06 September 2017 | 17.18

Oleh Muhammad Rifki
Cuaca memang tak pernah menentu. Kadang mendung, kadang cerah. Tak seperti kota ini yang kerap ramai dan padat. Jalanan yang meski terik seolah sejengkal pun tak menyurutkan raung-raungan di jalan raya. Kemarin hujan, kemarin lagi panas dan hari ini kembali mendung yang menjamah langit disertai guntur yang menggerurtu.
Di pasar, kulihat sebagian pedagang mulai mengeluhkan hari dan perlahan bersiap menyambut hujan. Kalau begini, para pembeli di pasar pun menipis, hujan malah memenjara rezeki mereka. Sebenarnya, meski tak ada hujan pun pasar kini telah terbiasa sepi. Para pedagang kecil yang biasa suaranya meledak-ledak hingga memenuhi seisi pasar kini mulai mengenal putus asa dan merasa percuma. Tak ada pembeli yang datang. Malah sebagian mereka kini memilih menjadi kuli untuk toko-toko besar di pasar atau pemberi jasa syurga; peminta-minta yang ketika diberi akan nyerocus mendoakan pemberinya agar masuk syurga. Tak aneh, di kotaku banyak orang yang memilih pekerjaan ini. Bahkan hampir di tiap sudut kota, lampu merah, pasar di kota ini telah mereka ambil alih. Saling berlomba meminta belas kasihan. Tak peduli tua atau muda,  kakek atau anak-anak, mereka sama saja. Penipu yang lihai. Belum lagi pengamen yang mengganggu di jalanan tak kalah padat. Maka menurutku, , lampu merah hanya menjadi kantor kerja bagi mereka. PT. Tangan Peminta.
Merepotkan, kadang aku merasa kasihan pada mereka yang rela mengorbankan harga diri bahkan tubuh mereka yang dibuat cacat sedemikian rupa. Kadang pula aku benci, karena mereka tak boleh dipandang sebelah mata. Boleh saja siang mereka cacat dan hina meminta-minta di lampu merah, padahal di malam hari justru lebih kaya ketimbang orang yang memberi mereka uang.
Untung hujan belum menetas sebelum aku sempat menjemput Nana, adikku yang masih kelas satu SD. Ayah belum mengizinkannya pulang sendiri melewati jalan raya. Terlalu bahaya. Terlebih beberapa hari yang lalu beredar luas berita penculikan anak. Takut kenapa-napa. Kata orang, anak yang diculik itu nantinya akan dijadkan peminta-minta, memohon dengan tangan kecil mereka di lampu merah. Ya, seperti mainan yang diperalat seenaknya.
Kami pulang melewati jalan pasar, hanya jalan ini yang cukup surut dari kepadatan kota. Bau amis, becek-becek jalanan sudah menjadi santapan biasa. Lalu seorang kakek bertubuh kurus tinggi dengan baju kumal bolong-bolong mendekati Nana. Tangannya lihai menadah, sambil memainkan mimik wajah memeras. Adikku spontan meraih tasnya, bersiap mengulurkan uang sertibu rupiah. Belum sempat itu ia raih, lekas kutarik tangan Nana pergi menjauh dari orang tua itu.
“Nggak usah!”
“Kenapa? Nana ‘kan mau sedekah,”
“Nggak uasah!”
Adikku mana mengerti maksudku. Sepanjang jalan ia berontak berasama airmatanya yang ,menjerit-jerit. Orang-orang pasar  menatapku dengan tatapan menusuk seperti seorang hakim yang mendakwaku bersalah. Sebagian lagi menggeleng-geleng.
Di rumah, ibu dan ayah berbaring sambil mengayunkan potongan kardus untuk melibaskan peluh yang kian lahir beranak pinak. Meski mendung, udara panas di rumah masih terperangkap. Maklum, rumah kami hanya mempunyai dua ventilasi, benar pengap. Sama saja panas atau hujan, rumah serasa pemanas nasi.
“Nana kenapa nangis?” ibu mendadak bangun begitu mendengar isak tangis Nana yang masih tersisa. Adikku itu lalu mengadukan kejadian tadi kepada ibu. Tetapi ibu hanya menggeleng lantas menatapku. Mungkin aku benar, nasib kami mungkin lebih menderita dibanding pengemis tua di pasar tadi. Dagangan ibu pun, sejak dua hari yang lalu sudah macam tempat pemakaman yang kerap kunjung datang hanya suara jangkrik bersahutan. Padahal kebutuhan hidup semakin menuntut dan memaksa. Tak jarang ibu dan ayah hanya menyusun kotak kosong di toko. Banyak yang rugi.
***
Padahal ini hari pasar, seharusnya ada pengunjung yang datang ke toko kami. Barang satu atau dua orang. Tetapi hari ini pasar pun tak lebih seperti gudang tua yang pengunjungnya hanya debu dan sarang laba-laba. Padahal besok Nana mesti bayar spp sekolah. Juga tempat beras di rumah pun mulai ringan dan kosong. Sedangkan toko semakin betah dirayapi sepi.
Sudah dua kali, eh, bahkan tiga kali kulihat penjaja pentol itu lalu lalang di depan toko kami. Ia tampak lelah mengayuh gerobak besarnya itu, mungkin sendi-sendi tulangnya mulai menjerit dan jerih ingin istirahat. Nana yang tadi asyik memainkan bonekanya mendadak meloncat keluar rumah begitu tahu ada gerobak pentol yang lewat. Namun ibu buru-buru memanggilnya, bilang pentol itu sudah basi. Sudah tidak enak lagi. Ya, aku paham. Tapi Nana mana mengerti, ia tetap berkeras batu. Mengacaukan sepi yang tadi berniaga di toko ini dengan tangisnya yang ricuh.
Bagaimana mau belanja, toh gak ada pembeli, mana ada uang.
Ayah yang tadi nyaman memanjakan matanya dengan koran ikut merasakan resah. Mungkin karena di pagi minggu ini ibu absen membuatkannya kopi. Perlu hemat, itu kata ibu setiap kali aku atau ayah menginginkan sesuatu.
“Mas beli rokok satu!”
Ayah yang lekas melayani pemuda yang bertampang kuli pasar itu. Dicarinya rokok di antara kotak yang berderet. Hanya ada sisa angin. Kosong.
“Den, pinjam rokok sana di toko sebelah,” suruhnya berbisik di telingaku.
Ya begitulah. Sudah lama kami tak membeli barang-barang dagangan yang baru. Tak ada modal. Bahkan semua sisa barang di toko ini pun nyaris kadaluarsa.
“Nih, buat jajan beli pentol,” kata ayah seraya tangannya menyodorkan uang seribu rupiah kepada Nana.
Ibu melotot.
***
Siang ini, panas lagi-lagi menjalar di kotaku. Tanpa jeda teduh sesaat. Orang-orang di pasar sama keluhnya setiap hari, hanya penjual kipas angin saja yang terlihat agak damai. Bermodal secarik kertas, setidaknya cukup melebur peluh yang kian beranak pinak.
Biasanya setengah jam sebelum djuhur, Nana sudah pulang dari sekolah dan menungguku di halte depan sekolahnya ini. Tapi ia kali ini tak ada, malah aku yang sudah seperempat jam memanen peluh sendiri sambil menunggunya. Ia jarang seperti ini, apa main bersama temannya yang kaya? Memang, di sekolah adikku, hampir separuh murid antar jemput menggunakan mobil. Wong kaya. Sebenarnya aku tentu pernah merasa kasihan dengan Nana, tak jarang ia mengeluhkan tentang dirinya yang ditirikan teman-temannya di kelas. Tapi ada juga yang kadang baik, mengajaknya jalan-jalan, itupun ia minta izin dulu, tidak seperti ini yang entah di mana. Beberapa temannya yang kutanyai hanya menjawab gelengan, ada pula yang menjawab sudah pulang. Entahlah.
Usai djuhur, aku pun pulang sendiri sedang Nana belum memberi tanda ada di mana. Orang-orang di pasar yang mengenalku tampak heran. Sesekali saling tanya di mana Nana. Kupikir salah seorang mereka ada yang melihat dan mereka juga malah bertanya kepadaku di mana Nana. Eh? Maka terpakksa, dua kali kakiku kuseret menyisiri pasar dan kota mencari Nana, rela saja tubuhku menjadi mangsa liar terik siang ini seperti kain jemuran. Percuma, adikku itu, entah melalang di mana siang ini.
Di trotoar, dekat lampu merah, kubentangkan kakiku di sana, sekedar menjawab jeritan sendi tulangku yang kelelahan. Salah satu dari tiga lampu yang tegak berdiri di tengah jalan raya berkedip merah. Kulihat seorang anak kecil, berbilang masih anak SD, entah di mana orang tuanya yang tega membiarkan anaknya gentayangan di jalan raya menjedi pengemis. Dua, tiga bahkan empat orang anak lainnya menyusul berikutnya. Dan sepertinya aku mengenali anak perempuan yang baru menyusul itu, yang tangan kecilnya liar di sana.
“Nana!”
  Maibelopah, Sabtu 27 Maret 2017

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik