Seksualitas adalah hal yang dianggap tabu
untuk dibicarakan. Apalagi dalam sebuah karya sastra yang penikmatnya mencakup
semua golongan. Alasannya klasik, tidak ladzim membicarakan seks apalagi dalam
sebuah tulisan yang dipublikasikan. Kita kadang terlalu berlebihan memandang
hal seksualitas. Padahal orang dewasa perlu berdiskusi tentang itu.
Bicara seksualitas tentu tidak lepas dari
sosok perempuan. Perempuan sebagai pelaku seks dan perempuan sebagai korban
pelecehan seksual. Perempuan sebagai makhluk yang dinilai lemah acapkali
mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual. Dalam cerpen “Mereka
Bilang Saya Monyet!” Djenar coba menguraikan sisi lain perempuan dengan
perilaku seksnya yang dianggap tabu
serta emansipasi perempuan yang dia cerminkan dalam tokoh Saya.
Tokoh profeminis
dalam cerpen Mereka bilang, saya
monyet! Karya Djenar Maesa Ayu adalah saya atau penulis sendiri.
Penulis yang dimaksud disini adalah Djenar Maesa Ayu. Ide emansipasi muncul
dari penulis atas dasar ketidakpuasan dan ketidakadilan hak terhadap
pemerintahan yang notabene dipimpin oleh seorang laki-laki. Ide emansipasi yang
dimunculkan oleh penulis tidak bersifat radikal hanya menginginkan pembenahan
atau pengakuan terhadap kedudukan perempuan dimata laki-laki karena perempuan
sering sekali menjadi korban penganiayaan laki-laki baik secara fisik maupun
mental.
“Waktu saya mengatakan
bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh
iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksudkan adalah perasaan,
selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan
bahwa saya mempunyai otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya,
otak yang mereka maksudkan adalah akal.”
Dari kutipan diatas
terlihat bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Laki-laki seorang
pemimpin, laki-laki mempunyai kedudukan dalam pemerintah, laki-laki berkuasa
dan berhak mengatur siapa yang boleh berpendapat dan siapa yang tidak boleh
berpendapat. Penulis merasa ketidakadilan sedang berada pada dirinya. Oleh
sebab itulah ide emansipasi muncul dalam diri penulis. Laki-laki memang menjadi
seorang pemimpin namun bukanlah seorang pemimpin yang baik, bukan laki-laki
yang memikirkan kesejahteraan hidup orang banyak. Laki-laki tersebut hanya
bersembunyi dibalik penampilannya namun, hatinya seperti binatang. Demikian
penggambaran penulis terhadap tokoh laki-laki dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Laki-laki
tersebut beridentitas manusia namun hati dan kelakuannya seperti binatang.
Penulis yang
berjenis kelamin perempuan merasa dirinya lebih baik dari pada seorang
laki-laki yang hanya baik diluar namun hatinya busuk. Penulis memiliki akal dan
perasaan. Mampu memimpin seperti halnya laki-laki tercermin dalam kutipan
berikut ini.
Saya memperhatikan
bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala
manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya
adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat
gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang
yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi
mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal
dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!
Penulis beranggapan
derajad perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Walaupun dirinya disebut
sebagai monyet namun dia tidak marah karena monyet lebih baik dari pada
binatang manapun, karena monyet satu-satunya binatang yang mirip dengan
manusia. Mampu hidup dengan masyarakat dan menghargai sesama. Tidak saling
menyakiti dan membutuh sesama jenis. Oleh karena itulah timbul keinginan dari diri
penulis untuk melawan ketidakadilan tersebut. Penulis tidak mau tertindas dalam
dominasi kaum laki-laki. Hal tersebut dituangkan penulis dalam kutipan berikut
ini.
Saya menunggu di
dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala
Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehernya
dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya
harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si
Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan
ia masuk dan meninggalakan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si
Kepala Buaya tempat saya menghajarnya tadi.
Feminisme ini ditunjukkan Djenar melalui tokoh Saya yang berpikir idealis. Meskipun
dapat dianggap sebagai binatang monyet tetapi
dikonotasikansebagai binatang yang hampir mirip dengan manusia. Secara tidak
langsung,Djenar ingin menyampaikan bahwa belum tentu manusia itu baik. Manusia
adayang berkelakuan seperti binatang. Djenar menunjukkan
perlawanan dengankemunculan tokoh Saya yang bersifat
idealis dengan apa yang diyakininya..
lalu beberapa isyu seksualitas coba dikupas Djenar
melalui cerpen ini. Djenar berani melawan ketabuan lewat penanya. Dia menceritakan
bagaimana perempuan sangatlah dekat dengan seks. Bagaimana wanita ternyata
begitu intim dan rawan dengan dunia seks. Bahkan wanita dijadikan objek
seksualitas oleh laki-laki untuk memenuhi hasratnya. Itu tercermin dalam teks berikut.
“Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin
mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan.
Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan.
Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan.
Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat
lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan
perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, “Dasar
binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”
Teks di atas jelas memaparkan hal
yang sudah menjadi rahasia umum. Perempuan menjadi objek seksualitas kaum adam.
Bahkan ditemukan pada tempat yang tak ladzim. Ini yang coba Djenar ungkapkan. Bahwa
kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan bukanlah suatu hal yang harus
dikonfrontasikan dengan moral dan mitos keperawanan. Prostitusi kini menjalar
dimana-mana, korban perkosaan semakin banyak, belum lagi diskriminasi yang
muncul terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual, dan juga pandangan
tentang seks yang ditabukan dan tidak pantas dibicarakan menambah keresahannya.
Djenar merasa ini adalah problem Dia
juga sebagai seorang perempuan. Tokoh saya dalam cerpen Mereka
bilang, saya monyet! Karya Djenar Maesa Ayu benar-benar memperjuangkan
derajad dan kedudukan sebagai seorang perempuan. Tokoh saya tidak mau tertintas
oleh kaum laki-laki oleh karena itu, dia memberontak dan melawan atas
ketidakadilan yang menimpa dirinya. Sebagai seorang perempuan ia tidak berpangku
tangan ataupun pasrah atas perilaku kasar dan dominasi laki-laki terhadapnya.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa tokoh saya, yaitu penulis merupakan satu-satunya tokoh yang profeminis. Penulis tidak nyaman dengan ketidakadilan dan kepura-puraan yang diciptakan oleh tokoh laki-laki. Mereka terlalu mendominasi sehingga mengabaikan pendapat perempuan
0 komentar:
Posting Komentar