Siang itu suhu udara
panas, pengap. Di langit di atas hamparan laut terlihat awan putih menjulang
tinggi, kemudian berubah menjadi awan gelap yang disertai hembusan udara
dingin. Angin mulai berhembus, menggoyangkan pepohonan ke sana kemari. Hembusan
angin semakin menjadi-jadi dan di ikuti hujan lebat. Terlihat di awan hitam,
pusaran angin berbentuk seperti kerucut turun menuju tanah. Para warga pesisir
sudah mengenali kejadian itu. Mereka menyebutnya dengan angin puting beliung.
Warga menungging ke
arah datangnya angin puting beliung. Menurut mereka, cara itu mampu
menghentikan angin puting beliung. Sedangkan Maisarah, salah satu warga kampung
itu tetap berada di dalam rumahnya, masih terbenam dalam sujudnya. Samsul
suaminya, menegadahkan tangannya meminta petunjuk pada sang pencipta alam di
masjid yang berjarak tidak jauh rumahnya.
Angin puting beliung
terus berjalan. Sesampainya di hamparan pasir, terlihat pasir dan sampah-sampah
berterbangan. Tindakan warga tidak mampu menghentikannya. Tak berapa lama angin
sampai di daratan sejajar dengan rumah Samsul. Warga terlihat panik. Karena hantaman
angin itu dapat menyebabkan rumah hancur dan pohon tumbang. Seketika pohon
mangga arumanis yang berada di halaman rumah Samsul tumbang dihantamnya. Warga
terkejut dan memanggil-manggil Maisarah untuk keluar rumah, karena pusarannya
dapat menghancurkan area seluas 5 km.
Yang dipanggil-panggil tidak keluar. Beberapa warga pergi ke masjid memberi
tahu kabar duka itu kepada Samsul. Samsul mengakhiri do’anya saat didengarnya
seseorang memanggil namanya. Ia berjalan tergesah-gesah saat mendengar berita
yang mengejutkan itu. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan. Dari jauh nampak
pohon mangga arumanis depan rumahnya telah tumbang. Pikirannya penuh dengan
rasa penyesalan. Ia menyesal, mungkin saja musibah itu akibat dari do’anya.
*****
Rumah tua yang berada
disekitar rumah-rumah mewah itu terlihat Ramai. Rumah tanpa teras,
berdindingkan tembok yang belum di plester. Atap sengnya sudah mulai bocor.
Membuat sinar matahari masuk di cela-cela atap yang berlubang. Di dalamnya
hanya terdapat dua kamar tidur. Di ruang tamu, hanya ada kursi dari rotan dan
sebuah almari kecil tempat baju semua anggota keluarga, yang dicat menggunakan
aspal sisa perbaikan jalan yang diberikan karena Samsul, sipemilik rumah,
membantu pekerja jalan dengan sukarela.
Berbagai bunga tumbuh di
depan rumahnya yang tanpa pagar. Bunga-bunga itulah yang memberikan keindahan
pada rumahnya. Tidak jauh dari halaman rumah, terdapat pohon mangga arumanis.
Apabila berbuah menyebarkan aroma harum dan rasa manis disekitar halaman. Di
bawah pohon mangga yang tingginya sekitar sembilan meter dan berdaun lebat itu,
dibuat bangku panjang tempat anak-anak bermain. Meski rumah itu tak seindah
rumah yang lain, tapi ia disukai banyak anak-anak.
Siang itu pemandangan
yang berbeda dari biasanya. Biasanya di bawah pohon mangga hanya ada anak-anak
yang bermain masak-masakan, terkadang main gambar, atau main kelereng sesuai
musimnya. Tapi siang itu, di atas bangku panjang, juga terlihat ibu-ibu yang
duduk sambil mengobrol.
Di bawah pohon mangga
depan rumah Samsul memang tempat yang nyaman untuk bersantai. Angin berhembus
menggoyangkan daun-daun mangga yang juga memberikan suasana sejuk di bawahnya.
meski pada sore sinar matahari masih terik, tapi di bawah pohon mangga tetap
teduh, karena sinar matahari dihalangi oleh daunnya yang lebat. Itulah yang
membuat ibu-ibu sekitar menyukai tempat itu. Yang lama kelamaan menguasai area bermain
anak-anak.
“Kenapa di sana tidak
ada anak-anak ya Mas?” Maisarah istri Samsul bertanya pada suaminya yang juga
berdiri di sampingnya sambil menatap ke pohon mangga. Ia menggeleng karena juga
tidak mengerti dengan suasana itu sambil berkata tidak masalah, selagi mereka
hanya duduk dan beristirahat di sana. Mungkin anak-anak telah menemukan tempat
yang lain untuk bermain.
Sudah beberapa hari, tempat
itu dihuni oleh ibu-ibu sekitar. Maisarah merasa tidak enak bila tidak pernah
berkunjung dan menyapa mereka yang duduk di halaman rumahnya. Sore itu setelah
selesai memasak, mandi dan shalat azhar, ia memakai jilbabnya dan berjalan
menuju pohon mangga. Sebenarnya ia lebih menyukai berdiam diri di dalam rumah
ketimbang mengobrol di luar. Karena menurutnya, lama-lama mengobrol akan
membicarakan hal yang tidak seharusnya dibicarakan. Bisa jadi menambah dosa dan
bisa jadi menimbulkan banyak masalah. Tapi sore itu ia memutuskan untuk menyapa
mereka. Itu pun karena saran dari suaminya. Maisarah adalah istri yang
sholehah, patuh kepada suaminya. Setiap apa yang akan dilakukan, ia selalu
meminta izin suaminya.
“Eh Sarah, kami numpang
duduk ya di sini. Di sini adem. Sangat asyik untuk bersantai.” Dira yang lebih
tua dari Maisarah berhenti seketika, saat sedang berbicara, kemudian menyapa
Maisarah cepat karena melihat sipemilik rumah menghampiri mereka. Entah apa
yang mereka bicarakan. Maisarah tersenyum sambil berkata bahwa ia senang kalau
mereka menyukai tempat duduk di halaman rumahnya. Tidak ada hal yang menarik
yang bisa dibicarakan. Biasanya jam segini ia mengaji sambil menunggu suaminya
pulang bekerja.
Ternyata benar, apabila
ibu-ibu telah berkumpul, semua topik pembicaraan akan keluar. Mulai dari Joko
yang bertengkar hebat dengan istrinya, Toni yang tertangkap mencuri ayam tadi
malam, sampai pada Siti yang kabarnya hamil sebelum menikah.
“Pantas tadi malam ayam
jantan berkokok. Ternyata ada yang melakukan perbuatan zina.” Mawar menimpali
ucapan Neneng dengan bibir mencibir. Dira mengangguk-angguk membenarkan ucapan
Neneng. Sedangkan Maisarah, ia terus menatap ke bawah, entah apa yang coba
dipikirkannya.
“Kamu dengar tadi
malamkan Sarah? Tadi malam itu bunyinya seperti dari belakang rumahmu.”
Maisarah terkejut mendengar pertanyaan Neneng yang saat itu ditujukan padanya.
Ia menjawab gelagapan disertai anggukan. Karena memang benar ia mendengar ayam
jantan berkokok tadi malam. Ayam jantan miliknya. Tapi ia tidak bermaksud
mengiyakan bahwa ayam jantan berkokok tadi malam bertanda ada yang melakukan
perbuatan zina.
Malam itu selepas
shalat magrib dan mengaji, Maisarah duduk di kursi rotan dekat jendela kaca
rumahnya. Menatap ke luar. Malam bermandikan kesunyian. Pandangannya tak
lepas-lepas menatap rumpun mangga arumanis.
Samsul yang melihatnya jadi heran, kemudian menghampirinya.
“Tidak biasanya kamu
seperti ini. Apa ada yang salah?” Samsul mendekatkan kepalanya pada Maisarah
sambil berbisik lembut, penuh rasa kekhawatiran. Tangannya mengelus lembut
kepala Maisarah yang berkerudungkan mukena. Suara lelaki yang telah mendapinginya
selama 20 tahun dan menghadiahkannya dua orang putri itu selalu menenangkannya saat
mendengarkannya. Tidak kalah juga belaian lembut tangannya. Meski tangannya
kasar karena mencangkul ke sawah dan bekeja di ladang, tapi bagi Maisarah, itu
terasa sangat lembut, menyentuh sampai ke hulu hatinya.
“Aku takut Mas.”
Maisarah memegang tangan suaminya yang mengelus kepalanya saat itu. Ia mengalihkan
pandangannya dari pohon mangga arumanis ke suaminya yang berada di belakangnya.
Samsul semakin heran dengan tingkah istrinya. Dalam hati ia bertanya-tanya apa
yang ditakutkan istrinya. Biasanya ia sering bilang, hanya tiga yang di
takutkannya: Tuhan sang pencipta alam, suaminya, dan orangtuanya. Apa ia yang
membuat istrinya takut.
“Aku takut, pohon
mangga itu akan menjadi sarang dosa Mas. Aku takut Allah marah Mas.” Maisarah
melanjutkan ucapannya, karena melihat Samsul kebingungan. Ia juga menceritakan
bahwa kemarin Aisyah putri bungsunya juga menangis mengadu padanya.
Teman-temannya mengolok-oloknya. Mengatakan kalau ayahnya mungkin saja mencuri.
Semua itu didengarnya dari ibu-ibu saat mengobrol di bawah pohon mangga.
Bagaimana mungkin mereka bisa menguliahkan anaknya dengan pekerjaan sebagai
petani. Maisarah tidak bisa lagi membendung airmatanya. Ia menangis dekat
laki-laki yang selama ini menjadi tempat bersandarnya.
*****
Samsul beristiharat di
pondok dekat ladangnya usai shalat Zuhur. Bekal yang di bawahnya belum juga
disentuhnya sedikit pun. Biasanya siap shalat ia buru-buru makan. Tapi siang
itu ia merebahkan tubuhnya di lantai papan pondoknya. Ia berbaring dengan kedua
tangannya menyangga bawah kepalanya. Dan matanya yang cekung menerawang jauh
menembus langit siang itu. Setelah lama berbaring ia memutuskan pulang cepat
hari itu. Tidak lupa ia menghabiskan bekal yang telah disiapkan istrinya, meski
perutnya tidak memiliki keinginan untuk diisi, tapi ia takut melukai hati
istrinya yang telah susah payah menyiapkannya bekal.
Di bawah pohon mangga
dilihatnya ibu-ibu sudah mulai mengobrol, sesekali mereka berbisik-bisik,
kemudian hening saat melihat Samsul berjalan melewati mereka. Mereka tersenyum,
kemudian dibalas dengan senyum dan sedikit anggukan dari Samsul. Ia menghela
nafas dalam. Entah apa yang sedang bersemayam di pikirannya. Diketuknya pintu
sambil mengucapkan salam. Terdengar jawaban salam dari dalam. Suara yang tidak
asing lagi di telinganya. Dilihatnya istrinya buru-buru keluar dengan tubuh
dibaluti mukena. Sepertinya istrinya sedang mengaji.
“Kenapa cepat sekali
pulangnya Mas? Apa Mas sakit?” Maisarah buru-buru mengambil kotak bekal dan
botol air minum yang dipegang Samsul sambil langsung bertanya saat melihat
Samsul pulang tidak seperti jadwal biasanya. Samsul menjawabnya dengan senyum
simpul di wajahnya menandakan ia baik-baik saja.ia bergegas berganti pakaian.
“Apa Mas mau saya
bikinin kopi manis?” Suara Maisarah terdengar dari dapur. Samsul menjawab
dengan cepat bahwa ia belum ingin minum, takut Maisarah langsung membuatkannya
kopi. Ia duduk di kursi rotan. Menatap keluar. Maisarah mendekatinya. Sambil
berkata kalau ia tidak ingin ke sana siang itu.
“Apa kamu ingin Mas
menebang pohon mangga itu? Mas punya parang dan gergaji yang tajam.” Maisarah
terdiam mendengar ucapan suaminya. Pantas tadi dia lihat suaminya membawa
parang dan gergaji dari ladang. Biasanya itu ditinggal saja di ladang. Ia
bingung, pohon mangga itu adalah buah-buahan satu-satunya yang ada di rumahnya.
Selain bisa untuk anaknya-anaknya, kemudian dibagi sedikit ke tetangganya, ia
juga bisa menjual buahnya. Karena apabila berbuah, buahnya sangat banyak
sekali. Hari itu ia tidak bisa memberikan keputusan pada suaminya. Sebenarnya
Samsul juga berat hati memutuskan untuk menebang pohon itu, selain alasan yang
dimiliki Maisarah, ia juga merasa tidak enak sama ibu-ibu yang biasa duduk di
bawah pohon mangga itu.
Hari berikunya Samsul
memutuskan untuk tidak pergi ke ladang. Ia berencana akan menebang pohon mangga
arumanis di depan rumahnya. Semalam ia sudah merundingkan dengan istrinya dan
meminta izin pada anak-anaknya yang sangat menyukai mangga itu. Ia berjanji
akan menanam kembali di ladang mereka. Anak-anaknya pun telah setuju. Tapi
dalam hati Samsul masih terbesit keraguan. Ia takut ibu-ibu itu akan marah dan
membenci keluarga mereka. sebelum menebangnya ia shalat zuhur berjamaah di
masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Istrinya sedang shalat di rumah bersama
putrinya. Habis shalat ia tidak langsung pulang. Meminta petunjuk kepada Allah,
apa yang sebaiknya ia lakukan. Di rumah istrinya pun memohon petunjuk pada
Allah, terbenam dalam sujudnya.
*****
Sesampainya di halaman
rumah, ia terhenti melihat pohon mangga yang tumbang. Warga telah memenuhi
halaman rumahnya. Dalam hatinya tumbuh setetes sinar harapan, saat melihat
rumahnya masih berdiri utuh. Kemudian ia berlari ke dalam memastikan keadaan
istrinya. Didapatinya istri dan anaknya sedang bangkit dari sujud dan
mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya di ruang yang khusus dibuat
untuk tempat shalat, tanda mengakhiri do’a. Ia merangkul istri dan anaknya yang
saat itu terlihat kebingungan. Warga menatapnya dengan tatapan setengah tak
percaya dengan kejadian siang itu.
Padang, Juli
2016
0 komentar:
Posting Komentar