Alkisah, di suatu tempat yang nun jauh di sana. Jangan ditanya nama
tempatnya, karena ini terjadi di negara antah berantah. Ada seseorang
yang memiliki teman. Temannya ini adalah koki terbaik yang ada di tempat
itu.
Setiap hari, si teman meminta supaya dapur menghidangkan makanan yang
enak, lezat dan bergizi. Sang koki pun mati-matian berupaya untuk
menghasilkan makanan yang enak, lezat, dan bergizi tersebut. Setiap
waktunya, ia curahkan untuk menghasilkan makanan tersebut. Ia
membersihkan bahan-bahan untuk membuat makanan dengan
sebersih-bersihnya, memotongnya dengan sedemikian rupa, membentuk dengan
sepenuh hati, memasak dengan sukacita, dan menatanya dengan rasa
bangga.
Masakan demi masakan pun selesai dimasak oleh sang koki tersebut.
Masakan tersebut pun dihantarkan kepada teman yang hanya menunggu di
ruang tamu. Sang teman pun segera mencicipi masakan sang koki. Kesan
pertama, “lezat”. Kesan kedua, “memang bergizi”. Kesan ketiga, “ini
proses memasak yang pas dan tepat”. Pesan terakhir, “tolong buat lagi!”
Sang koki tersenyum bangga, karena tampaknya sang teman sangat puas
dengan hasil kerjanya. Dipandanginya setiap masakan yang telah
dimasaknya, dibayangkannya bagaimana proses pembuatan yang sangat rumit.
Tidak semua bahan mudah dibersihkan. Sebagian harus direbus cukup lama
supaya bisa lunak. Sebagian sangat mudah hancur dan sulit untuk
dibentuk. Terkadang terlalu hambar, malah ada yang asin sekali. Namun
semua kerja keras sang koki tersebut akhirnya terbayar dengan pujian
dari sang teman. Sekarang, pekerjaan koki pun bertambah, sang koki harus
membuat lagi masakan-masakan lezat, enak, dan bergizi itu. Lebih dan
lebih lagi!
Dengan penuh semangat, sang koki terus berupaya untuk membuat berbagai
macam masakan. Sementara itu, sang teman setiap hari mengundang banyak
tamu untuk mencicipi masakan sang koki. Pada awalnya, sang koki masih
bisa mempertahankan kualitas rasa dan gizi dari masakannya. Ia masih
bisa mengimbangi jumlah permintaan sang teman dan tamu-tamunya.
Hingga akhirnya, masalah pun muncul. Suatu hari, bahan masakan di dapur
habis. Stok sayur dan daging di dalam kulkas sudah tidak bersisa lagi.
Jangankan itu, garam, gula, atau bahan penyedap lainnya pun tak ada
secuil pun.
Sang koki pun dengan tergopoh-gopoh mendatangi si teman yang tengah
berbincang dengan tamu-tamunya. Sang koki melaporkan persediaan dapur
yang sudah habis. Ketika si teman mendengar, ia berkata, “Tenang,
sahabat. Belilah dulu dan masaklah. Kami bisa, kok, menunggu…” Si koki
merasa tenang. Ia pergi ke pasar dan mencari berbagai bahan masakan.
Setelah selesai berbelanja, ia bergegas pulang. Ia segera memasak dengan
penuh semangat. Hingga akhirnya, berbagai masakan telah matang dan siap
untuk dihidangkan. Si koki tersenyum puas, seraya membayangkan wajah
puas dari teman dan tamu-tamunya.
Si koki kemudian masuk ke ruang tamu seraya membawa masakan-masakannya.
Namun apa yang terjadi, ia terkejut dengan keadaan di ruang tamu. Ada
banyak masakan telah terhidang. Ya, telah terhidang, di sana, di sini,
dimana-mana. Sebagian tamu tengah melahap makanan tersebut, demikian
juga si teman. Si koki kemudian bergegas mendatangi temannya dan
bertanya dari mana si teman mendapatkan semua masakan ini. Si teman
hanya menjawab, “Aku dapatkan dari koki lain. Mereka tampaknya berani
memberi lebih dari apa yang kamu beri selama ini. Mengapa tidak aku
terima saja tawaran ini?”
Sang koki terdiam, tubuhnya menjadi lemas. Hanya gara-gara persediaan dapur habis dan lambat terbeli, ia dikhianati!
***Ini kisah nyata atau fiksi semata, Anda tersungging atau
tersinggung, Entahlah, karena saya adalah “penulis” yang terkadang suka
mencampuradukkan nyata dan fiksi supaya anda tersinggung dan
tersungging!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar