Translate

cerpen puting beliung

Written By iqbal_editing on Rabu, 10 Mei 2017 | 17.30

Dia melihat awan yang mulai kelabu, kadang dia memperhatikan jalan yang dia tapaki, tapi sesekali juga dia menengadah lagi. Dia penasaran kenapa hari ini mendung begitu lama, tapi tidak juga turun hujan, dia pulang dan menyalahkan televisi tetapi tidak ada berita apapun tentang cuaca. Dia menarik selimut sambil berdoa semoga hari ini tidak ada angin puting beliung. Dalam beberapa hari ini, khususnya bulan Desember ini, hujan dan angin tidak henti mengunjungi Jakarta. Dia memandang ragu ke jendela, gerimis mulai turun, rintiknya terlihat tipis-tipis menghujam pepohonan. Dia terlihat ragu saat melihat pohon yang bergoyang-goyang karena angin mulai datang. Dengan agak takut dia berjalan ke dekat jendela, dia buka jendela, sekarang dia berada di lantai dua rumahnya. Dia bisa melihat beberapa orang menyebrang jalan dengan terburu-buru, dia terpaku pada seorang kakek membawa payung yang menyebrang, lalu payung dia lepas dari genggaman. Terbawa angin yang amat kencang, saat itu dia bergegas menutup jendela dan turun, “Ibu aku akan keluar sebentar” katanya sambil menghampiri ibunya. Dia membuka pintu lalu terlupa dan melangkah mundur, dia mengambil payungnya, dia bergegas sambil membuka payung. Sekitar sepuluh meter dari situ, si kakek masih menyebrang dan menutupi kepalanya dengan tangan. Dia berlari dan sempat hampir tertabrak motor karena tidak menengok ke arah kiri terlebih dahulu. Si pengendara motor menekan klakson panjang sekali karena terlalu marah. Dia melambai pada pengendara motor sambil lalu, maksudnya minta maaf, tapi entah pengendara itu mengerti atau tidak. Dia memayungi kakek, kakek menengok dengan agak kaget “Terima kasih nak”
“Ya kek, sama-sama. Rumah kakek dimana?”
“Tiga blok dari sini”
Melihat kakek yang membawa tas belanja, dia jadi kesal dengan anak atau cucu-cucu kakek ini. Yang tega membiarkan seorang kakek berjalan sendirian untuk belanja, dikala cuaca terlihat sangat mengganggu. Apalagi sang kakek harus berjalan tiga blok, untuk pergi ke toko sayuran yang memang jarang di sini.
“Siapa nama kamu nak?”
“Aku Thorin kek”
“Namamu bagus”
“Terima kasih, itu diambil dari Novel kek, ayahku suka membaca novel” thorin menjelaskan
Hujan yang semakin deras membuat mereka harus berjalan pelan-pelan, angin begitu kencang tapi thorin memegang kencang gagang payung. Biarpun dia dan kakek mungkin akan basah kuyup, tetapi thorin ingin mengantar kakek dengan selamat. Dia melepas mantel yang tadi sempat dia pakai sebelum turun dari kamar. Dia memakaikannya pada kakek, “Terima kasih nak” ucap kakek. Hampir tidak terdengar saat kakek mengatakan hal itu, hujaman air hujan yang berbentur pada jalanan membuat suara yang sangat berisik. Tidak ada mobil ataupun kendaraan lain yang lewat-lewatan, mereka semua sudah berada dalam rumahnya masing-masing, mungkin. Rumah-rumah yang terlihat semua pintunya kini sudah tertutup, mungkin beberapa dari mereka sedang menghangatkan diri dalam rumah, di depan perapian, atau sedang meneguk cokelat panas. Thorin terus mengkhayalkan yang tidak-tidak.
Sudah lewat satu blok ketika angin sangat kencang menerpa mereka berdua, karena thorin yang terlalu serius dengan khayalannya tadi, payung itu lepas dari genggamannya. Dengan cepat thorin mengejar payung itu, tapi sepintas dia melihat sebuah pos ronda tidak jauh darinya, di berbalik dan mengajak kakek untuk berteduh di bawah pos ronda itu. Pos ronda itu cukup kokoh karena semua bahan yang jadi pondasi serta tiang-tiangnya berbahan semen dan batu bata. Untuk sesaat thorin mencari letak payungnya yang hilang atau lebih tepatnya pergi entah kemana. “Sial” gumamnya, tidak ada seseorang yang lewat atau pun keluar dari rumah sebentar saja, atau paling tidak melihat mereka berdua dari jendela.
“Kakek tidak kedinginan kan?”
“Santai saja, kakek tidak apa-apa”
Thorin menggesek-gesekan tangannya agar terasa hangat, tapi sepertinya tidak berhasil karena tangannya terlalu lembap. Dia memeluk tubuhnya sendiri, menggosok-gosok tangan pada lengannya.
“Kek… Kenapa kau yang harus belanja, apakah kau tidak punya cucu atau anak yang bisa belanja” kata thorin dengan agak sinis
“Kakek punya, satu anak dan satu cucu”
“Lantas, kenapa tidak mereka saja yang belanja?”
“Aku punya satu anak, perempuan dia sudah menikah dan memberikanku seorang cucu perempuan. Beberapa tahun lalu, anak dan menantuku meninggal dalam kecelakaan”
“Kenapa tidak cucumu saja yang belanja?”
“Dia sedang sakit”
“Aku sudah tahu kenapa kakek harus belanja sendiri. Aku minta maaf karena telah menganggap mereka sangat durhaka sebelumnya, dan aku turut berduka. Siapa nama cucumu kek?” thorin tersenyum berusaha mentralisir keadaan.
“Syrena”
“Namanya bagus kek”
“Ya, itu nama pemberian ku. Mungkin sekarang dia telah terbangun dari tidurnya dan mengkhawatirkanku, kalau kau tidak keberatan bisakah kita berjalan lagi sekarang?”
Thorin memperhatikan hujan dari langit yang tidak henti-henti, angin juga masih berhembus jalang tetapi tidak sekencang tadi. Entah kenapa perasaan mengharuskan thorin menengok belakang, dia menengok. Ada pohon ceri besar berdiri tepat belakang pos ronda, pohon itu mulai goyang-goyang. Thorin dengan sigap menarik tangan kakek, “ayo cepat”, mereka berdua turun dan tepat setelah itu atap pos ronda tertimpa pohon ceri hingga hancur. Thorin mencari payungnya, melihat ke sana dan ke sini, angin kembali menjadi kencang. Payung itu sekitar lima belas meter dari pos ronda tadi, tapi bersembunyi balik pohon, sehingga tadi tidak kelihatan dari pos ronda. Dengan terburu-buru thorin menapaki trotoar, saat mata dia menangkap sesuatu dia melangkah mundur dengan cepat. Tiang listrik yang kokoh tepat seberang jalan rubuh, untungnya tidak menimpa rumah siapapun karena dia runtuh menghadap trotoar. Thorin mengusap-usap dadanya, lalu dia berjalan lagi, dia melompati tiang, dia melangkah perlahan lalu dia ambil payungnya. Kabel yang tertarik karena satu tiang jatuh, membuat kabel putus seketika.
Thorin memperhatikan bagian kabel yang putus, ada sekitar sepuluh, kabel-kabel itu bersentuh dengan genangan air. Thorin melangkah dengan hati-hati, mungkin listrik mati akan membuat beberapa orang keluar, dan bisa menolong mereka, thorin harap. Dia menyambangi kakek dan memayunginya, dia memandangi jalanan yang sepertinya sudah mulai tergenang air. “Banjir” gumamnya, thorin masih memperhatikan jalan, apakah ada celah untuk mereka melangkah. Sudah jelas kalau ada kabel putus dan itu berhubungan dengan air yang ternyata menggenangi jalan.
“Aku pernah lihat ini” gumam kakek
“Apa itu kek”
“Discovery channel, saat mereka menangkap ikan dengan menyetrum airnya, dan itu sangat efektif”
“Tapi kita bukan ikan kek”
“Ya, sebaiknya kita cari jalan lain”
Mereka berjalan di trotoar, karena banjir belum menggenang sampai setinggi trotoar, mereka terus mencari jalan keluar. Cat biru, tidak ada pagar, rumah itu pintunya lalu terbuka, seorang ibu-ibu keluar, mereka melihat thorin dan kakek, lalu dia seolah bingung. Thorin melambai padanya, sebenarnya itu bukan lambaian, melainkan larangan untuk menjauh dari jalan, tapi ibu-ibu itu tahunya thorin melambai. Dia melangkah maju dengan membawa payung, dan thorin bergegas mencegahnya dia belari ke tepi trotoar. “Banjir, listrik” thorin menunjuk tiang listrik yang jatuh “anda akan kesetrum” teriaknya, dia hampir dua kali berkata seperti itu. Tapi karena suara hujan lebih keras dari itu, ibu-ibu itu tidak mendengar apa-apa. “Kakek pegang payungnya” thorin berjalan mencari sesuatu, dia seperti elang pemangsa saat ini, “dapat” dia mencengkram seekor kodok besar. Dia berlari dan melemparkan ke jalan tepat depan si ibu, seketika kodok itu tergeletak, dan mengambang. Si ibu mengerti, dia berkata terima kasih, thorin bisa membaca bibirnya, jadi dia mengangguk.
Mereka berjalan cukup jauh, dan dari kelihatannya kakek sudah sangat kedinginan.
“Berapa umurmu sekarang?”
“Aku enam belas”
“Sama seperti cucuku”
“Jadi dia masih muda juga?”
“Ya. Sebenarnya dia itu cantik dan baik, dan kakek rasa dia sudah agak sembuh”
“Oh ya”
“Ya”
“Syukurlah”
Blok G rumah kakek berada ada di jalan lurus depan mereka, hanya saja mereka harus menyebrangi jalan besar yang tergenang banjir.
“Apa semua air banjir ini masih menghantarkan listrik?”
“Kakek rasa tidak” seolah berfikir “Yang kakek ingat kalau hantaran listrik itu sendiri ada jaraknya, dan semakin jauh, listrik yang menyebar semakin kecil dayanya”
“Kalau begitu, kita menyebrang?”
“Ayo, kakek semakin takut kalau Syrena sudah bangun”
Dengan langkah hati-hati thorin mencelupkan kakinya, “seperti ada semut yang menggigiti jari-jarimu” kata thorin
“Berarti dayanya kecil” kakek ikut melangkah dan mereka berdua berjalan menembus banjir. Dengan langkah pelan thorin mengimbangi kakek, thorin terus berpegang kencang pada payungnya, tubuhnya bergetar tanpa dia rasakan terlalu serius. Giginya bergemelutuk dengan sendirinya,
“Kau kedinginan?” tanya kakek
“Ya, sedikit”
Kakek tertawa kecil, “Kau anak kuat”
“Benarkah?” thorin mengerutkan dahi, seolah tidak percaya
“Kau punya jiwa penolong”
“Benarkah?”
“Tentu saja, kau telah menolongku sampai sejauh ini”
“Terima kasih”
“Kenapa kau yang berterima kasih, seharusnya aku”
“Terima kasih atas pujiannya”
Kakek tertawa cukup keras
“Kenapa tertawa?”
“Kau sangat aneh”, lalu mereka berdua tertawa. Sekarang mereka berdua yang terlihat sangat aneh.
Mereka sampai dengan berbagai perjuangan, lalu kakek membuka pagar, “sebaiknya kau masuk” ajak kakek.
“Tidak, Terima kasih” dia berjalan mundur “aku takut ibu khawatir”
“Terima kasih” teriak kakek.
“Sama-sama kek”

Dia membuka pintu, “Dari mana saja kau? Kenapa basah kuyup begitu?” tanya sang ibu
“Aku habis berenang”
Ibunya lalu berfikir dan bingung sendiri sambil memasak. Saat itu senja, setelah dia mandi, hujan dan angin telah berhenti. Dia melangkah keluar rumah dan melihat matahari yang hampir tenggelam, “Indahnya” gumam dia. Bukan untuk matahari terbenam, melainkan dari seberang jalan dua orang bergandengan datang. Kakek dan cucunya yang memang cantik, kakek ingin memperkenalkan Syrena pada thorin. Ibu keluar tepat saat thorin sedang berbincang dengan mereka, ibu mengajak mereka makan bersama malam itu. Kakek menceritakan hal yang tadi pada ibu thorin, dan dia sangat berterima kasih.
Cerpen Karangan: Aldy Verdiana

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik