Liburan kemana ya? Ke pantai? Puncak? Atau ke danau?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering dilancarkan seiring dengan menyambut
liburan tengah semester selama kurang lebih 2 minggu. Ada yang sudah
merencanakan dari bulan-bulan sebelumnya dan ada yang sudah berangkat liburan.
Ada yang bertanya padaku, “Pak Aziz, kamu mau liburan kemana? Wisata apa yang
akan kamu kunjungi?” maka akan ku jawab dengan, “aku akan pergi wisata adat”.
Itulah diriku, yang tidak terlalu tertarik dengan wisata pada biasanya apalagi
harus menempuh perjalan berjam-jam.
Wisata
adat yang kumaksud adalah mengikuti seluruh rangkaian acara atau upacara adat
yang dilakukan warga dusun gulung desa pong leko. Dusun gulung lokasi
pengabdianku sebagai guru SM-3T yang terletak di Desa Pong Leko, Kecamatan
Ruteng, Kabupaten Manggarai. Pak Ais atau Pak Is adalah panggilanku sehari-hari
di dusun ini. “Pak Is, tanggal 30 Desember ada acara adat Tenghang di rumah
Gendang, Itte bisa ikut?” tanya bundaku. “bisa bunda!” dengan semangat aku
menjawab. Kemudian aku bertanya, “Acara adat apa itu bunda?”. “Kasih makan
leluhur, Pak Is, yang penting Pak Is datang?” Jawab bunda. “Oke, Siap”. Ku
Jawab dengan semangat.
Tanggal
30 Desember pukul 17.00 WITA, aku sudah sampai dusun gulung. Kedatanganku
disambut oleh keluarga besar bunda. Mereka meminta saya memakai pakaian adat
yang sudah disiapkan. Songke dan Pesappu langsung aku pakai. Kemudian aku
diajak ke pemakaman dusun gulung, kami membersihkan makam, memasang lilin,
ucapan terimakasih kepada leluhur dan ditutup dengan do’a. Sekitar pukul 18.30
WITA kegiatan di makam selesai dan saya melakukan ibadah sholat maghrib.
Keluarga bunda menunggu sembari menyiapkan acara adat selanjutnya.
Seusai
ibadah, acara dilanjutkan dengan upacara adat di rumah gendang. Rumah gendang
adalah rumah adat khas manggarai. Di rumah gendang ini saya disambut tiga
keturunan termasuk didalamnya adalah keluarga besar bunda sebagai keturunan
anak sulung atau atta ronna. Aku diminta duduk diantara tetua adat dan atta
ronna. Terlihat anak-anak kelasku dan remaja aktif mngikuti kegiatan ini,
senangnya dalam hati seorang guru bisa menemani muridnya. Tak lama, upacara
adat tenghang segera dimulai dengan menggunakan bahasa manggarai oleh tetua
adat. Atribut adat seperti shobi, uang, daun sirih dan pandan mulai masuk ke
acara adat. Puncak acara tenghang adalah penyembelihan ayam putih sebagai
bentuk persembahan kepada leluhur. Acara adat ini ditutup dengan makan bersama.
Acara
adat Tenghang di rumah gendang berakhir sekitar pukul 23.00 WITA. “Pak Is, mau jalan-jalan?”
tanya salah satu tetua adat. Saya jawab, “jika masih ada acara, saya siap
ikut”. Kemudian saya diajak berjalan menuju salah satu rumah yang sedang
mengadakan tenghang. Akhirnya saya mengikuti acara adat ini lagi dari awal.
Pengalaman yang luar biasa untuk wisata adat.
Wisata
adat terus berlanjut, tanggal 31 Desember aku masih mengikuti acara tenghang di
dusun gulung dan pada malam tahun baru aku menghabiskan waktu menemani kakek
yang ada di desa anam. Tepat pukul 00.00 aku dibangunkan dan diajak berkeliling
tetangga untuk mengucapkan “Selamat Tahun baru”. Tanggal 01 Januari 2016, malam
hari saya masih mengikuti acara tenghang yang dilakukan di rumah teman guru.
Tanggal 02 Januari, saya mengikuti upacara adat We’e Mbaru. Berbeda dengan tenghang,
we’e mbaru adalah upacara adat sebagai bentuk rasa syukur karena akan
meninggali rumah baru.
Akhir
tahun 2015, awal tahun 2016 aku mendapat pengalaman luar biasa melalui wisata
adat. Banyak pengetahuan baru yang kudapat. Selain mendekatkan diri dengan
warga, kehangatan dan kekerabatan yang kuat bisa kurasakan.
0 komentar:
Posting Komentar