Manihing Tersenyum
Oleh: Bekti Yustiarti
Ketika sang senja mulai beranjak ke peraduannya, semilir sang bayu mulai
membelai tubuhku. Dingin yang kurasakan, namun mataku tidak tetap
memandang indahnya sang surya yang hampir tenggelam di pantai berpasir
putih. Setelah menghilang, aku mulai beranjak dan pergi meninggalkan
pantai. Kurasakan butiran pasir yang lebut di telapak kakiku yang tanpa
alas. Kutinggalkan jejak langkah kaki di pasir nan lembut hingga hilang
tersapu ombak dan pasirpun rata kembali. Di rumah, kurebahkan badan di
ranjang bambu beralaskan tikar yang sudah cukup tua, bahkan sudah mulai
lapuk karena umur ranjang tersebut juga sudah sangat tua, melebihi
umurku. Kututup mata, tertidur, terlelap, kudengar bunyi ayam berkokok
yang membangunkanku dari mimpi yang indah.
Pagi-pagi buta aku bangun, pekerjaanku setiap pagi adalah pergi ke pasar
membantu ibuku menjual sayuran di pasar. Sayuran yang kami jual adalah
hasil dari kebun kami sendiri. Ayah yang menanam di ladang, apabila
dagangan ibu di pasar sudah laku,terlebih maka iapun segera bergegas
menyusul ayah ke ladang. Sedangkan aku melakukan pekerjaan rumah tangga
terlebih dahulu. Menyapu, mencuci, dan memasak. Apabila masakan sudah
matang, aku langsung mengantarnya ke ladang karena ayah dan ibu tidak
pernah makan siang di rumah. Sesekali aku membantu pekerjaan di ladang
apabila sedang panen atau ada pekerjaan yang harus cepat diselesaikan.
Begitulah kegiatanku sehari-hari. Aku hanyalah seorang gadis yang
tinggal di sebuah desa yang ada di Lampung. Kegiatanku sehari-hari hanya
menenun di rumah karena itu memang sudah pekerjaan turun temurun yang
sudah diwariskan oleh nenek moyang. Pendidikanku hanya sampai SMA karena
selain perguruan tinggi yang cukup jauh, orang tuapun tak sanggup untuk
membiayaiku ke perguruan tinggi. Apabila akan melanjutkan studi harus
pergi ke kota atau ke luar pulau. Teman-teman sebayaku juga bernasib
sama. Oleh karena itu, sampai sekarang aku masih tinggal di desa.
“Manihing...Manihing....Manihing.....” Kudengar suara ibu dari belakang rumah.
“Ada apa Mak, kenapa teriak-teriak?”
“Abakmu Manihing, Abakmu.”
“ Abak kenapa Mak?”
“Abakmu terluka, ambilkan obat merah!”
“Ini Mak.”
Ibu langsung berlari ke ladang, aku segera menyusulnya. Ternyata kaki
ayah terkena cangkul, sehingga terluka dan berdarah. Aku membantu
membersihkan luka ayah dan kuberi obat merah lalu kubalut dengan kain
bersih yang kubawa. Ibu membantu ayah berjalan pulang, sedangkan aku
membawa peralatan makan dan alat-alat yang digunakan di ladang. Ayah
beristirahat di kamar sampai tertidur pulas. Sementara ibu masih
melanjutkan menenun bersamaku. Mataku mulai terkantuk-kantuk, kulirik
jam dinding dan jarum pendek sudah menunjuk angka sebelas. Kulihat ibu,
dia masih terlihat belum ngantuk. Kuhampiri dan kubawakan secangkir the
panas, kental, manis. The kesukaan ibu, berbeda ayah, kalu ayah minum
the pahit tanpa gula.
“Kalau kau ngantuk, tidur saja Manihing! Sudah larut malam, nanti Amak menyusul.”
“Baiklah, Bu.”
Kulangkahkan kaki menuju kamar, berbaring dan terlelap, sampai suara
ayam berkokok membangunkanku. Seperti biasa, aku bangun mandi dan pergi
ke pasar. Sepulang dari pasar ibu pergi ke ladang aku memasak dan
mengerjakan pekerjaan rumah. Ayah masih sakit sehingga beliau tidak
pergi ke ladang. Hari ini aku diajak teman-teman di desaku untuk
berwisata ke Pantai Marina. Tapi aku tak berani bilang ke ayah, apalagi
beliau masih sakit pasti membutuhkuan sesuatu, dan hanya aku yang ada di
rumah. Pantai Marina adalah kawasan wisata pantai di Teluk Lampung di
wilayah Lampung selatan. Pantai ini memiliki pemandangan yang indah
dengan batu-batu karang yang bentuknya beraneka ragam. Sudah
kubanyangkan aku akan menghabiskan hariku di sana bermain dengan
teman-teman kampungku, berlarian di atas lebutnya butiran pasir putih.
Kulihat jam dinding sudah menunjuk angka 8, hari juga sudah mulai panas.
Aku gelisah, karena teman-temanku sebentar lagi pasti
menghampiriku.sepertinya ayah dari tadi memperhatikan kegelisahanku.
“Kenapa kau dari tadi mondar-mandir? Lirak-lirik jam?”
“Begina Bak, hari ini aku diajak teman-teman berwisata ke pantai.”
“Dengan anak-anak berndalan itu?”
“Mereka tidak berandalan Bak.”
“Mereka teman-teman Manihing, sebenarnya mereka baik Bak.”
“Sudahlah tinggal di rumah, kau tak tahu Abakmu sedang sakit, kau malah pergi.”
Sedih rasanya, bagaimana jika teman-teman nanti datang kesini, aku jawab
apa? Apa aku pergi saja dan tak perlu bilang Abak. Kusiapkan semua
keperluan Abak untuk sehari ini, lalu aku pergi diam-diam lewat pintu
belakang. Kusiapkan makanan di meja makan, sehingga apabila ayah lapar
tinggal mengambil saja. Kusiapkan juga air hangat di termos, apabila
beliau ingin mandi tak perlu merebus air dulu. Dan kusiapkan beberapa
obat serta perban di meja. Diam-diam aku pergi sebelum tema-teman datang
ke rumahku.
Kutunggu mereka di ujung jalan. Mengapa mereka belum keihatan ya? Tak
lama kemudian kudengar suara teman-temanku, mereka datang berlima.
“Manihing....!”
“Kaliman? Kamu ikut juga?”
“Pasti, karena mendengar kamu juga ikut, maka akupun semangat ikut.”
“Bisa aja kamu.”
Kami berenam pun berjalan menuju jalan raya, menunggu angkutan desa yang
lewat, cukup lama kami menunggu maklum di desa sehingga angkutan juga
jarang lewat sehingga kami harus sabar menunggu. Kami pun tak
menyia-nyiakan kesempatan untuk mengobrol sambil bercanda. Angkutan yang
kami tunggu pun lewat. Kurang lebih dua jam kami di angkot karena
jalannya lambat, tak jarang pula di setiap persimapangan ngetem sambil
menunggu penumpang. Dari jauh sudah terlihat hamparan air laut yang
hijau, tampak rata dan sepertinya tak ada batas antara langit dengan
laut. Indahnya, aku sudah tak sabar lagi untuk segera tiba di pantai.
Terakhir aku pergi ke pantai ketika aku masih sekolah SMA kelas 1,
berarti sudah empat tahun lalu.
“Pantai.....pantai.....”
“Serbu...”
Kamipun berlari menuju pantai. Semilir angin semakin menambah indahnya
pantai. Ombak yang berkejar-kejaran tiada henti seolah menggambarkan
kehidupan ini yang terus berjalan dan berlari. Betapa indahnya
ciptaan-Mu. Sambil bermain air serta pasir yang putih sesekali kami
berteriak dan berlari-larian saat ombak datang, dan menyapu rata istana
buatanku dari pasir putih. Ketika aku membangun ulang istana pasir itu,
tiba-tiba Kaliman datang menghampiriku.
“Bagus sekali istananya.Gambaran masa depan ya?”
“Eh...Kaliman, mengagetkan saja.
Kami berdua akhirnya duduk menatap laut hijau sambil berbincang. Setelah
sekian lama kami ngobrol kesana-kemari, aku mersakan kenyamanan
bercerita dengannya. Namun, mengapa hati ini mulai gelisah, perasaanku
mulai campur aduk, entah apa yang aku rasakan? Apakah aku mulai jatuh
cinta kepadanya? Nggak mungkin, ini hanya perasaannku saja karena aku
jarang bercerita dengan orang lain, selain orang tuaku. Apalagi seorang
cowok. Aku juga harus sadar dia anak ketua adat yang sekarang sedang
menjalankan studi di kota, sementara aku hanya tamatan SMA, pasti
Kaliman juga sudah punya pacar di kampus, teman-temannya pasti
cantik-cantik. Kaliman juga orang yang pandai dan taat beragama, anyak
gadis-gadis lain yang terpesona kepadanya.
Sorot matanya begitu tajam saat memadang mataku, jantungku semakin
berdetak saat dia berada di dekatku. Apakah dia menatap ke semua orang
dengan tatapan mata yang tajam? Atau hanya kepadaku saja? Ah... aku
teralu besar kepala. Jika dia menatapku. Sampai kami meyaksikan matahari
yang singgah ke peraduannya. Kami semua pulang untung masih ada
angkutan terkahir walaupun sampai di rumah kami sudah malam.
“Dari kau Manihing?” Tanya Amak.
“Tadi Manihing bermain ke pantai dengan teman-teman.”
“Mengapa kau sampai malam? Dan kau tak minta ijin Abakmu tadi. Lain kali
kau harus ijin kalau mau pergi. Sekarang kau mandi dan makan, sebelum
kau diceramahi Abakmu.
Hari sudah malam, aku terasa lelah seharian bermain di pantai. Aku tidak
membantu menenun. Sambil berbaring, terbayang wajah Kaliman waktu
bersama-sama tadi, senyumnya yang manis, matanya yang tajam membuatkau
terpesona padanya. Kutertelap sambil membayangkan wajah Kaliman. Tak
terasa pagi yang indah telah menyambutku.rutinitas pagi kulakukan
seperti biasa. Ayah sudah sembuh dan beliau sudah ppagi ke ladang sejak
pagi buta.
Sore ini aku latihan menari di rumah ketua adat, aku baru sadar di sana
pasti ada Kaliman, mudah-mudahan dia belum ke kota. Biasanya hari minggu
sore dia ke kota karena hari senin ada kuliah dan kembali lagi biasanya
hari jumat sore. Aku dan beberapa teman sudah datang ke rumah ketua
adat, disana kami berlatih sendiri sambil menunggu sang pelatih datang.
Sesekali aku melongok ke paintu, melihat apakah Kaliman masih ada atau
sudah pergi. Namun, tak kulihat batang hidungnya sekalipun. Sepertinya
kaliman memang sudah berangkat ke kota. Mengapa hati ini terasa kecewa
saat aku tak bisa melihatnya.
Kekecewaanku sedikit terobati, ketika sang pelatih tari memperkenalkan
tarian baru kepada kami. Betapa indahnya tarian itu. Taian baru yang
diperkenalkan kepada kami adalah tari sembah. Sebelumnya aku pernah
melihat tarian ini saat saudara sepupuku menikah. Tarian itu itu memang
sangat indah dan menghibur. Tari sembah biasanya diadakan oleh
masyarakat Lampung untuk menyambut dan memberikan penghormatan kepada
kepada para tamu atau undangan yang datang. Tarian ini sering dinamakan
sebagai tarian penyambutan.
Setelah pelatih selesai membawakan satu tarian sebagai contoh. Kami
semua mulai baris sesuai posisi dan mulai berlatih menari. Walaupun agak
susah, tapi sang pelatih tetap tekun mengajari kami satu persatu.
Selain untuk melestarikan budaya di daerah kami, tarian ini juga dapat
digunakan sewaktu-waktu apabila ada pernikahan atau saat menyambut para
tamu. Seperti pejabat-pejabat.
“Gimana latihan tarinya?” Tanya Abak
“Aku dilatih tari sembah, Bak. Tarian baru, tapi cukup sulit.”
“Asal kau mau berlatih pasti bisa Manihing, daripada kau keluyuran nggak
jelas lebih baik kau ikut berlatih tari seperti itu kan bermanfaat.”
“Iya Bak. Aku mandi dulu Bak.”
Setiap minggu sore kami berlatih tari. Sudah beberapa tarian yang dapat
kami tampilkan. Tari sembah pun sudah mahir kami pergakan dan pernah
kami pertunjukkan saat ada pernikahan di kampung kami. Sanggar kamipun
mulai dikenal di kampung-kampung lain, sehinggga kami sering diundang
untuk menari pada acara pernikahan atau penyambutan para pejabat.
Kegiatanku semakin bertambah, selain menenun dan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Sekarang aku sering diundang untuk mengisi acara dengan
teman lain yang sesanggar. Suatu hari kami diundang di kampus tempat
Kaliman kuliah. Ohh....betapa senangnya aku mendengar berita itu. Kami
diminta mengisi acara wisuda. Aku berharap di sana bertemu dengan
Kaliman. Ketika acara dimulai, muncullah seorang pembawa acara dari
pintu samping. Betapa terkejutnya aku ketika kulihat wajah pembawa acara
itu adalah Kaliman.
Kurasakan jantungku semakin berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
Apakah dia melihatku? Ya Tuhan...Dia tampak berwibawa sekali dengan
mengenakan jas, maklumlah karena ini acara resmi. Setelah mendengar
sambutan dari rektor, kami pun dipanggil oleh pembawa acara untuk
tampil. Perasaan ini semakin tak menentu, selain baru pertama kali
tampil dalam acara resmi seperti ini aku pun semakin salah tingkah
ketika Kaliman melihatku menari. Aku hanya bisa berdoa agar taria yang
kami bawakan berjalan lancar. Aku bersyukur doaku terkabul. Suara riuh
dan tepuk tangan dari penonton merupakan kebanggaan tersendiri bagiku.
Setelah acara selesai Kaliman mendekati dan menyalamiku.
“Selamat ya, tariannya bagus. Kamu juga cantik sekali hari ini.”
“Terima kasih, itu juga berkat ayah kamu yang berinisiatif mendirikan sanggar di kampung kita.”
“Kamu pulang bareng siapa?”
“Aku pulang dengan rombongan.”
“Sebenarnya aku ingin mengajak kamu pulang bareng. Apa kamu bawa ganti?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu biar aku bilang ke rombongan kalau kamu bareng aku.”
Segera aku berganti pakaian tari dengan kaos santai. Aku diboncengkan
Kaliman dengan menggunakan motor vespa. Sepanjang jalan aku hanya diam.
Aku tidak tau harus ngomong apa? Yang ada hanyalah perasaanku yang
campur aduk tak karuan. Ini kan bukan jalan menuju kampung kami, akan
membawaku kemanakah Kaliman? Aku hendak bertanya, tapi...akhirnya
kuberanikan diri untuk bertanya.
“Kita mau kemana?”
“Nanti kau lihat sendiri saja.”
Aku pun tak bertanya lagi, asyik juga ya melakukan perjalanan dengan
motor. Tak lama kemudian kami pun sampai di pantai yang dulu kami
kunjungi bersama. Setelah dia sandarkan motornya, kami duduk di bawah
pohon beraskan tiikar kecil yang selalu dia bawa di motor.
“Sudah lama aku ingin mengajakmu kesini. Tapi baru kali ini aku diberi
kesempatan untuk berdua denganmu. Kamu tau apa yang aku rasakan selama
ini? Sudah lama aku memendam perasaan ini untukmu, sejak kita masih
sama-sama duduk di bangku SMA. Tapi baru aku ungkapan sekarang, entah
kamu memiliki perasaan yang sama atau tidak. Aku hanya mengungkapkan apa
yang aku rasakan selma ini. Manihing maukah kauu jadi kekasihku?”
“Sebenarnya, sudah lama aku juga memendam perasaan yang sama. Namun, apa
daya aku tak banyak berharap. Karena aku takut sakit hati, takut kalau
kamu juga tak mau mencintaiku.”
“Jadi kamu menerimaku jadi pacarmu?”
Aku hanya mengangguk, Kaliman memelukku erat. Pasir putih, angin, dan
lautlah yang menjadi saksi cinta kita saat itu. Kami pulang bersama,
Kaliman mengantarkanku sampai rumah. Betapa indahnya hidup ini. Sungguh
aku sangat bahagia. Segala sesuatu yang aku impikan kini telah menjadi
kenyataan. Semua terasa indah, sungguh indah.
Kebahagiaan itu tiba-tiba sirna ketika orang tuaku mengetahui bahwa aku
berpacaran dengan Kaliman. Orang tuaku melarang kami berpacaran dengan
alasan adat yang harus dijunjung tinggi. Aku kecewa, sangat kecewa
ketika mendengar itu. Aku dan keluarga tinggal di Lampung Tengah, setiap
tempat memiliki adat yang berbeda begitu juga dengan tempat tinggalku.
Adat istiadat di Lampung Tengah adalah masyarakat adat pepadun. Upacara
adat Lampung Tengah umumnya ditandai dengan adanya bentuk perkawinan
“jujur” dengan menurut garis keturunan patrilineal yang ditandai dengan
adanya pemberian uang kepada pihak mempelai wanita untuk menyiapkan
“sesan” berupa alat-alat rumah tangga. Sesan tersebut akan diserahkan
kepada pihak laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang
sekaligus sebagai penyerahan mempelai wanita kepada keluarga laki-laki.
Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat
antara mempelai wanita dari keluarganya.
“Kenapa Abak melarangku berhubungan dengan Kaliman?”
“Karena kamu tak sederajat dengannya. Dia anak orang terpandang dan
berpendidikan tinggi, sementara kamu hanya anak seorang petani dan hanya
tamatan SMA.”
“Tapi, Bak. Cinta tidak mengenal derajat dan tingkat pendidikan?”
“Tapi abak tetap tidak merestui, mau ditaruh di mana muka Abak?
Bagaimana pendapat orang, pasti semua orang akan meremehkan kita.”
“Aku mohon Bak, aku sangat mencintai Kaliman.”
“Dengan apa kita akan menyiapkan sesan? Menjual ladang? Lalu orang tuamu
harus kerja di mana? Nganggur? Mengahrap belas kasihan dari besan?”
Aku menyadari bahwa keluargaku memang hanya pas-pasan secara materi.
Pendapatan sehari-hari memang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku juga masih ingat ketika aku masih sekolah. Abak sering meminjam uang
kepada tetangga untuk membayar SPP. Kemudian beliau baru membayar
ketika panen. Sering itu dilakukan tak hanya untuk membayar SPP untuk
kebutuhan yang lain juga. Aku sedih, tapi aku juga tak mau mengorbankan
perasaanku.
Aku menemui Kaliman di sanggar karena itu hari sabtu, aku tau Kaliman
pasti di rumah. Kudapati dia sedang membaca buku dan kumendekatinya.
Kuceritakan semua yang kualami selama semiggu ini. Kaliman hanya terdiam
mendengar ceritaku, aku menyerahkan semuanya ke Kaliman, apapun
resikonya. Tappi kaliman juga ingin mempertahankan hubungan kita.
“Setelah aku lulus sarjana, aku akan bekerja. Dan hasil pendapatanku
kita tabung, setelah terkumpul kita gunakan untuk menyiapkan sesan.
Bagaimana pendapatmu?”
“Mungkin itu semua memang mudah kita rencanakan, tapi kita nggak tahu, bagaimana nantinya? Apakah orang tuamu setuju?”
“Aku nggak tau, kamu juga tau orang tuaku juga orang yang keras terhadap pendirian.”
“Benarkan? Mungkin semua yang kita rencanakan kini hanya kenangan saja.”
“Aku pulang saja Kaliman.”
“Kenapa?”
“Aku ingin menenangkan pikiran.”
Terlalu sakit menerima kenyataan ini. Sepertimya aku tak sanggup lagi
setiap hari mendengar ceramahan abak dan amak. Aku ingin pergi. Sempat
terpikir di benakku, seandainya aku pergi merantau ke luar kota dan aku
melupakan Kaliman saja. Daripada aku menahan rindu terus menerus seperti
ini namun aku selalu dilarang oleh orang tua. Namun, pikiran itu
tiba-tiba kuurungkan ketika aku mengingat jasa kedua orang tuaku yang
telah membesarkanku hingga aku menjadi seperti ini.
Setahun kemudian, aku menjadi orang yang lebih berguna. Tak lagi
memikirkan masalah pribadiku saja. Aku sudah bisa menari dengan baik dan
dipercaya untuk melatih tari di daerahku. Beberapa lomba sudah kuikuti,
dan tak sedikit juga yang aku menangkan. Melalui budaya daerah inilah
kebudayaan Indonesia menjadi semakin kaya. Aku tersenyum bangga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar