Translate

cerpen Mangalap Boru Tulang

Written By iqbal_editing on Kamis, 16 Februari 2017 | 03.28

Mangalap Boru Tulang


Mangalap Boru Tulang
                                                      Cerpen : Chairani

Hari ini, 30 tahun yang lalu masih seperti kemarin kurasakan. Angin masih berhembus lembut mempermainkan rambutku. Suara mesin perahu belum bisu dan hilir mudik menimba rahasia laut. Petikan gitarmu yang membawakan lagu Koes Plus masih terasa merdu di teligaku. Betapa hangat tatapanmu ketika gitar kau petik dan bibirmu melantunkan lagu rayuan untukku. Rambutmu yang sebahu dan hidungmu yang mancung bertahun-tahun masih terbayang di mataku.

Kulempar tatapanku ke seberang lautan, tampak lekat Pantai Pasir Putih tempat kita memadu kasih. Beberapa bungkus kacang asin dan makanan ringan kita bawa ke Pantai dan kera berwarna hitam-putih menari-nari mendekati. Lenganmu yang lincah memetik gitar melempar makanan pada penghuni tetap Pasir Putih. Saat itu tawa kita berhamburan jika kera putih berebut makanan. Bila senja tiba kita tinggalkan tanah kenangan. Perahu kau kayuh untuk kita berdua dan tubuh kita terombang ambing di tengah lautan. Debur ombak yang memercik ke wajahku dengan lembut kau hapus dengan sapu tangan biru. Merah saga di ufuk barat berbias ke laut luas menorehkan api cinta  di hatiku. Di Pasir Putih itu pula dengan tidak berperasaan kuikrarkan salam perpisahan untukmu. Ketika itu langit bergemuruh, badai seakan menerjang hatiku-hatimu.

“Ja…jangan ucapkan kata perpisahan untukku. Sebentuk cincin dan sejumlah uang telah kupersiapkan untuk melamarmu. Jangan putuskan tali kasih yang kita bangun selama lima tahun. Bila perlu malam ini aku melamarmu,” harapmu dengan suara dan tubuh bergetar sambil menggenggam tanganku senja itu, di sebuah perahu di tengah lautan yang membentang luas.

                                                            ****
Mataku mulai basah, bergulir melewati pipiku yang mulai berkerut. “Ah…, Yunan, di mana kau kini? Betapa manis cinta yang kita lewati , tidak seperti cinta buah hati kita yang tampak picisan. Cinta kita padu bagai Rishi Kapoor dan Dimple Kapadia dalam film Bobby. Begitu romantis, Yunan,” desahku di hati.
                                                            ****
Hari ini, 30 tahun yang lalu, di Pelabuhan Gudang Garam inilah aku menunggumu jika kapal Sumatera II kembali memasuki Belawan.Bila kapalmu mendekati lampu I tampak olehku seperti titik yang memberi harapan. Hatiku bermekaran sebab titik itu akan tampak jelas dan membesar. Beberapa menit kemudian jarimu yang lincah melambai-lambai padaku. Kita berdua saling melempar senyum kerinduan setelah sebulan berpisah. Senyum kita di pelabuhan ini telah 30 tahun alpa. Kurun waktu selama itu masih kusimpan kenangan indah. Kenangan yang kandas sebab adat istiadat. Seorang lelaki yang ingin mangalap boru Tulang membuat perahu cinta kita karam tak berbekas.
                                                                        ****
Ketika itu pagi masih gerimis. Tiga orang tamu berdiri melempar senyum manis. Seorang perempuan tua begitu lembut wajahnya. Di sebelahnya berdiri lelaki yang tak kalah tampannya darimu, Yunan. Ada pula lelaki kecil menatapku dengan mata berbinar. Ayah menyambut kedatangan ketiga tamu begitu haru, hingga air mata berhamburan pada pertemuan itu.

“Jalang be Taing Namborumu san Jambi. Jalang sude,” pinta ayah di sela isak tangisnya.
Kutarik sedikit garis bibirku ke samping. Kuulurkan lenganku sambil berucap”Namboru”.

Tiga hari di rumah kulihat Namboru dan kedua putranya diperlakukan ayah cukup istimewa. Ibu menjamu tamu dengan masakan khas gulai ikan limbat, sambal tuktuk dan daun ubi tumbuk. Ayahku yang jarang bicara dan rada pendiam tampak sangat riang. Berdua mereka berkisah tentang masa lalu. Waktu usia 20 tahun ayah pernah diiusir oppung Godang dari Baringin dan lari ke Jambi. Orang tua Namboruku yang mengasuk ayah. Dari pembicaraan yang kudengar ternyata mereka tak bertemu lebih dari 25 tahun.

Hari ke empat Namboruku menyatakan maksud kedatangannya ingin melamarku. Sebenarnya Namboruku ke Belawan melewati Sipirok dan nginap beberapa hari di rumah oppung. Seorang gadis bernama Nora yang pertama kali dilamar. Namun lamaran ditolak sebab mereka keturunan namora. Karena Nora menolak maka pilihan kedua jatuh padaku.

Ayah menerima lamaran dengan senang hati. Sementara hatiku bagai dilumat-lumat mendengarnya. Aku dipanggil ke ruang tamu dan duduk merunduk bagai menunggu vonis hakim. Mulailah ayahku angkat bicara,“Taing, ro manborumu dao-dao san Jambi got mangalap boru Tulang. Bia de amang, giot do ho?”
Kuangkat kepala menatap wajah ayah yang seumur hidupku tak pernah melihatnya sebahagia malam ini. Sembilanbelas tahun aku hidup tak lebih melihat ayah seorang pemurung yang berhati lembut. Lalu sambungnya,“ Dao-dao Namborumu ro tu Bewalan, na tartolakku pangidoan na. Bia de amang, ra do ho?”

Kutatap kembali wajah ayah dan menyelam dihatinya. Kulihat ada harapan yang amat sangat. Ayah yang begitu menyayangi anak-anaknya malam ini bermohon kata “ya” dariku, dan tak menungguku memikirkan beberapa waktu. Haruskah aku mengatakan “tidak” dan menggelengkan kepala? Ayah tak pernah mengecewakan harapanku, apakah aku harus menghancurkan impiannya? Seorang Yunan yang mengaliri cintanya di nadiku tak terpikirkan detik itu. Yang kupikirkan bagaimana menjadi anak yang patuh. Kupenuhi harapan orang tua yang menikahkanku dengan maksud menyambung tali persaudaraan yang lebih 25 tahun telah terputus. Tubuhku bergetar, nafasku turun naik. Kutatap ruang sidang, kulempar senyum terpaksa lalu kuanggukkan kepala dan berucap “ olo amang.”

Sejenak ruangan hingar karena puas mendengar jawabanku. Jam berdetak keras, cicak yang merayap di dinding rumah menjerit-jerit di telingaku. Tanpa diminta aku berlari ke kamar menumpahkan air mata. Aku memenuhi harapan ayah dan melumat habis harapanku dan Yunan, kekasihku. Kusibak tirai jendela, kutatap kediamanmu yang hanya berjarak lima rumah dari rumahku. Rumahmu terang dan megah tapi tampak suram di mataku. Jika kau tahu apa yang terjadi malam ini mungkin kau mengutukku seribu satu malam.

                                                                        ****
Dua buah leontin rupiah ukuran masing-masing 75 gr kuterima sebagai mas kawin. Mahar yang cukup pantastis tahun delapanpuluhan. Keluarga dan handai tolan begitu gembira saat pesta perkawinan. Suara gondang yang mengiringi gadis belia manortor kurasakan bagai palu yang menghantam jiwaku. Setiap kali memasuki kamar kutatap rumahmu dari balik tirai dan berharap kau tersenyum melepasku. Hingga aku diboyong ke Jambi, tak terlihat wajahmu yang tampan. Kapal yang membawamu berlayar tak mengembalikanmu ke Belawan.
                                   
Tiga puluh tahun lamanya tak pernah kuinjakkan kaki di kota kelahiranku sebab kenangan manis takut mengaramkan perahuku yang sedang berlabuh. Aku tak ingin mengecewakan almarhum ayah dan Mustapa paribanku. Pelan-pelan Mustapa berhasil merebut hatiku dan memberi tiga putra yang gagah. Namboru dan Mustapa memperlakukanku bagai ratu, tak pernah memecahkan porselen yang retak di hatiku.

                                                            ****
“Senja telah tiba, mari kita pulang,” ajak Mustapa yang tiga jam lebih membelakangiku sambil menarik mata pancing dan mengumpulkan ikan ketang. Aku tersentak dari kenangan masa lalu. Kuikuti lelaki tampan yang amat mengerti hatiku.“Ya…, Mustapa, kau berhasil mangalap boru Tulang,” desahku.

Keterangan:
Jalang be Taing Namborumu san Jambi. Jalang sude : Salam Ibumu yang datang dari Jambi, Taing. Salam semua.
Mangalap Boru Tulang  : Melamar Putri Paman
Ro Nanborumu dao-dao san Jambi got mangalap boru Tulang. Bia de Amang, giot do ho? : Datang Ibumu jauh-jauh dari Jambi ingin melamarmu. Bagaimana anakku maukah kau?
Dao-dao Namborumu ro tu Bewalan, na tartolakku pangidoan na. Bia do Amang, ra do ho :
Jauh-jauh Ibumu  datang ke Belawan tak tertolak permintaannya. Bagaimana anakku, maukah kau?
Olo Amang : Ya, Ayah.
Namora : Keturunan raja
Manortor : Menari

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik