Hatoban
Cerpen Chairani
Satu jam perjalanan menuju Huta Ginjang kurasakan begitu panjang. Kutatap ke belakang tampak olehku bayang-bayang horja dan masih terngiang suara gondang. Sementara Tiolo, boru semata wayangku, baru 3 hari merasakan bagai ratu hari ini masih bersimbah air mata di sampingku.
Kutatap kerabat lainnya sesekali menyeka air mata. Tak ada geming dalam bus sibual-buali selain suara mesin dan isak tangis kepedihan. Dan isakan makin terdengar ketika Huta Ginjang mulai tampak. Beberapa tamu sudah menunggu di depan pintu dengan wajah murung penuh haru.
Tiba di depan rumah, handai tolan serasa tak sabar dan menyerbu kami, masing-masing menenangkan dengan ucapan “sobar ma hamu sudena, da.”
Boruku berlari menerobos keramaian menghindari
tatapan tetangga yang mengintip dari balik jendela. Bisik-bisik
tetangga semakin menambah pedih di hatinya. Melihat kondisi seperti itu
aku luluh dan merasa bersalah. Aku menangis dan tak dapat berbuat apa-apa mendengar boruku meraung meyesali keadaan.
Kubuka
sedikit pintu kamar, mengintip boru kesayanganku.Tubuhnya tak berdaya
di ranjang pengantin, lengannya menghantam kasur, kakinya
dihentak-hentakkan. Sesekali terdengar rintih dari bibirnya,“Amang, ila nai rohakku, haccit nai na hutaotkon ...”.
Tengah malam boruku memohon penjelasan dariku,“Umak, jelaskan padaku mengapa aku dipisahkan dari suamiku?Apa salahku, Umak? Mereka mencampakkanku tanpa kutahu alasannya!”
“Sobarma ho, Inang,” ucapku menumpahkan isak dan memeluk tubuhnya. Aku tak sanggup dilucuti pertanyaan yang menusuk jantungku.
****
Hampir 3 bulan boruku tak keluar kamar. Wajahnya murung, tubuhnya layu menanggung beban.
Suatu hari boruku mulai duduk di teras belakang. Dipandangnya
saba begu-begu. Warna hijau yang mendaki ke bukit ditatapnya lekat.
Birunya Bukit Barisan yang berangkulan tak lepas dari amatannya. Sekejap kemudian ditatapnya langit. Boruku seakan bertanya pada matahari tentang pedih yang mencekamnya.
Kupastikan
boruku mulai menerima nasibnya, ini saat yang tepat menjelaskan
segalanya. Kuhampiri boruku sambil membawa pucuk labu jipang yang baru
kupetik dari halaman. Aku duduk tepat di sampingnya.“Boruku, Umak
berharap kau baik-baik saja dan segera melupakan kepedihan yang
menimpamu.Terimalah kenyataan hidup, apa yang kau alami terlebih dahulu
Umak yang merasakan,”demikian kuawali kata dengan kegetiran.
Tiba-tiba
mata boruku yang menatap langit berpindah memandangku, kurasakan
sorotannya tembus ke dada,” Apa yang Umak ucapkan? Umak terlebih dahulu
merasakan kepahitan ini?”
“Benar,
Boruku. Bedanya kau didepak jangka waktu 3 hari, di depan ratusan mata
yang melepasmu, dengan cibiran atau haru bagi pengunjung yang
berperasaan, sementara Umak dicampakkan setelah 3 bulan, ketika kau 2
bulan dalam kandungan.”
Boruku terperanjat,“Apa sebenarnya yang terjadi Umak, hingga peristiwa ini terulang setelah 23 tahun.”
“Seratus tahun yang lalu, huta kita berbentuk kerajaan. Oppung Umak menjadi pelayan di kerajaan yang disebut hatoban. Hatoban dicap sebagai keluarga hina dina. Ketika oppungmu keluar dari kerajaan dan hidup sebagai rakyat biasa hidupnya tak pernah lepas dari hinaan. Begitu seterusnya hingga Umak dewasa. Kita dikucilkan dan diperlakukan tak adil. Sampai saat pembagian sawah, oppung dan hatoban lainnya hanya mendapat saba begu-begu. Begitu pula saat upacara adat keturunan hatoban tak berhak menghadirinya. Rumah tak boleh menggunakan tangga kayu tapi harus tangga buluh. Keturunan oppungmu hingga anak cucu Umak nantinya tetap dicap sebagai hatoban dan tak layak menikah dengan keluarga kerajaan. Justru itu Umak titipkan kau di Sidempuan agar kau tak melihat bentuk ketidakadilan di huta kita ini.
“Umak, di mana kerajaan itu, siapa penguasanya?!” tanya boruku meluap-luap.
“Kerajaan itu telah punah, yang
tinggal hanya keturunannya. Dulu, ketika menikah ayahmu tahu kalau Umak
hatoban, karena cintanya begitu besar ayah menyembunyikan pada orang
tuanya. Selang 3 bulan seorang turunan raja membuka rahasia pada oppungmu tentang keturunan Umak. Saat itu juga ayah dipaksa pulang dan meninggalkan Umak. Setelah 23 tahun Umak berharap hatoban tidak dipersoalkan, apalagi mereka memiliki anak dan menantu sarjana yang luas cara berpikirnya. Lihatlah Inang Tobangmu, tak pernah menikah lagi setelah diusir dari keluarga suaminya.
Aku
dan boruku serentak mengalihkan pandangan pada inang tobang boruku yang
menyiangi rumput di saba begu-begu. Inang tobang boruku dua minggu
menjadi istri 40 tahun menjanda. Dengan tekun inang tobang mengurusi
saba begu-begu yang gersang dan berhantu hingga menjadi sawah yang subur. Tak pernah sesal terucap dari bibirnya.
Mata
boruku berbinar-binar dan menyimpan sebuah rencana,“Aku harus melawan
dan memusnahkan cara yang keliru ini, aku harus berontak, Umak!”
“Jangan
bertindak gegabah, boruku. Pergilah ke kota, bekerja dan pikirkan masa
depanmu. Larut dalam kepedihan akan merusak hidupmu.”
“Tidak,
Umak. Aku harus menentang adat yang merugikan keturunan hatoban. Jika
hanya alasan hatoban, tidak adil jika pernikahanku dibatalkan. Aku harus
menjelaskan pada Jakilun dan minta keadilan darinya.”
Boruku beranjak dari kursi dan bergegas menuju huta Jakilun. Aku terperanjat dan tak dapat mencegah kepergiannya. Boruku kembali bersemangat dan ingin Jakilun bertangung jawab dengan perkawinannya. Menjelaskan segalanya ternyata membuat hati boruku terbakar.
****
Sesampainya
dipinggir Huta Poken Salasa, aku melihat dari kejauhan boruku memasuki
halaman rumah Jakilun. Jakilun keluar dan terkejut,”Apa maksudmu datang
kemari, Tiolo?”
“Aku ingin mengatakan bahwa kau seorang pengecut. Hanya karena aku seorang keturunan hatoban kau tega mencappakkan aku.”
“Tiolo kau harus bersabar, aku akan datang padamu jika tepat waktunya. Mulak ma ho, Tiolo.”
“Tidak,
Jakilun. Mari kita tinggalkan kampung ini. Aku tak ingin masa depanku
tersia-siakan hanya kerena aku hatoban. Aku berharap kau berlaku adil
padaku.”
Beberapa menit berselang, orang tua Jakilun kembali dari sawah. Cangkul masih di tangan, tubuh berlumur lumpur. Mereka
terkejut melihat kehadiran boruku. Tak terhitung sumpah serapah yang
dilontarkan pada boruku. Tak tahan melihat putriku diperlakukan seperti
itu aku menghampirinya,”Tiolo..., mari kita pulang. Umak tak tahan
melihat kau diperlakukan seperti ini.”
“Tidak, Umak. Jakilun harus bertanggung jawab terhadap perkawinanku.”
“Pergilah, tinggalkan tempat ini. Jakilun, usir turunan hatoban ini. Mereka tak boleh mengotori rumah kita,”teriak ayah Jakilun.
“Ayah, maafkan aku. Aku tak ingin meninggalkan Toilo. Tiolo istriku.”
“Kau harus mendengar perintah Ayah. Tinggalkan perempuan ini!”
“Ayah, biarkan Tiolo menjadi keluarga kita. Tiolo perempuan baik, Ayah.”
“Sebaik apa pun tapi dia tetaplah hatoban!”
Bagiku
menghadapi persoalan seperti ini hal yang biasa saja. Setelah
perkawinan terjadi usir mengusir atau upat caci dan sejenis dengan itu
sering terjadi. Tapi saat peristiwa ini menimpa boruku kurasakan pedih
yang tak tertahankan.
Kupaksa
boruku keluar dari halaman rumah itu, sebelum caci maki lebih meremas
jiwaku. Jakilun ikut menarik tangan boruku untuk naik ke sibual-buali
yang supirnya dan tetangga lain sejak awal tekun mengikuti adegan itu.
“Tinggalkan kami, Jakilun. Pulanglah, menjauhlah dari hatoban,”pintaku tak ingin permusuhan kian menggebu.
“Tidak, Nantulang, aku harus hidup dengan Tiolo.”
Sibual-buali
melaju dan terus dikejar keluarga Jakilun sambil melontarkan sumpah
serapah. Parang diacung-acungkan. Aku yakin keluarga Jakilun tak tinggal
diam, apa pun akan dilakukan untuk membawa anaknya pulang.
Setiba
di rumah Tiolo mengemas pakaian dan pergi malam itu juga. Dengan sebuah
hadangan dan sedikit makanan boruku dan Jakilun menuruni tangga buluh
mencari persembunyian yang aman.
****
Dua puluh tahun telah berlalu, aku bagai terpenjara. Tiap gerak-gerikku dalam pengawasan keluarga Jakilun. Selama itu pula boruku belum kembali untuk menghapus derasnya air mataku.
Senja
di teras belakang mengantarkan rindu pada boruku. Biarlah kusiram
kerinduan ini bersama embun di pagi hari. Kerinduanku kian membunuh
tatkala mendengar tiupan seruling inang tobang boruku dari saba
begu-begu.
Keterangan :
sobar ma hamu sudena, da : Sabarlah, kamu semua
Amang, ila nai rohakku, haccit nai na hutaotkon : Ayah, malunya aku, sakitnya yang kutahankan
Sobarma ho, Inang : Sabarlah, engkau anakku
Mulak ma ho, Tiolo : Pulanglah engkau, Tiolo
Hadangan : Tas pandan
Inang tobang : uak
Boruku : anak perempua
0 komentar:
Posting Komentar