Mangalap Boru Tulang
Mangalap Boru Tulang
Cerpen : Chairani
Hari
ini, 30 tahun yang lalu masih seperti kemarin kurasakan. Angin masih
berhembus lembut mempermainkan rambutku. Suara mesin perahu belum bisu
dan hilir mudik menimba rahasia laut. Petikan gitarmu yang membawakan
lagu Koes Plus masih terasa merdu di teligaku. Betapa hangat tatapanmu
ketika gitar kau petik dan bibirmu melantunkan lagu rayuan untukku.
Rambutmu yang sebahu dan hidungmu yang mancung bertahun-tahun masih
terbayang di mataku.
Kulempar
tatapanku ke seberang lautan, tampak lekat Pantai Pasir Putih tempat
kita memadu kasih. Beberapa bungkus kacang asin dan makanan ringan kita
bawa ke Pantai dan kera berwarna hitam-putih menari-nari mendekati.
Lenganmu yang lincah memetik gitar melempar makanan pada penghuni tetap
Pasir Putih. Saat itu tawa kita berhamburan jika kera putih berebut
makanan. Bila senja tiba kita tinggalkan tanah kenangan. Perahu kau
kayuh untuk kita berdua dan tubuh kita terombang ambing di tengah
lautan. Debur ombak yang memercik ke wajahku dengan lembut kau hapus
dengan sapu tangan biru. Merah saga di ufuk barat berbias ke laut luas
menorehkan api cinta di hatiku. Di Pasir Putih itu pula dengan tidak
berperasaan kuikrarkan salam perpisahan untukmu. Ketika itu langit
bergemuruh, badai seakan menerjang hatiku-hatimu.
“Ja…jangan
ucapkan kata perpisahan untukku. Sebentuk cincin dan sejumlah uang
telah kupersiapkan untuk melamarmu. Jangan putuskan tali kasih yang kita
bangun selama lima tahun. Bila perlu malam ini aku melamarmu,” harapmu
dengan suara dan tubuh bergetar sambil menggenggam tanganku senja itu,
di sebuah perahu di tengah lautan yang membentang luas.
****
Mataku
mulai basah, bergulir melewati pipiku yang mulai berkerut. “Ah…, Yunan,
di mana kau kini? Betapa manis cinta yang kita lewati , tidak seperti
cinta buah hati kita yang tampak picisan. Cinta kita padu bagai Rishi
Kapoor dan Dimple Kapadia dalam film Bobby. Begitu romantis, Yunan,”
desahku di hati.
****
Hari
ini, 30 tahun yang lalu, di Pelabuhan Gudang Garam inilah aku
menunggumu jika kapal Sumatera II kembali memasuki Belawan.Bila kapalmu
mendekati lampu I tampak olehku seperti titik yang memberi harapan.
Hatiku bermekaran sebab titik itu akan tampak jelas dan membesar.
Beberapa menit kemudian jarimu yang lincah melambai-lambai padaku. Kita
berdua saling melempar senyum kerinduan setelah sebulan berpisah. Senyum
kita di pelabuhan ini telah 30 tahun alpa. Kurun waktu selama itu masih
kusimpan kenangan indah. Kenangan yang kandas sebab adat istiadat.
Seorang lelaki yang ingin mangalap boru Tulang membuat perahu cinta kita
karam tak berbekas.
****
Ketika
itu pagi masih gerimis. Tiga orang tamu berdiri melempar senyum manis.
Seorang perempuan tua begitu lembut wajahnya. Di sebelahnya berdiri
lelaki yang tak kalah tampannya darimu, Yunan. Ada pula lelaki kecil
menatapku dengan mata berbinar. Ayah menyambut kedatangan ketiga tamu
begitu haru, hingga air mata berhamburan pada pertemuan itu.
“Jalang be Taing Namborumu san Jambi. Jalang sude,” pinta ayah di sela isak tangisnya.
Kutarik sedikit garis bibirku ke samping. Kuulurkan lenganku sambil berucap”Namboru”.
Tiga
hari di rumah kulihat Namboru dan kedua putranya diperlakukan ayah
cukup istimewa. Ibu menjamu tamu dengan masakan khas gulai ikan limbat,
sambal tuktuk dan daun ubi tumbuk. Ayahku yang jarang bicara dan rada
pendiam tampak sangat riang. Berdua mereka berkisah tentang masa lalu.
Waktu usia 20 tahun ayah pernah diiusir oppung Godang dari Baringin dan
lari ke Jambi. Orang tua Namboruku yang mengasuk ayah. Dari pembicaraan
yang kudengar ternyata mereka tak bertemu lebih dari 25 tahun.
Hari
ke empat Namboruku menyatakan maksud kedatangannya ingin melamarku.
Sebenarnya Namboruku ke Belawan melewati Sipirok dan nginap beberapa
hari di rumah oppung. Seorang gadis bernama Nora yang pertama kali
dilamar. Namun lamaran ditolak sebab mereka keturunan namora. Karena
Nora menolak maka pilihan kedua jatuh padaku.
Ayah
menerima lamaran dengan senang hati. Sementara hatiku bagai
dilumat-lumat mendengarnya. Aku dipanggil ke ruang tamu dan duduk
merunduk bagai menunggu vonis hakim. Mulailah ayahku angkat
bicara,“Taing, ro manborumu dao-dao san Jambi got mangalap boru Tulang.
Bia de amang, giot do ho?”
Kuangkat
kepala menatap wajah ayah yang seumur hidupku tak pernah melihatnya
sebahagia malam ini. Sembilanbelas tahun aku hidup tak lebih melihat
ayah seorang pemurung yang berhati lembut. Lalu sambungnya,“ Dao-dao
Namborumu ro tu Bewalan, na tartolakku pangidoan na. Bia de amang, ra do
ho?”
Kutatap
kembali wajah ayah dan menyelam dihatinya. Kulihat ada harapan yang
amat sangat. Ayah yang begitu menyayangi anak-anaknya malam ini bermohon
kata “ya” dariku, dan tak menungguku memikirkan beberapa waktu.
Haruskah aku mengatakan “tidak” dan menggelengkan kepala? Ayah tak
pernah mengecewakan harapanku, apakah aku harus menghancurkan impiannya?
Seorang Yunan yang mengaliri cintanya di nadiku tak terpikirkan detik
itu. Yang kupikirkan bagaimana menjadi anak yang patuh. Kupenuhi harapan
orang tua yang menikahkanku dengan maksud menyambung tali persaudaraan
yang lebih 25 tahun telah terputus. Tubuhku bergetar, nafasku turun
naik. Kutatap ruang sidang, kulempar senyum terpaksa lalu kuanggukkan
kepala dan berucap “ olo amang.”
Sejenak
ruangan hingar karena puas mendengar jawabanku. Jam berdetak keras,
cicak yang merayap di dinding rumah menjerit-jerit di telingaku. Tanpa
diminta aku berlari ke kamar menumpahkan air mata. Aku memenuhi harapan
ayah dan melumat habis harapanku dan Yunan, kekasihku. Kusibak tirai
jendela, kutatap kediamanmu yang hanya berjarak lima rumah dari rumahku.
Rumahmu terang dan megah tapi tampak suram di mataku. Jika kau tahu apa
yang terjadi malam ini mungkin kau mengutukku seribu satu malam.
****
Dua
buah leontin rupiah ukuran masing-masing 75 gr kuterima sebagai mas
kawin. Mahar yang cukup pantastis tahun delapanpuluhan. Keluarga dan
handai tolan begitu gembira saat pesta perkawinan. Suara gondang yang
mengiringi gadis belia manortor kurasakan bagai palu yang menghantam
jiwaku. Setiap kali memasuki kamar kutatap rumahmu dari balik tirai dan
berharap kau tersenyum melepasku. Hingga aku diboyong ke Jambi, tak
terlihat wajahmu yang tampan. Kapal yang membawamu berlayar tak
mengembalikanmu ke Belawan.
Tiga
puluh tahun lamanya tak pernah kuinjakkan kaki di kota kelahiranku
sebab kenangan manis takut mengaramkan perahuku yang sedang berlabuh.
Aku tak ingin mengecewakan almarhum ayah dan Mustapa paribanku.
Pelan-pelan Mustapa berhasil merebut hatiku dan memberi tiga putra yang
gagah. Namboru dan Mustapa memperlakukanku bagai ratu, tak pernah
memecahkan porselen yang retak di hatiku.
****
“Senja
telah tiba, mari kita pulang,” ajak Mustapa yang tiga jam lebih
membelakangiku sambil menarik mata pancing dan mengumpulkan ikan ketang.
Aku tersentak dari kenangan masa lalu. Kuikuti lelaki tampan yang amat
mengerti hatiku.“Ya…, Mustapa, kau berhasil mangalap boru Tulang,”
desahku.
Keterangan:
Jalang be Taing Namborumu san Jambi. Jalang sude : Salam Ibumu yang datang dari Jambi, Taing. Salam semua.
Mangalap Boru Tulang : Melamar Putri Paman
Ro
Nanborumu dao-dao san Jambi got mangalap boru Tulang. Bia de Amang,
giot do ho? : Datang Ibumu jauh-jauh dari Jambi ingin melamarmu.
Bagaimana anakku maukah kau?
Dao-dao Namborumu ro tu Bewalan, na tartolakku pangidoan na. Bia do Amang, ra do ho :
Jauh-jauh Ibumu datang ke Belawan tak tertolak permintaannya. Bagaimana anakku, maukah kau?
Olo Amang : Ya, Ayah.
Namora : Keturunan raja
Manortor : Menari
0 komentar:
Posting Komentar