Translate

cerpen sang e pengemis

Written By iqbal_editing on Selasa, 31 Januari 2017 | 02.15

Judul Cerpen Sang Pengemis
Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 13 July 2014
“Ya, saya kira itu saja untuk hari ini. Untuk makalah silakan dikumpul menjadi satu ke ketua kelas dan langsung dipresentasikan minggu depan,” kata Pak Bambang yang kemudian mengucap salam penutup dan melangkah pergi.
Suasana kelas mendadak jadi berisik. Mereka-mereka yang berisik itu membicarakan tugas membuat makalah yang bahkan nggak kuketahui apa topiknya. Tapi aku nggak peduli. Aku lelah dan ingin pulang sekarang juga.
“Mau ke mana, Ndre?” Niko tiba-tiba sedikit menghalangi jalanku di depan pintu.
“Balik,” balasku sambil melepas tangannya yang berada di pundak kananku.
“Eits, tunggu dulu,” lanjutnya dengan kembali menahan pundakku. “Nanti sore mau main ke rumah Randi, nggak? Kita main PES sampai malam, yuk.”
Masa bodoh, pikirku. Aku menolak ajakannya dengan kembali melepas tangannya dengan sedikit kasar dan meninggalkannya.
“Aduh, jangan galak-galak dong, Bro!” teriaknya sengaja di depan koridor tapi belum bisa membuatku berpaling.
Sesampainya di halte, tempat biasa aku menunggu bis yang melewati jalur dekat rumahku, aku melihat ada sesosok perempuan yang sedang duduk sendiri di bangkunya. Ia memakai seragam yang sama seperti yang sedang kupakai. Dari jauh aku sama sekali nggak mengenalinya, tapi ketika aku mendekat, aku sangat tahu perempuan itu siapa. Namanya Dinda, teman sekelas saat kelas sebelas. Dan aku sengaja nggak memanggil namanya karena setahuku ia bukan tipe gadis yang mudah diajak bicara. Maka aku hanya mengangguk saat kedua matanya menangkap kedatanganku.
Namun tak kusangka, ia malah menggeser posisinya yang kuanggap ia mempersilakanku untuk duduk di sebelahnya. Aku pun menurutinya. Kulirik ia dengan sudut mataku, tak ada ekspresi apa pun pada wajahnya. Datar. Membuatku makin bingung kalimat apa yang pas untuk membuka pembicaraan di antara kami. Kemudian, aku melihat kepalanya menoleh yang juga membuatku menoleh ke arah yang sama.
“Mbak, Mas, permisi…” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berambut kemerahan datang kepada kami. Ia memakai baju putih belel dengan banyak bercak kecokelatan. Saking belelnya aku bisa melihat dadanya yang bagaikan tulang dan kulit saja. Jahitan pada celana kremnya sudah banyak yang terbuka. Kedua tangannya lalu membuka dan dikatupkan menjadi satu —memamerkan banyak noda kehitaman yang terpampang. Dan seketika aku merasa iba saat alisnya tertaut dan matanya mulai berkaca-kaca.
Aku segera merogoh saku celana SMA-ku dan mendapati ada selembar uang dua ribuan dan kuberikan kepadanya. Ia pun langsung mengambilnya dan memasukkan ke dalam kaleng biskuit yang dibawanya. Kemudian kedua tangan kotor itu berpindah ke Dinda.
“Mbak… minta uang, buat beli nasi,” jelasnya dengan nada memelas. Namun bukannya menuruti apa yang diminta si pengemis cilik, Dinda malah memandang lurus anak itu. Aku dapat merasakan bahwa nggak ada rasa kasihan tersirat dari matanya. Memangnya ada apa dengan gadis ini? Jika ia nggak ingin memberi seharusnya ia menolak saja, bukan?
Ingin sekali aku bertanya kenapa, tapi aku sangat paham akan posisiku saat ini. Jadi yang bisa kulakukan adalah memberi anak itu dua buah koin lima ratusan dan anak itu langsung memasukkannya kembali ke kalengnya. Akan tetapi, dugaanku bahwa anak itu pergi setelah kuberi uang lagi adalah salah. Ia tetap bersikukuh untuk mendapatkan uang dari Dinda. Aku dibuatnya semakin iba saat rok panjang Dinda ditariknya pelan. Lalu kulihat ada setetes cairan bening mengalir melewati pipi kanan anak itu. Ia menangis sesenggukan. Anehnya, gadis itu malah menyeringai lebar dan tawa singkat bahkan terdengar segar oleh telingaku, membuat anak itu menangis semakin keras.
Sudah cukup, aku sudah nggak tahan oleh pemandangan ironis di depan mataku ini.
“Dinda…”
Belum aku menyelesaikan kalimatku, Dinda menghela napas panjang dan kemudian ia mengambil selembar uang dari kemejanya dan memberinya kepada anak itu. Namun nggak kudengar anak itu mengucapkan terima kasih kepada kami. Bukan, bukannya aku ingin dihujani kata terima kasih, hanya saja, biasanya seorang pengemis akan berterima kasih setelah mereka menerima uang. Bahkan di antara mereka ada yang berdo’a untuk sang pemberi.
Sedetik kemudian, anak itu langsung berlari kencang sambil tertawa keras dan berkata, “Dasar bodoh!”
Sontak, aku membelakak kaget. Jadi, ia hanya…
“Anak itu hebat, bisa membuat lelaki sepertimu luluh,” katanya. “Nah, sepertinya yang menjemputku sudah datang,” lanjut Dinda seraya berdiri dan menyambar tas punggungnya.
Aku melihat sebuah mobil zebra menurunkan kecepatan dan berhenti tepat di depan halte. Pintu belakang mobil itu terbuka. Terlihat sekumpulan gadis berpakaian compang-camping —seperti anak tadi— yang duduk di dalamnya.
“Aku duluan ya, Andre.” Senyum tipis terlukis di wajah manisnya saat ia masuk ke dalamnya. Dan mobil itu pun langsung tancap gas, meninggalkanku yang masih tercengang.
Cerpen Karangan: Yasmine Nur Hasna
Blog: yasminenur-hasna.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik