Translate

cerpen wisata adat

Written By iqbal_editing on Kamis, 16 Februari 2017 | 03.30

Liburan kemana ya? Ke pantai? Puncak? Atau ke danau? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering dilancarkan seiring dengan menyambut liburan tengah semester selama kurang lebih 2 minggu. Ada yang sudah merencanakan dari bulan-bulan sebelumnya dan ada yang sudah berangkat liburan. Ada yang bertanya padaku, “Pak Aziz, kamu mau liburan kemana? Wisata apa yang akan kamu kunjungi?” maka akan ku jawab dengan, “aku akan pergi wisata adat”. Itulah diriku, yang tidak terlalu tertarik dengan wisata pada biasanya apalagi harus menempuh perjalan berjam-jam.
            Wisata adat yang kumaksud adalah mengikuti seluruh rangkaian acara atau upacara adat yang dilakukan warga dusun gulung desa pong leko. Dusun gulung lokasi pengabdianku sebagai guru SM-3T yang terletak di Desa Pong Leko, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Pak Ais atau Pak Is adalah panggilanku sehari-hari di dusun ini. “Pak Is, tanggal 30 Desember ada acara adat Tenghang di rumah Gendang, Itte bisa ikut?” tanya bundaku. “bisa bunda!” dengan semangat aku menjawab. Kemudian aku bertanya, “Acara adat apa itu bunda?”. “Kasih makan leluhur, Pak Is, yang penting Pak Is datang?” Jawab bunda. “Oke, Siap”. Ku Jawab dengan semangat.
            Tanggal 30 Desember pukul 17.00 WITA, aku sudah sampai dusun gulung. Kedatanganku disambut oleh keluarga besar bunda. Mereka meminta saya memakai pakaian adat yang sudah disiapkan. Songke dan Pesappu langsung aku pakai. Kemudian aku diajak ke pemakaman dusun gulung, kami membersihkan makam, memasang lilin, ucapan terimakasih kepada leluhur dan ditutup dengan do’a. Sekitar pukul 18.30 WITA kegiatan di makam selesai dan saya melakukan ibadah sholat maghrib. Keluarga bunda menunggu sembari menyiapkan acara adat selanjutnya.
            Seusai ibadah, acara dilanjutkan dengan upacara adat di rumah gendang. Rumah gendang adalah rumah adat khas manggarai. Di rumah gendang ini saya disambut tiga keturunan termasuk didalamnya adalah keluarga besar bunda sebagai keturunan anak sulung atau atta ronna. Aku diminta duduk diantara tetua adat dan atta ronna. Terlihat anak-anak kelasku dan remaja aktif mngikuti kegiatan ini, senangnya dalam hati seorang guru bisa menemani muridnya. Tak lama, upacara adat tenghang segera dimulai dengan menggunakan bahasa manggarai oleh tetua adat. Atribut adat seperti shobi, uang, daun sirih dan pandan mulai masuk ke acara adat. Puncak acara tenghang adalah penyembelihan ayam putih sebagai bentuk persembahan kepada leluhur. Acara adat ini ditutup dengan makan bersama.
            Acara adat Tenghang di rumah gendang berakhir sekitar pukul 23.00 WITA. “Pak Is, mau jalan-jalan?” tanya salah satu tetua adat. Saya jawab, “jika masih ada acara, saya siap ikut”. Kemudian saya diajak berjalan menuju salah satu rumah yang sedang mengadakan tenghang. Akhirnya saya mengikuti acara adat ini lagi dari awal. Pengalaman yang luar biasa untuk wisata adat.
            Wisata adat terus berlanjut, tanggal 31 Desember aku masih mengikuti acara tenghang di dusun gulung dan pada malam tahun baru aku menghabiskan waktu menemani kakek yang ada di desa anam. Tepat pukul 00.00 aku dibangunkan dan diajak berkeliling tetangga untuk mengucapkan “Selamat Tahun baru”. Tanggal 01 Januari 2016, malam hari saya masih mengikuti acara tenghang yang dilakukan di rumah teman guru. Tanggal 02 Januari, saya mengikuti upacara adat We’e Mbaru. Berbeda dengan tenghang, we’e mbaru adalah upacara adat sebagai bentuk rasa syukur karena akan meninggali rumah baru.
            Akhir tahun 2015, awal tahun 2016 aku mendapat pengalaman luar biasa melalui wisata adat. Banyak pengetahuan baru yang kudapat. Selain mendekatkan diri dengan warga, kehangatan dan kekerabatan yang kuat bisa kurasakan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik