DAPATKAH KITA MENGHINDARKAN DIRI
DARI CERPEN?
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Sejak teknologi berkembang di negeri ini, rasanya sulit untuk
menjawab pertanyaan di atas dengan positif, setidaknya di kota-kota
besar yang semakin banyak jumlahnya. Boleh dikatakan semua majalah
hiburan (dan sebangsanya) memuat cerpen; hampir semua koran memuat
cerpen, di ruang kebudayaan atau remaja atau ruang khusus untuk itu;
radio-radio milik pemerintah maupun swasta, menyiarkan cerpen pada
waktu-waktu tertentu. Bahkan ada koran yang terkena. suka menyiarkan
berita sensaional memuat cerpen di halaman pertama.
Rupanya cerpen sudah merupakan syarat mutlak bagi hampir setiap
penerbitan majalah hiburan dan sebagainya di Indonesia ini.
Majalah-majalah itu harus selalu siap memuat sebuah atau dua buah cerpen
dalam setiap nomor penerbitannya, dan secara teratur memuat tulisan
para penulis yang digemari pembacanya. Demikianlah maka kita tidak
merasa berkeberatan apa pun kalau cerpen dipasang diantara
artikel-artikel tentang "resep dapur" dan "menata rambut". Dan kita pun
dengan enak membaca cerpen sambil tiduran atau sambil memasak atau
sambil menunggu giliran cabut gigi. Pokoknya di mana saja dan kapan
saja.
Barangkali hal itu membuktikan bahwa cerpen memang sudah menjadi
bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari; juga mungkin
sekaligus membenarkan pendapat bahwa kita semua pada dasarnya
membutuhkan fakta dan fiksi. Kita semua suka melihat kenyataan gemar
pula mendengarkan dongeng. Kata "pendek" dalam cerpen itu mungkin sekali
erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari yang semakin
tergesa-gesa ini; kita suka membaca cerita yang banyak memakan waktu tak
lebih dari sepuluh menit. Kegiatan membaca dongeng begini bisa penting
untuk mengimbangi pergaulan kita dengan kenyataan sehari-hari yang
"keras", yang terutama sekali berlangsung di kota-kota besar waktu
kosong yang semakin menakutkan di tengah-tengah kesibukan yang
menggelisahkan.
Kalau memang mau, barangkali penulis cerpen bisa hidup dengan hanya
menulis cerpen saja di Indonesaia sekarang ini. Begitu banyak cerpen
dibutuhkan dan begitu sedikit jumlah penulis diantara kita ini yang
mampu (dan mau) terus-menerus menulis cerpen; dan kita dengar keluhan
beberapa redaktur majalah hiburan tentang kurangnya naskah cerpen. Tentu
saja cerpen yang dicari majalah-majalah hiburan dan sebagainya bukanlah
cerpen yang mengajak pembacanya mengerutkan dahi; tidak semua orang
suka mengerutkan dahi, dan kita curiga bahwa orang yang tak suka
mengerutkan dahi lebih besar ketimbang yang suka. Dan karena
majalah-majalah hiburan itu mengejar oplah, wajar kalau yang dituju
adalah golongan pertama tersebut.
Tuntutan (disertai imbalan yang lumayan) majalh-majalah hiburan
tersebut itu menyebabkan para penulis cerpen terbagi menjadi sedikitnya
tiga kelompok. Pertama, mereka yang beranggapan bahwa menulis di majalah
hiburan akan menurunkan martabat mereka sebagai sastrawan; kedua,
mereka beranggapan bahwa menulis cerpen untuk majalah hiburan merupakan
usaha yang berharga untuk "memasyarakatkan" sastra dan oleh karenanya
tidak berminat mengirimkan cerpen ke majalah sastra yang mereka anggap
tidak memiliki pembaca luas; ketiga, mereka yang menulis di majalah
hiburan tetapi gemar juga mengirimkan naskah ke majlah sastra.
Barangkali menulis cerpen di majalah hiburan merupakan mata pencaharian
bagi beberapa orang yang mempunyai ambisi menjadi sastrawan dan hal itu
adalah hal yang wajar dan sah.
Memang benar telah ditulis banyak sekali cerpen di Indonesia ini,
tetapi sebagian besar tak lebih dari sampah! Demikian mungkin ujar
beberapa diantara kita. Dan kemudian kita boleh bertengkar tentang
sastra atau tidaknya sebuah cerpen. Kita juga boleh bertengakar tentang
jumlah pembaca cerpen yang dimuat di koran dan majalah.
Pada kenyataan memang ada beberapa macam majalah dengan selera
berlain-lainan. Kita ambil contoh saja dua buah majalah; Femina, yang
dewasa ini barangkali merupakan majalah keluarga yang paling tinggi
oplahnya, dan Horison , majalah sastra yang oplahnya mungkin paling
kecil diantara majalah-majalah yang ada. Saya kira, sebagian besar
cerpen asli yang pernah dimuat di Feminaakan ditolak seandainya dikirim
ke Horison, demikian pula sebaliknya. Tentunya baik Horison maupun
Femina selalu merima kiriman naskah, tetapi kedua majalah itu tetap juga
kekurangan naskah yang "baik" menurut ukuran masing-masing.Majalah Femina pernah memasang iklan di Horison, mencar cerpen; tentu saja cerpen yang selera Femina (bahkan "bersedia diedit bila dirasa perlu"). Iklan itu barangkali didasarkan pada kepercayaan bahwa para penulis cerpen di Horison juga mampu menulis cerpen untuk Femina, kalau saja bersedia. Saya tidak tahu sampai berapa jauh iklan tersebut membawa hasil, tetapi tak perlu disangkal lagi bahwa banyak penulis yang cerpennya pernah dimuat di Horison juga menulis cerpen untuk majalah hiburan dan sebagainya. Contoh yang ada di kepala saya adalah Yudhistira Adi Noegraha, seorang muda yang kelihatannya tak ambil pusing apa pun dan di mana pun.
Dan tentu beberapa cerpen di Horison yang ditulis oleh antara lain H.B Supijo, Sori Siregar, Muhammad Fudoli, Idrus Ismail dan mungkin Umar Kayam bisa kita bayangkan pemuatannya di Femina dan itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan soal mutu cerpen-cerpen versangkutan. Sebaliknya, misalnya Budi Darma, Danarto dan F. Rahardi sulit untuk bisa memuaskan selera majalah seperti Femina.
Lalu, apa yang hendak dikatakan tentang mutu cerpen? Jelas bahwa ia tidak ada hubungannya dengan majalah. Hanya pantas dicatat, bahwa majalah yang memburu oplah memang harus menyandarkan cerpennya kepada selera pembaca, dan penulis yang mengirimkan cerpen ke sana harus pandai-pandai mengemudikan dirinya dengan kebijaksanaan redaksi yang sesuai dengan selera pembaca. Dengan kata lain: tak usahlah penulis yang bersangkutan merisaukan benar mutu tulisannya, sebab redaksi juga tak pernah merisaukannya. Boleh saja redaksi majalah hiburan mengorbankan pribadinya demi selera pembaca.
Kata "pembaca" dalam kalimat di atas sering merupakan semacam kekuasaan yang tidak jelas apa. Dan orang suka mengatakan bahwa cerpen yang dimuat di majalah hiburan lebih bermanfaat karena dibaca lebih banyak pembaca; kita sudah lupa bahwa orang membeli majalah hiburan tidak semata-mata untuk membaca cerpen-barangkali malah ia tak pernah meluangkan waktu bagi cerpen. Kita belum pernah tahu berapa persen dari pembaca majalah hiburan itu yang memperhatikan cerpen.
Dan kumpulan cerpen tidak laku keras. Setidaknya, buku kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya kurang laku dibandingkan dengan buku puisi atau novel. Mungkin hal itu disebabkan karena kebutuhan kita akan cerpen sudah terpuaskan oleh koran dan majalah yang begitu banyak jumlahnya. Koran dan majalah kita memuat fakta dan fiksi; dan banyak tulisan-tulisan di dalamnya tidak jelas apakah fakta atau fiksi. Banyak penulis artikel (dan redaksi) di majalah dan koran yang menulis berita dengan cara yang sama kalau menulis cerita: kita pun gemar membaca berita tentang penyanyi atau bintang film atau tokoh masyarakat yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi semacam dongeng. Hal ini tentu saja memuaskan kebutuhan kita akan fakta dan fiksi, sekali pukul.
Tetapi barangkali juga sebabnya lebih mendasar. Orang yang membeli buku cerita sudah berniat untuk duduk agak lama menikmati bacaannya - dengan demikian novel pun lebih laku. Dan akhir-akhir ini novel yang agak panjang (ukuran Indonesia kini) ternyata laku: Karmila (Marga T.) dan Pada Sebuah Kapal (N.H. Dini).
Hadiah Nobel pun tak pernah diberikan kepada penulis cerpen saja; pemenang sastranya jatuh kepada novelis atau penyair. Barangkali saja karena sebagai bentuk karya sastra cerpen relatif masih muda. Umumnya kita akui bahwa "bapak" cerpen adalah Maupassant dan Chekov; mungkin sekali ia belum dianggap cukup untuk berdiri sendiri.
Di Indonesia pun biasanya penulis cerpen juga menulis novel atau puisi; dan mereka ini umumnya dianggap novelis atau penyair. Tetapi ada juga beberapa penulis cerpen kita yang tidak (belum) menulis novel; dan cerpen-cerpen mereka itu sudah kuat untuk diperbincangkan sebagai karya sastra. Dua nama yang segera muncul dalam kepala saya adalah Umar Kayam dan Danarto.
Mungkin kita justru harus bergembira bahwa cerpen jarang diperguncingkan dan dipertengkarkan. Saat ini banyak pembicaraan tentang sastra memberi kesan bahwa kita semua sedang sibuk meyakin-yakinkan diri kita bahwa sastra punya tempat dalam masyarakat dan berguna bagi manusia. Persoalan semacam itu timbul biasanya karena kita sudah mulai ragu-ragu akan hal itu.
Kita harap saja bahwa jarangnya cerpen-cerpen dibicarakan merupakan suatu pertanda bahwa ia memang sudah punya tempat yang layak dalam masyarakat dan sungguh-sungguh berguna bagi pembacanya.
Contoh-Contoh Paragraf Pendahuluan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam
Menulis Pendahuluan Esai, paragraf
pendahuluan dapat dibandingkan seperti gerbang yang menyambut pengunjung untuk
memasuki sebuah rumah. Demikian pula paragraf pendahuluan. Paragraf ini harus
dirancang sedemikan rupa agar menarik bagi pembaca sekaligus menciptakan
suasana sambutan yang hangat agar pembaca melanjutkan membaca isi esai. Untuk
mempermudah pembelajaran kita, berikut adalah enam tehnik yang dapat digunakan
untuk membuka esai kita dengan menarik dan efektif.
- See more at: http://www.menulisesai.com/2012/12/contoh-contoh-paragraf-pendahuluan.html#sthash.ppQ86PwE.dpuf
1. Tehnik
Pengantar Umum
Topik:
Persoalan Banjir di Jakarta
Sebagai ibu kota negara, Jakarta sarat dengan
berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang dari dulu sampai sekarang belum
tertangani dengan baik adalah masalah banjir. Hampir setiap tahun, terutama di
musim penghujan pada periode November – Februari, warga Jakarta tidak pernah
merasa tenang. Banjir selalu mengancam mereka. Bencana ini selalu datang
meskipun tidak pernah diundang. Bagi masyarakat yang tinggal di pinggir
sungai-sungai yang membelah Jakarta, masalah ini sudah menjadi santapan rutin
di musim penghujan. Secara umum, penyebab banjir di Jakarta disebabkan oleh kondisi
geografis/topografis Jakarta, infrastruktur yang minimal, dan perilaku
masyarakat.
2. Tehnik Definisi
Topik: Kategori Nilai Kebajikan Manusia
Tidak mudah membuat batasan apa itu nilai, mengingat ada
cukup banyak pendapat tentang hal ini yang saling berbeda (lihat Kluckhohn,
1962; Rokeach, 1973; Smith, 1969). Oleh
sebab itu, tulisan ini membatasi makna nilai seperti yang diartikan oleh
Driyarkara bahwa nilai merupakan hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu
pantas dikejar oleh manusia (Driyarkara, 1966:38). Lebih lanjut, Driyarkara
menjelaskan bahwa nilai itu erat berkaitan dengan kebaikan, kendati keduanya
memang tidak sama, mengingat bahwa sesuatu yang baik tidak selalu bernilai
tinggi bagi seseorang atau sebaliknya. Sebagai contoh, cincin berlian itu baik,
tetapi tidak bernilai bagi seseorang yang mau tenggelam bersama kapalnya.
Kebaikan itu lebih melekat pada ”hal”-nya, sementara nilai lebih menunjuk sikap
orang terhadap suatu hal yang baik. Oleh karena itu, nilai kebajikan dapat
dibedakan dalam tiga kategori besar, yaitu nilai fisik, nilai sosial, dan nilai
moral.
3. Tehnik Anekdot
Topik: Pelayanan pubik di
Jakarta
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan publik di
Indonesia sangat parah. Ada adagium yang mengatakan, ”Kalau dapat dipersulit,
kenapa dipermudah?” Kejadian berikut memperkuat adagium di atas. Seorang teman
yang baru pindah ke Jakarta bermaksud mengurus KTP di salah satu kelurahan di
Jakarta Barat. Setelah memenuhi semua persyaratan yang diminta, teman tersebut
dengan penuh percaya diri mendatangi kelurahan yang dimaksud. Sebelumnya, saya
sudah mengingatkan dia agar menggunakan ”jalur belakang” guna mempercepat
pembuatan KPT baru baginya. Namun, dia menolak. Dalam hati saya berkata, ”Belum
tahu dia!” Singkat kata, setelah bolak-balik selama seminggu ke kelurahan, bukan
KTP yang dia dapatkan, tapi kekesalan dan kejengkelan. Kisah ini menunjukkan
bahwa pelayanan publik di Jakarta sangat memprihatinkan.
4. Tehnik Rhetorical Questions
Topik: Merencanakan
liburan yang menyenangkan
Bingung menentukan kemana Anda akan
berlibur akhir tahun ini? Liburan apa yang murah-meriah namun menyenangkan buat
keluarga? Mau ke pantai atau ke pegunungan? Merencanakan liburan memang
gampang-gampang sulit. Tanpa persiapan dan perencanaan yang matang, liburan
bukan memberi penyegaran tapi malah menimbulkan stres dan kebosanan. Kalau mau gampang, serahkan saja liburan
Anda ke travel agent. Namun, liburan seperti ini membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Salah-salah pemborosanlah yang akan Anda rasakan. Untuk merencanakan
liburan yang murah namun menyenangkan, ikutilah tip-tip berikut.
5. Tehnik Reverse Direction
Topik: Kesadaran masyarakat Jakarta
akan kebersihan lingkungan
Hidup
di lingkungan yang bersih menjadi dambaan setiap orang. Lingkungan yang bersih
dan tertata rapi tidak hanya menyehatkan namun juga membuat orang kerasan.
Singapura menjadi salah satu negara-kota yang terkenal dengan kebersihan
lingkungannya. Denda yang besar diberlakukan untuk semua orang yang membuang
sampah sembarangan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin terciptanya lingkungan
yang bersih dan sehat. Alangkah nikmatnya hidup di lingkungan yang sehat dan
bersih seperti di Singapura. Sayangnya, kalau kita tinggal di kampung di
Jakarta, keinginan untuk tinggal di lingkungan yang bersih dan sehat masih
menjadi impian semata. Kesadaran masyarakat Jakarta akan kebersihan lingkungan
masih sangat rendah. Buruknya lingkungan di Jakarta disebabkan oleh perilaku warga
yang buruk, pemahaman warga yang rendah akan manfaat kebersihan, dan kurangnya
kepedulian berbagai pihak akan lingkungan yang bersih.
6. Tehnik Kutipan
Topik: Makna kehidupan
”Urip mung mampir ngombe.” Demikian bunyi
pepatah Jawa yang kedengarannya mengecilkan makna kehidupan. Benarkah hidup
hanya sekedar mampir minum? Sedemikian singkatkah hidup sehingga kita tidak
bisa berbuat sesuatu? Dalam kesempatan lain, protagonis Forrest Gump dalam filem
Hollywood yang sangat populer di 1994 mengatakan, ”Life is like a box of chocholate. You never know what you’re gonna get.”
Benarkah hidup tak dapat diduga dan tidak memiliki kepastian? Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini senantiasa mengusik kita. Tidak mudah untuk menjawabnya. Namun,
dari kedua kutipan tersebut, kita setidaknya mempelajari tiga hal tentang
kehidupan: singkat, tak terduga, dan waspada. Tiga kata sifat ini dapat menggambarkan makna kehidupan
bagi manusia.
0 komentar:
Posting Komentar