Translate

kritik sastra cerpen mereka bilang saya montet karya djenar naesa ayu

Written By iqbal_editing on Jumat, 09 September 2016 | 06.12

Seksualitas adalah hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan. Apalagi dalam sebuah karya sastra yang penikmatnya mencakup semua golongan. Alasannya klasik, tidak ladzim membicarakan seks apalagi dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan. Kita kadang terlalu berlebihan memandang hal seksualitas. Padahal orang dewasa perlu berdiskusi tentang itu.
Bicara seksualitas tentu tidak lepas dari sosok perempuan. Perempuan sebagai pelaku seks dan perempuan sebagai korban pelecehan seksual. Perempuan sebagai makhluk yang dinilai lemah acapkali mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual. Dalam cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet!” Djenar coba menguraikan sisi lain perempuan dengan perilaku seksnya  yang dianggap tabu serta emansipasi perempuan yang dia cerminkan dalam tokoh Saya.
Tokoh profeminis dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Karya Djenar Maesa Ayu adalah saya atau penulis sendiri. Penulis yang dimaksud disini adalah Djenar Maesa Ayu. Ide emansipasi muncul dari penulis atas dasar ketidakpuasan dan ketidakadilan hak terhadap pemerintahan yang notabene dipimpin oleh seorang laki-laki. Ide emansipasi yang dimunculkan oleh penulis tidak bersifat radikal hanya menginginkan pembenahan atau pengakuan terhadap kedudukan perempuan dimata laki-laki karena perempuan sering sekali menjadi korban penganiayaan laki-laki baik secara fisik maupun mental.
       “Waktu saya mengatakan bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya mempunyai otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang mereka maksudkan adalah akal.”
Dari kutipan diatas terlihat bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Laki-laki seorang pemimpin, laki-laki mempunyai kedudukan dalam pemerintah, laki-laki berkuasa dan berhak mengatur siapa yang boleh berpendapat dan siapa yang tidak boleh berpendapat. Penulis merasa ketidakadilan sedang berada pada dirinya. Oleh sebab itulah ide emansipasi muncul dalam diri penulis. Laki-laki memang menjadi seorang pemimpin namun bukanlah seorang pemimpin yang baik, bukan laki-laki yang memikirkan kesejahteraan hidup orang banyak. Laki-laki tersebut hanya bersembunyi dibalik penampilannya namun, hatinya seperti binatang. Demikian penggambaran penulis terhadap tokoh laki-laki dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Laki-laki tersebut beridentitas manusia namun hati dan kelakuannya seperti binatang.
Penulis yang berjenis kelamin perempuan merasa dirinya lebih baik dari pada seorang laki-laki yang hanya baik diluar namun hatinya busuk. Penulis memiliki akal dan perasaan. Mampu memimpin seperti halnya laki-laki tercermin dalam kutipan berikut ini.
Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet!
Penulis beranggapan derajad perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Walaupun dirinya disebut sebagai monyet namun dia tidak marah karena monyet lebih baik dari pada binatang manapun, karena monyet satu-satunya binatang yang mirip dengan manusia. Mampu hidup dengan masyarakat dan menghargai sesama. Tidak saling menyakiti dan membutuh sesama jenis. Oleh karena itulah timbul keinginan dari diri penulis untuk melawan ketidakadilan tersebut. Penulis tidak mau tertindas dalam dominasi kaum laki-laki. Hal tersebut dituangkan penulis dalam kutipan berikut ini.
Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman. Saya cekik lehernya dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalakan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya menghajarnya tadi.

Feminisme ini ditunjukkan Djenar melalui tokoh Saya yang berpikir idealis. Meskipun
dapat dianggap sebagai binatang monyet tetapi dikonotasikansebagai binatang yang hampir mirip dengan manusia. Secara tidak langsung,Djenar ingin menyampaikan bahwa belum tentu manusia itu baik. Manusia adayang berkelakuan seperti binatang. Djenar menunjukkan
perlawanan dengankemunculan tokoh Saya yang bersifat idealis dengan apa yang diyakininya..
lalu beberapa isyu seksualitas coba dikupas Djenar melalui cerpen ini. Djenar berani melawan ketabuan lewat penanya. Dia menceritakan bagaimana perempuan sangatlah dekat dengan seks. Bagaimana wanita ternyata begitu intim dan rawan dengan dunia seks. Bahkan wanita dijadikan objek seksualitas oleh laki-laki untuk memenuhi hasratnya.  Itu tercermin dalam teks berikut.
            “Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci. Saya mengetuk pintu pelan-pelan. Tidak ada jawaban dari dalam. Tidak ada suara air. Tidak ada suara mengedan. Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu. Saya mendengar desahan tertahan. Saya kembali mengetuk pintu. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi. Yang laki-laki lantang memaki, “Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”
            Teks di atas jelas memaparkan hal yang sudah menjadi rahasia umum. Perempuan menjadi objek seksualitas kaum adam. Bahkan ditemukan pada tempat yang tak ladzim. Ini yang coba Djenar ungkapkan. Bahwa kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan bukanlah suatu hal yang harus dikonfrontasikan dengan moral dan mitos keperawanan. Prostitusi kini menjalar dimana-mana, korban perkosaan semakin banyak, belum lagi diskriminasi yang muncul terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual, dan juga pandangan tentang seks yang ditabukan dan tidak pantas dibicarakan menambah keresahannya.  Djenar merasa ini adalah problem Dia juga sebagai seorang perempuan.      Tokoh saya dalam cerpen Mereka bilang, saya monyet! Karya Djenar Maesa Ayu benar-benar memperjuangkan derajad dan kedudukan sebagai seorang perempuan. Tokoh saya tidak mau tertintas oleh kaum laki-laki oleh karena itu, dia memberontak dan melawan atas ketidakadilan yang menimpa dirinya. Sebagai seorang perempuan ia tidak berpangku tangan ataupun pasrah atas perilaku kasar dan dominasi laki-laki terhadapnya.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa tokoh saya, yaitu penulis merupakan satu-satunya tokoh yang profeminis. Penulis tidak nyaman dengan ketidakadilan dan kepura-puraan yang diciptakan oleh tokoh laki-laki. Mereka terlalu mendominasi sehingga mengabaikan pendapat perempuan

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik