Judul Cerpen Sang Pengemis
Cerpen Karangan: Yasmine Nur Hasna
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 13 July 2014
“Ya, saya kira itu saja untuk hari ini. Untuk makalah silakan
dikumpul menjadi satu ke ketua kelas dan langsung dipresentasikan minggu
depan,” kata Pak Bambang yang kemudian mengucap salam penutup dan
melangkah pergi.
Suasana kelas mendadak jadi berisik. Mereka-mereka yang berisik itu
membicarakan tugas membuat makalah yang bahkan nggak kuketahui apa
topiknya. Tapi aku nggak peduli. Aku lelah dan ingin pulang sekarang
juga.
“Mau ke mana, Ndre?” Niko tiba-tiba sedikit menghalangi jalanku di depan pintu.
“Balik,” balasku sambil melepas tangannya yang berada di pundak kananku.
“Eits, tunggu dulu,” lanjutnya dengan kembali menahan pundakku. “Nanti
sore mau main ke rumah Randi, nggak? Kita main PES sampai malam, yuk.”
Masa bodoh, pikirku. Aku menolak ajakannya dengan kembali melepas tangannya dengan sedikit kasar dan meninggalkannya.
“Aduh, jangan galak-galak dong, Bro!” teriaknya sengaja di depan koridor tapi belum bisa membuatku berpaling.
Sesampainya di halte, tempat biasa aku menunggu bis yang melewati
jalur dekat rumahku, aku melihat ada sesosok perempuan yang sedang duduk
sendiri di bangkunya. Ia memakai seragam yang sama seperti yang sedang
kupakai. Dari jauh aku sama sekali nggak mengenalinya, tapi ketika aku
mendekat, aku sangat tahu perempuan itu siapa. Namanya Dinda, teman
sekelas saat kelas sebelas. Dan aku sengaja nggak memanggil namanya
karena setahuku ia bukan tipe gadis yang mudah diajak bicara. Maka aku
hanya mengangguk saat kedua matanya menangkap kedatanganku.
Namun tak kusangka, ia malah menggeser posisinya yang kuanggap ia
mempersilakanku untuk duduk di sebelahnya. Aku pun menurutinya. Kulirik
ia dengan sudut mataku, tak ada ekspresi apa pun pada wajahnya. Datar.
Membuatku makin bingung kalimat apa yang pas untuk membuka pembicaraan
di antara kami. Kemudian, aku melihat kepalanya menoleh yang juga
membuatku menoleh ke arah yang sama.
“Mbak, Mas, permisi…” Tiba-tiba seorang anak laki-laki berambut
kemerahan datang kepada kami. Ia memakai baju putih belel dengan banyak
bercak kecokelatan. Saking belelnya aku bisa melihat dadanya yang
bagaikan tulang dan kulit saja. Jahitan pada celana kremnya sudah banyak
yang terbuka. Kedua tangannya lalu membuka dan dikatupkan menjadi satu
—memamerkan banyak noda kehitaman yang terpampang. Dan seketika aku
merasa iba saat alisnya tertaut dan matanya mulai berkaca-kaca.
Aku segera merogoh saku celana SMA-ku dan mendapati ada selembar uang
dua ribuan dan kuberikan kepadanya. Ia pun langsung mengambilnya dan
memasukkan ke dalam kaleng biskuit yang dibawanya. Kemudian kedua tangan
kotor itu berpindah ke Dinda.
“Mbak… minta uang, buat beli nasi,” jelasnya dengan nada memelas. Namun
bukannya menuruti apa yang diminta si pengemis cilik, Dinda malah
memandang lurus anak itu. Aku dapat merasakan bahwa nggak ada rasa
kasihan tersirat dari matanya. Memangnya ada apa dengan gadis ini? Jika
ia nggak ingin memberi seharusnya ia menolak saja, bukan?
Ingin sekali aku bertanya kenapa, tapi aku sangat paham akan posisiku
saat ini. Jadi yang bisa kulakukan adalah memberi anak itu dua buah koin
lima ratusan dan anak itu langsung memasukkannya kembali ke kalengnya.
Akan tetapi, dugaanku bahwa anak itu pergi setelah kuberi uang lagi
adalah salah. Ia tetap bersikukuh untuk mendapatkan uang dari Dinda. Aku
dibuatnya semakin iba saat rok panjang Dinda ditariknya pelan. Lalu
kulihat ada setetes cairan bening mengalir melewati pipi kanan anak itu.
Ia menangis sesenggukan. Anehnya, gadis itu malah menyeringai lebar dan
tawa singkat bahkan terdengar segar oleh telingaku, membuat anak itu
menangis semakin keras.
Sudah cukup, aku sudah nggak tahan oleh pemandangan ironis di depan mataku ini.
“Dinda…”
Belum aku menyelesaikan kalimatku, Dinda menghela napas panjang dan
kemudian ia mengambil selembar uang dari kemejanya dan memberinya kepada
anak itu. Namun nggak kudengar anak itu mengucapkan terima kasih kepada
kami. Bukan, bukannya aku ingin dihujani kata terima kasih, hanya saja,
biasanya seorang pengemis akan berterima kasih setelah mereka menerima
uang. Bahkan di antara mereka ada yang berdo’a untuk sang pemberi.
Sedetik kemudian, anak itu langsung berlari kencang sambil tertawa keras dan berkata, “Dasar bodoh!”
Sontak, aku membelakak kaget. Jadi, ia hanya…
“Anak itu hebat, bisa membuat lelaki sepertimu luluh,” katanya. “Nah,
sepertinya yang menjemputku sudah datang,” lanjut Dinda seraya berdiri
dan menyambar tas punggungnya.
Aku melihat sebuah mobil zebra menurunkan kecepatan dan berhenti
tepat di depan halte. Pintu belakang mobil itu terbuka. Terlihat
sekumpulan gadis berpakaian compang-camping —seperti anak tadi— yang
duduk di dalamnya.
“Aku duluan ya, Andre.” Senyum tipis terlukis di wajah manisnya saat ia
masuk ke dalamnya. Dan mobil itu pun langsung tancap gas, meninggalkanku
yang masih tercengang.
Cerpen Karangan: Yasmine Nur Hasna
Blog: yasminenur-hasna.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar