Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Depdiknas, 2003:1). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Dalam hal ini, guru bertugas membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru bertugas mengelola kelas sebagai suatu tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama. Ketujuh kompenen itu adalah konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).
Pemodelan (modeling) dalam CTL adalah pemberian model atau contoh yang bisa ditiru. Guru bukan satu-satunya model dalam CTL. Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, mengerjakan tugas, bentuk tugas. Model dapat dirancang bersama-sama dengan siswa, bahkan siswa dapat ditunjuk untuk dijadikan sebagai model.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendekatan CTL terdapat strategi pemodelan. Strategi pemodelan dapat berupa teknik tiru model. Hal ini sesuai dengan pernyataan Depdiknas (2003:18) bahwa salah satu contoh praktik pemodelan adalah guru bahasa Indonesia menunjukkan teks berita dari Harian Kompas, Jawa Pos, dan sebagainya untuk dijadikan model pembuatan berita.
Keterampilan menulis erat kaitannya dengan keterampilan membaca. Untuk dapat menulis seseorang harus banyak membaca. Membaca adalah sarana utama menuju ke keterampilan menulis. Salah satu teknik menulis yang erat kaitannya dengan membaca adalah teknik tiru model. Teknik ini merupakan cara menulis dengan menggunakan sebuah contoh tulisan yang digunakan sebagai model. Tulisan model tidak ditiru secara keseluruhan. Model yang ditiru hanyalah kerangka dan bentuk karangannya sedangkan isi karangan tidak ditiru.
Marahimin (1999:21) menyatakan bahwa teknik tiru model pada dasarnya menuntut melakukan latihan-latihan sesuai dengan master yang diberikan. Model harus dibaca terlebih dahulu, dilihat isi dan bentuknya, dianalisis serta dibuatkan kerangkanya, kemudian menulis. Tulisan yang dibuat tidak sama persis seperti model, yang ditiru adalah kerangkanya, atau idenya, atau bahkan juga cara atau tekniknya.
Lebih lanjut Tarigan (1986:194) menegaskan bahwa cara menulis dengan meniru model adalah guru mempersiapkan suatu karangan model yang akan dijadikan contoh dalam menyusun karangan. Karangan siswa tidak persis sama, struktur karangan memang sama tetapi berbeda dalam isi.
Dapat disimpulkan bahwa teknik tiru model merupakan teknik yang dilakukan untuk menulis dengan menggunakan sebuah contoh tulisan yang digunakan sebagai model. Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan teknik tiru model adalah:
- Guru membagikan bahan ajar kepada siswa yang berupa contoh esai.
- Siswa membaca dan memahami bahan ajar tersebut.
- Guru membimbing siswa menentukan tiga unsur esai yang terdapat pada contoh esai.
- Siswa menentukan ide pokok dan ide penjelas dalam setiap paragraf.
- Siswa menentukan pola pengembangan setiap paragraf dari bahan ajar.
- Siswa menentukan tema esai.
- Siswa menulis esai berdasarkan tema esai contoh.
- Siswa diperbolehkan meniru tema, pola pengembangan paragraf esai contoh.
- Siswa tidak perbolehkan meniru semua bagian esai tersebut. Oleh karenanya, contoh esai dikumpulkan sebelum siswa diminta menulis esai.
Kelima, menulis
pendek-pendek
Menulis esai, juga bentuk tulisan lain, kudu pendek-pendek. Kalimatnya
maksud saya. Ada alat ukur soal kalimat efektif ini. Namanya Fog Index.
Sederhananya, kata metode ini, bikinlah kalimat yang jumlah katanya 8-14
buah. Boleh lebih sedikit, boleh sedikit lebih banyak. Tapi kira-kira
ya segitulah ukurannya. Peter Henshall dan David Ingram dalam Menjadi
Jurnalis memperkenalkan konsep KISS dalam menulis. Ini bukan acara di
Indosiar, ini singkatan. KISS itu keep it short and simple. Bikin pendek
dan sederhana. Maka itu, kalimat yang ditatahkan dalam esai bikin
pendek-pendek saja. Saya berusaha membuat artikel materi ini juga
pendek-pendek. Maksudnya apa? Supaya pembaca bisa lekas mengerti membaca
satu per satu kalimat. Tidak susah dicerna. Mudah ditangkap mata dan
dicerna pikiran. Tulisan yang mungkin idenya buruk, kalau kalimatnya
pendek, masih mudah dibaca. Tapi, ide yang berantakan makin runyam jika
kalimatnya panjang. Berkelewahan begitu.
Menulis, apalagi esai, kan sudut pertama orang pertamanya kental sekali.
Maka itu, supaya gampang dicerna, bikin pendek saja kalimatnya.
Kemudian bikin bahasanya sederhana. Sederhana ini bukannya remeh, tapi
disesuaikan dengan objek pembaca. Gunakan diksi bahasa Indonesia yang
baik. Gunakan juga sebanyak mungkin sinonim atau persamaan kata. Ada
banyak kosakata di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang bagus. Itu bisa
dipakai sebagai pengaya kosakata dalam esai kita. Kalau tak buka kamus,
ya kita tak bakal tahu ternyata kosakata kita jutaan jumlahnya. Cuma
kurang dari sepuluh persen yang dipakai dalam bahasa lisan dan tulisan.
Padahal, itu kekayaan khazanah kebahasaan kita. Silakan dipakai.
Hitung-hitung, esai yang kita bikin mengedukasi pembaca.
Saya sebulan lalu ikut pelatihan editing di MetroTV. Waktu pelatihan,
Redaktur Bahasa Media Indonesia Donny Tjiptonugroho memperkenalkan dua
diksi lain untuk “gagal”. Apa itu? Putang dan kubra. Baru baca ya? Saya
juga baru tahu ternyata sinonim gagal itu ada putang dan kubra. Lucu
terdengarnya. Tapi silakan dibaca. Supaya familiar, saat diksi “baru”
itu ditulis, dibikin dalam kurung saja arti lainnya gagal.
Ada kata “banal”, “semenjana”, “senyampang”. “setakat” dan sebagainya di
kamus. Silakan dibeli kamusnya, dibaca kosakatanya, dan digunakan dalam
esai yang kita buat.
Keenam, kasih kejutan
Supaya pembaca menemukan sensasi saat membaca tulisan, siapkan kejutan.
Apa itu? Gampang dan sederhana kok. Bikin saja kutipan yang sesuai
dengan konteks tulisan yang kita bikin. Kutipan itu bisa dari buku,
ucapan tokoh terkenal, atau kutipan media massa yang terkenal. Bisa juga
memperkayanya dengan data. Misal kita menulis esai soal mendiang
Presiden Ceko Vaclav Havel. Kejutannya bisa dengan memperkaya data
dengan sejarah pecahnya Ceko dan Slovakia, sejarah negara itu saat
Perang Dunia II, atau angkat soal sepak bola negerinya kiper Chelsea
Petr Cech itu. Atau boleh juga dikutip tulisan atau reportase jurnalis
soal indahnya Kota Praha di Ceko. Silakan saja. Ini ibarat servis buat
pembaca supaya mereka mendapat “sesuatu” dari esai kita. Syukur-syukur
bisa “cetar” bak Syahrini. Tapi tak juga lebay-lebay amat ya.
Jangan sampai karena mau memberi kejutan, setiap paragraf isinya kutipan
semua. Ya tidak begitu juga. Porsi sebuah esai tetap pada gagasan kita
sendiri. Apa argumentasinya. Apa idenya. Jangan melulu bergantung pada
literatur dan kutipan. Itu sekadar efek kejut. Namanya saja kejutan, ta
tidak melulu di tiap paragraf ada kutipan. Kalau sering terkejut,
bisa-bisa kena serangan jantung nantinya. Ada-ada saja.
Ketujuh, rampungkan
Menulis esai, apalagi yang nilai aktualitasnya tinggi, serta mau dikirim
ke media, mesti cepat. Tulisan itu mesti rampung. Soal waktunya,
terserah Anda. Bisa satu jam, bisa dua jam, bisa juga setengah hari satu
esai baru kelar. Jangan kelebihan dari sehari. Bisa-bisa idenya basi
dan tersaingi dengan penulis esai lain. Maka itu, jangan patah semangat
dan rampungkan tulisan. Masalahnya, ada penulis yang begitu merasa buntu
di tengah, lalu menyerah. Tulisan dihapus, komputer dimatikan, dan dia
benci setengah mati dengan menulis. Itu yang tidak boleh terjadi.
Semangat terus.
Menulis itu kan keterampilan. Siapa saja, profesi apa saja, bisa menjadi
penulis esai. Tak mesti jadi jurnalis atau wartawan. Makanya sayang
kalau kemampuan menulis itu tak diasah. Ya sekurang-kurangnya, kalau
tidak untuk media massa, diunggah di blog pribadi. Bisa juga diunggah di
Facebook lalu disebar ke teman-teman. Sama saja kok. Apalagi sekarang
zaman media sosial. Tulisan di media sosial kadang menjadi referensi
yang dicari banyak orang.
Last but not the least
Selain konten yang berkaitan dengan teknis menulis esai, ada beberapa
hal yang tidak boleh dilupakan. Ini penting saya sampaikan supaya etiket
dalam menulis bisa diketahui khalayak. Apa saja itu?
Pertama, jangan memplagiat. Memplagiat itu menyontek karya orang,
mengganti namanya dengan nama kita, lalu dikirim ke media massa. Ini
praktik haram. Dosa tak berampun dalam ranah jurnalisme. Jangan satu
kali pun menjiplak. Hargai karya orang, hargai karya sendiri. Jelek asal
karya sendiri, itu lebih baik ketimbang menjiplak. Mungkin tulisan itu
dimuat media massa dan redaksi tidak tahu. Tapi sehari-dua hari, ada
saja SMS ke redaksi memberi tahu bahwa karya yang pernah naik siar itu
pernah ditulis di media lain. Apa hukuman buat seorang penjiplak? Black
list. Nama si empunya karya bakal masuk daftar hitam. Ia akan diembargo.
Tak ada ruang buat dia untuk menulis lagi di media itu. Habis karier
menulisnya. Hancur nama baiknya. Maka itu, jangan sekali pun menjiplak.
Kedua, jangan mengirim satu artikel ke dua media massa. Etiket dalam
ranah jurnalisme tak membolehkan itu, terkecuali ada izin dari kedua
media massa. Dalam skup artikel berita, rata-rata manajemen redaksi tak
mengizinkan sebuah karya dikirim ke tempat lain. Tapi ada juga yang
bisa. Saya pernah menjadi kontributorKantor Berita Radio 68H (KBR68H)
selama dua tahun. Di kantor berita radio swasta itu, setiap kontributor
diperkenankan mengirim berita yang sama ke media lain. Syaratnya, bukan
radio. Jadi, boleh jadi nyambi. Kontributor radio oke, kontributor media
laman daring (online) juga oke.
Tapi untuk penulis esai, artikel opini, resensi buku, etiketnya dilarang
mengirim satu artikel ke banyak media. Kalau sampai tulisan dimuat di
dua media massa pada hari yang sama atau selang beberapa waktu, itu juga
musibah. Kita bisa di-black list. Kita dianggap tidak beretiket.
Supaya integritas terjaga, upayakan tidak melakukan kebiasaan ini.
Menulislah untuk satu media dengan satu artikel. Dan mengirimlah dua
artikel berbeda ke dua media massa yang berlainan. Itu diperkenankan.
Menjadi esais yang baik tentu butuh waktu dan konsistensi. Upayakan
setiap pekan ada esai atau opini yang bisa kita hasilkan. Bisa one day
one artickle sangat baik. Tapi bisa menulis satu artikel dalam setiap
pekan, itu lumayan. Konsistensi, itu kuncinya. Jadi, yuk menulis esai.
Menulis yang ringan-ringan saja, yang dikuasai, tak usah lebay. Yang
penting esai Anda selesai. Wallahualam bissawab.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/adiansaputra/menulis-esai-jangan-lebay-yang-penting-selesai_55198e2ca333117119b6591e
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/adiansaputra/menulis-esai-jangan-lebay-yang-penting-selesai_55198e2ca333117119b6591e
Menulis itu kan keterampilan. Siapa saja, profesi apa saja, bisa menjadi
penulis esai. Tak mesti jadi jurnalis atau wartawan. Makanya sayang
kalau kemampuan menulis itu tak diasah. Ya sekurang-kurangnya, kalau
tidak untuk media massa, diunggah di blog pribadi. Bisa juga diunggah di
Facebook lalu disebar ke teman-teman. Sama saja kok. Apalagi sekarang
zaman media sosial. Tulisan di media sosial kadang menjadi referensi
yang dicari banyak orang.
Last but not the least
Selain konten yang berkaitan dengan teknis menulis esai, ada beberapa
hal yang tidak boleh dilupakan. Ini penting saya sampaikan supaya etiket
dalam menulis bisa diketahui khalayak. Apa saja itu?
Pertama, jangan memplagiat. Memplagiat itu menyontek karya orang,
mengganti namanya dengan nama kita, lalu dikirim ke media massa. Ini
praktik haram. Dosa tak berampun dalam ranah jurnalisme. Jangan satu
kali pun menjiplak. Hargai karya orang, hargai karya sendiri. Jelek asal
karya sendiri, itu lebih baik ketimbang menjiplak. Mungkin tulisan itu
dimuat media massa dan redaksi tidak tahu. Tapi sehari-dua hari, ada
saja SMS ke redaksi memberi tahu bahwa karya yang pernah naik siar itu
pernah ditulis di media lain. Apa hukuman buat seorang penjiplak? Black
list. Nama si empunya karya bakal masuk daftar hitam. Ia akan diembargo.
Tak ada ruang buat dia untuk menulis lagi di media itu. Habis karier
menulisnya. Hancur nama baiknya. Maka itu, jangan sekali pun menjiplak.
Kedua, jangan mengirim satu artikel ke dua media massa. Etiket dalam
ranah jurnalisme tak membolehkan itu, terkecuali ada izin dari kedua
media massa. Dalam skup artikel berita, rata-rata manajemen redaksi tak
mengizinkan sebuah karya dikirim ke tempat lain. Tapi ada juga yang
bisa. Saya pernah menjadi kontributorKantor Berita Radio 68H (KBR68H)
selama dua tahun. Di kantor berita radio swasta itu, setiap kontributor
diperkenankan mengirim berita yang sama ke media lain. Syaratnya, bukan
radio. Jadi, boleh jadi nyambi. Kontributor radio oke, kontributor media
laman daring (online) juga oke.
Tapi untuk penulis esai, artikel opini, resensi buku, etiketnya dilarang
mengirim satu artikel ke banyak media. Kalau sampai tulisan dimuat di
dua media massa pada hari yang sama atau selang beberapa waktu, itu juga
musibah. Kita bisa di-black list. Kita dianggap tidak beretiket.
Supaya integritas terjaga, upayakan tidak melakukan kebiasaan ini.
Menulislah untuk satu media dengan satu artikel. Dan mengirimlah dua
artikel berbeda ke dua media massa yang berlainan. Itu diperkenankan.
Menjadi esais yang baik tentu butuh waktu dan konsistensi. Upayakan
setiap pekan ada esai atau opini yang bisa kita hasilkan. Bisa one day
one artickle sangat baik. Tapi bisa menulis satu artikel dalam setiap
pekan, itu lumayan. Konsistensi, itu kuncinya. Jadi, yuk menulis esai.
Menulis yang ringan-ringan saja, yang dikuasai, tak usah lebay. Yang
penting esai Anda selesai. Wallahualam bissawab.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/adiansaputra/menulis-esai-jangan-lebay-yang-penting-selesai_55198e2ca333117119b6591e
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/adiansaputra/menulis-esai-jangan-lebay-yang-penting-selesai_55198e2ca333117119b6591e
0 komentar:
Posting Komentar