Model
rima
Salut,
kalut, balut, kabut, kebut, rebut,
Sakit,
bukit, lilit, pailit, himpit, terjepit, rakit, kulit,
Rangkak,
barak, katak, katarak, semarak,
Model
lawan kata/pasangan/sinonim
Tapi
aku bawakan bunga padamu
tapi
kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi
kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi
kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi
kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi
kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi
kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi
kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
Wah!
Cerita Purba
Ada yang ingin
dikerdipkan putih
Kepada hitam
tentang beda
Ada yang ingin
diceritakan merah
Kepada warna
tentang amarah
Ada yang ingin
dikatakan telinga
Kepada mulut
tentang fitnah
Ada yang ingin
diungkapkan perut
Kepada lidah
tentang rakus
Ada yang ingin
dinyatakan syahwat
Kepada otak
tentang nafsu
Ada yang ingin
didongengkan mata
Kepada pelupuk
tentang istirahat
Ada yang ingin
dibisikkan hati
Kepada rasa
tentang nurani
Ada yang ingin
diingatkan kaki
Kepada langkah
tentang berhenti
Ada yang ingin
diteriakkan awan
Kepada matahari
tentang teduh
Ada yang ingin
dibicarakan angka
Kepada jumlah
tentang berhitung
Ada yang ingin
dikisahkan rumput
Kepada beringin
tentang kuat
Ada yang ingin
dibuktikan mistar
Kepada jarak
tentang pasti
Ada yang ingin
diperdebatkan utara
Kepada arah
tentang setia
Ada yang ingin
dilontarkan luruh
Kepada daun tentang abadi
Ada
yang ingin diperlihatkan air
Kepada keruh tentang jernih
Ada
yang ingin dianggukkan pagi
Kepada embun tentang
sejuk
Ada yang ingin
dipertontonkan siang
Kepada malam
tentang kerja
Ada yang ingin
diperdengarkan angin
Kepada beliung
tentang ribut
Ada yang ingin
diingatkan laut
Kepada ikan
tentang tempat
Ada yang ingin
diisyaratkan waktu
Kepada sejarah tentang
Alif
Ba
Ta
Tsa
(Wahyudi S., Juni
2005)
Dorothy Law Notle, seorang ibu ahli pendidikan,
mengungkapkan isi hatinya dalam puisi sebagai berikut.
Jika
seorang anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia belajar untuk menyalahkan
Jika
seorang anak hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi
Jika
seorang anak hidup dalam ketakutan, ia belajar untuk gelisah
Jika
seorang anak hidup dalam belas kasihan diri, ia belajar mudah memaafkan dirinya
sendiri
Jika
seorang anak hidup dalam ejekan, ia belajar untuk merasa malu
Jika
seorang anak hidup dalam kecemburuan, ia belajar bagaimana iri hati
Jika
seorang anak hidup dalam rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah
Jika
seorang anak hidup dalam semangat jiwa besar, ia belajar untuk percaya diri
Jika
seorang anak hidup dalam menghargai orang lain, ia belajar setia dan sabar
Jika
seorang anak hidupnya diterima apa adanya, ia belajar untuk mencintai.
Jika
seorang anak hidup dalam suasana rukun, ia belajar untuk mencintai dirnya
sendiri
Jika
seorang anak hidupnya dimengerti, ia belajar bahwa sangat baik untuk mempunyai
cita-cita.
Jika
seorang anak hidup dalam suasana adil, ia belajar akan kemurahan hati.
Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan
sportivitas, ia belajar akan kebenaran dan keadilan
Jika
seorang anak hidup dalam rasa aman, ia belajar percaya kepada dirinya dan
percaya kepada orang lain
Jika
seorang anak hidup penuh persahabatan, ia belajar bahwa dunia ini merupakan
suatu tempat yang indah untuk hidup.
Jika
kamu hidup dalam ketentraman, anak-anakmu akan hidup dalam ketenangan batin.
Model
membalik kata
Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang
“Murid-murid, pada hari
Senin ini
Marilah kita belajar
tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih
mengarang
Bukalah buku pelajaran
kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik
hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal
membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah
makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru
dengan kata-katamu sendiri”
Demikianlah kelas itu
sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar
pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari
di dahi
Ada yang salah tingkah,
duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?
Maka tak ada seorang
mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk
sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling
berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh
maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal
membangun
Membangun itu boleh, asal
mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh,
asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal,
mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu
boleh asal
Mengeritik membangun itu
asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh
itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik
boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya
temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang
karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit
dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tngan
Kalau tidak menunduk di muka
guru
Murid-Murid itu cuma
berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka
bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun
boleh asal
Membangun itu mengeritik
asal boleh
Bangun bangun membangun
kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal
mengeritik
“Dang ding dung ding dang
ding dung
Ding dang ding dung ding
dang ding dung
Leh boleh boleh boleh boleh
Boleh boleh asalh boleh.”
“Anak-anak, bapak bilang
tadi
Mengarang itu harus dengan
kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa
kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang
bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang
pertama
Dan kelemahan kalian yang
kedua
Kalian anemi referensi dan
melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku
apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami
disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu
mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar
menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar
berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca
buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama
sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila
menonton televisi.”
Jangan
Jangan
benci polisi
yang katanya di jalanan sering korupsi
kirimi saja mereka dengan bunga
atau kerdipan mata dan senyuman
biarkan mereka menjaga negara dengan rembulan
Jangan
engkau caci tentara
yang katanya berbekal tenaga
atau menjadi alat penguasa
kirimi mereka dengan kata
atau tentang puisi
biar mereka mempertahankan negeri dengan sinar matahari
Jangan
engkau laknat penguasa
yang katanya suka memerintah
atau menumpuk harta
kirimi mereka dengan jagung, padi, umbi
kirimi mereka dengan kangkung, seladah, sawi
kirimi mereka dengan cangkul dan bajak
biar mereka tahu banyak
biar
mereka tahu bumi tempat mereka berpijak
model
satire
Negeriku
K.H. A. Mustofa
Bisri
Mana ada negeri
sesubur negeriku?
Sawahnya tak
hanya menumbuhkan padi, teu, dan jagung
Tapi juga pabrik,
tempat rekreasi, dan gedung
Perabot-perabot
orang kaya di dunia
Dan burung-burung
indah piaraan mereka
Berasal dari
hutanku
Ikan-ikan pilihan
yang mereka santap
Bermula dari
lautku
Emas dan
perhiasan mereka
Digali dari
tambangku
Air bersih yang
mereka minum bersumber dari keringatku
Mana ada negeri
sekaya negeriku?
Majikan-majikan
bangsaku
Memiliki
buruh-buruh mancanegara
Brankas-brankas
bank ternama di mana-mana
Menyimpan
harta-hartaku
Negeriku
menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis
habis kaum melarat
Rata-rata
pemimpin negeriku dan handai taulannya
Terkaya di dunia
Mana ada negeri
semakmur negeriku
Penganggur-penganggur
diberi perumahan
Gaji dan pensiun
setiap bulan
Rakyat-rakyat
kecil menyumbang negara tanpa imbalan
Rampok-rampok
diberi rekomendasi
Degan kop sakti
instansi
Maling-maling
diberi konsesi
Tikus dan kucing
Dengan asyik
berkolusi
Model
repetisi kata penting
Model ini mencoba menggali dan mengulang kata-kata kunci.
Dengan kata kunci ini bisa menjadi tema atau pesan penting dalam puisi.
Perhatikan contoh di bawah ini!
SAJAK PALSU
Selamat pagi, pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu
merekapun belajar
sejarah
palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka
terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang
palsu. Karena tak cukkup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan
membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan
bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk
mengubah nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian
menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
Dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun
berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan
kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan
palsu di tengah seminar
dan
dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan
palsu
[Agus
R. Sarjono, dalam Horison XXXIV/4/2000]
0 komentar:
Posting Komentar