Hujan sepanjang hari memang melelahkan. Ketika kau menyaksikan
euforia hujan yang menjemput pagimu dan kemudian tak berhenti meski jam
telah berpusing hingga menunjukkan pukul 1 tengah hari. Maka tiap
manusia penuh energi akan mengumpat tentang air yang diturunkan Tuhan ke
bumi-Nya itu. Tapi beda hal dengan manusia pengangguran yang
memuja-muja hujan tak henti itu karena ia akan punya alasan kepada
istrinya jadi ia tak harus keluar mencari kerja. Namun bagiku, mahasiswa
yang sedang libur UAS yang tak ada kerjaan, hujan selalu membawa
cerita.
Hujan sepanjang hari akan membawa cerita di sore hari. Lagit sore
akan menyuguhkan pelangi. Tebak sendiri saja warna-warni yang pamer gaya
di pelangi itu. Karena campuran warna pelangi menurutku janganlah
disebut satu-satu. Sulit kawan. Kesannya akan berbeda ketika kalian
terfokus kepada satu warna atau terfokus pada semua warna. Atau jangan
sekali-sekali berpikir warna mana yang lebih dulu tampil dan paling
eksis di antara semua warna. Karena itu tidak adil. Sungguh tidak adil.
Kalian akan menjatuhkan martabat keindahan pelangi itu sendiri. Kalian
akan memprofokasi pelangi. Dan bayangkan jika ulah kalian itu telah
membuat pelangi itu tersinggung sehingga ia kemudian akan mengadu pada
Tuhan. Tuhan mungkin akan marah dan membuat pelangi baru yang tak
berwarna-warni seperti sekarang. Ah… jangan sampai itu terjadi. Jangan.
Aku bisa mengutuk kalian jadi batu jika sekali lagi kalian durhaka pada
pelangi.
Mari kita lupakan tentang pelangi. Karena aku ingin menyeduh segelas
kopi. Bukan kopi hitam pekat pakai gula macam bapak-bapak. Karena aku
pun tak suka. Cukup kopi coklat manis Nes****. Ah… aku sengaja
menyeduhnya dengan air yang agak panas. Karena aku tak ingin meminum
habis kopi itu langsung. Tidak. Jangan terburu-buru kawan. Aku masih
ingin menikmati sore yang teduh dan sejuk ini sambil menyeruput
pelan-pelan kopiku dengan lamunan. Menikmati tiap keindahan dan
kelembutan.
Aku memilih duduk di teras rumah. Kuperhatikan pelangi itu kian lama
kian redup. Langit keabu-abuan, langit mendung tipis. Sehingga jika
kalian tengok belahan langit yang lain, akan tampak mega yang merah
malu-malu. Tapi mungkin tak sedikit orang menyadari indahnya langit sore
itu. Karena aku saja, baru ketika aku mengenal lamunan yang
dipadupadankan dengan segelas kopi di sore hari, baru bisa menyadari
keindahan itu. Ya ampun… Kasihan sekali diriku.
Selesai menyapa langit, aku seruput kopiku lagi. Lalu mataku
mencari-cari objek lain yang ingin kusapa. Ah… binatang-binatang piaraan
tetanggaku itu ternyata mampu menarik perhatianku. Tak lain tak bukan
karena berisiknya mereka yang minta ampun deh. Apa lagi si ayam jago
putih bercorak coklat itu. Badungnya itu loh! Masya Allah…. tak habis
akal aku dibuatnya geleng-geleng kepala melihat ulah tengilnya itu. Maka
aku ingin lihat. Apa lagi yang akan dilakukan si ayam jago tengil itu
setelah tempo hari beramtem hebat dengan anak tetanggaku sampai
baret-baret tangannya di tinju pakai cakar bengis si ayam jago tengil
tak beradab itu.
Aku tahu dia mungkin merasa tindak-tanduknya aku amati. Karena
akhir-akhir ini pula dia sering mencoba menyelakaiku sampai-samapai
kemarin dia terbang dan mencoba mencakarku ketika aku sedang lengah.
Sungguh setrategi bukan sembarang setrategi. Tak kalah hebat dengan
strategi gerilya Jendral Soedirman. Maka aku tak boleh sampai lengah
lagi. Aku harus tetap waspada dan mencari kesempatan bagaimana harus
membalasnya. Dengan berbekal segelas kopi, sore hari, lamunan, dan teras
rumah aku akan mengamati musuh bebuyutanku itu. Aku akan mempelajari
kebiasaannya dan kelemahannya. Lihat saja ayam. Kau akan menyesal nanti.
Si ayam jago putih tengil ternyata memang yang paling berkuasa di
antara para ayam di kawasan itu. Lihat saja bagaimana ia mencoba
memarahi si ayam hitam bermuka masam yang mencoba mengambil alih makanan
sendiri dan tak mau berbagi dengan para bebek-bebek yang juga piaraan
tetanggaku itu. Si ayam jago putih mengepak-ngepak sayapnya heboh,
“kok-kok-pok-pok-pok”. Menjaga keserasian antar bangsa, bebek dan ayam
dalam kasus ini, adalah penting demi menjaga keharmonisan bertetangga
dan demi menjaga harga diri majikan mereka supaya tak pilih kasih
nantinya ketika memberi makan. Tapi maaf-maaf saja. Itu tidak cukup
untuk membuatku terkesan. Tak cukup hanya dengan itu dia mau mengambil
hatiku. Maaf ya ayam. Lagamu itu cuma mampu meluluhkan si ikan teri yang
sudah sekarat dari pagi dan mau digoreng satu menit lagi.
Tak lama. Aku lihat si ayam celingak-celinguk. Mungkin ingin
memastikan semua warganya bahwa semua yang ada di sana adalah atas
kendalinya. Tatapannya seolah memberi kesan jangan sekali-sekali
melawannya atau kucakar kau sampai bapakmu malu telah mengawini ibumu
dan melahirkanmu. Sungguh keji si ayam itu. Benar-benar harus diberi
pelajaran moral.
Si ayam jago putih itu kemudian berjalan dengan kedua cekernya yang
aku yakin jika di sop pastilah enak rasanya. Berjalan mendekati seekor
ayam betina yang badannya aduhai, montok sekali. Badannya benar-benar
proporsional karena banyaknya daging di tubuhnya. Pahanya yang besar,
mukanya yang cantik untuk ukuran ayam kampung, dan tubuhnya yang boncel
sehingga lucu sekali ketika sedang berjalan. Benar-benar sangat memikat
hati ayam jantan mana saja yang normal syahwatnya. Si ayam betina yang
montok itu makan dedek pemberian majikannya dengan anggungnya. Melirik
jual mahal dengan si ayam jago putih. Si ayam jago putih dengan gagah
berjalan sambil mengembangkan ekornya. Mengusir siapa saja yang mencoba
mendekati si ayam betina bohai itu. Memastikan nuansa romantis antara
mereka berdua. Lalu makan bersama berdampingan. Ah… tersenyum aku
dibuatnya. Ternyata. Ayam pun tahu bagaimana harus bersikap mesra.
Tak sabar dengan pendekatan yang itu-itu saja. Si ayam jago putih
mencoba memberikan si ayam betina bohai itu first kiss untuknya. Dia
makin mendekat dan menciumi si betina bohai itu (ayolah… jangan
bayangkan ciuman ayam itu seperti apa. Kau tahu kan… ayam biasanya suka
mematuk-matuk lawan jenisnya kalau syahwatnya lagi di ujung jengger). Si
betina bohai mengelak malu-malu tapi tetap menatap si ayam jago putih.
Menggoda. Aih… matanya itu loh. Mengedip-ngedip genit macam bencong
perempatan kalau lagi cari umpan. Membuat si ayam jago putih makin
penasaran dibuatnya. Tapi aku rasa itu malah menjadi kesalahan tak
terelakkan buat si betina itu. Si ayam jago putih jadi beringas dan tak
tahu malunya sudah minggat kemana. Tak ada sopan santun tak ada ijab
kobul. Dinaikinya si ayam betina. Ayam betina panik. Melompat ia dan
lari kocar-kacir karena kaget akan keagresifan si ayam jago putih. Si
ayam jago putih mengejar tak kenal lelah karena sudah terbawa suasana
nafsu yang tak baik bagi pencernaan jika tak disalurkan. Menurutnya
salah si ayam betina bohai itu yang telah menggoda gejolak kejantanannya
duluan. Maka ketika si ayam betina bohai itu terpojok tak berdaya di
sebelah kiri kandang ayam dimana di dalamnya terdapat ibu-ibu ayam yang
sedang mengerami buah hati mereka. Si ayam jago putih itu menggagahi si
ayam betina bohai dengan tanpa keromantisan yang sebelumnya terjalin
ketika makan sore tadi. Dengan disaksikan si ibu-ibu ayam dan buah hati
yang dierami mereka itu. Ah… aku berdoa semoga saja telur-telur ayam tak
berdosa itu tidak tergunjing mental, jiwa raga, dan spiritualnya atas
kejadian yang tak baik untuk tontonan anak-anak itu.
Selesai melakukan aksi memalukan itu si ayam jago putih pergi. Pergi
begitu saja tanpa ber-kokok atau melambaikan sayap kepada si ayam betina
bohai. Ia berjalan pamer. Naik podium, bangku di depan kandang ayamnya,
dan ber-kukuruyuk keras sekali. Ya ampun… Ternyata dia merasa bangga
karena telah melakukan hal yang telah merusak citra ayam kampung dimana
saja di belahan dunia ini dengan berseremoni seperti tadi. Oh Tuhan…
ayam ini benar-benar minta dihajar. Tak tahu adat. Kurang ajar. Sungguh.
Kasihan betul yang jadi bapak ibunya.
Tapi tak pedulilah dengan siapa bapak ibunya. Karena aku lebih
tertarik untuk menyeruput kopiku lagi. Airnya mengalir hangat membelai
kerongkongan hingga lambungku. Menentramkan hatiku. Tapi itu cuma
sesaat. Sesaat. Kau tahukan makna sesaat? Tak sampai 30 detik kawan.
Karena aku langsung tersedak. Tersedak sampai batuk macam nenek-nenek
aku dibuatnya.
Si ayam jago putih tengil itu memang tak pernah kenal dan tak pernah
tahu akalnya tinggal di mana. Tak lama setelah ia turun dari podium, ia
menghampiri seekor nyonya bebek yang paling angkuh di antara
nyonya-nyonya bebek yang lain. Nyonya bebek yang hanya tahu makan,
tidur, dan bertelur itu tak curiga sama sekali akan tindak tanduk si
ayam jago putih yang makin lama makin tak waras saja. Bulu ekor si ayam
jago putih itu berdiri. Kawan… kalian mengertikan maksudku arti dari
ekor yang berdiri itu. Si ayam jago putih yang ternyata masih memiliki
sisa syahwat setelah beromantis-romantis ria tadi dengan si ayam betina
bohai. Tak segan-segan dan tanpa assalamualaikum, si ayam jago putih
langsung menaiki si nyonya bebek dan ber-kokokokok. Mungkin kira-kira
maksudnya, “Nyonya bebekku cintaku, maukah kau kawin denganku?”
Bayangkan. BEBEK. Oh Tuhan. Ayam mau kawin sama bebek. Gila betul
dunia ini. Tak heran aku sekarang mengapa ada dongeng seorang gadis yang
mau nikah sama aki-aki konglomerat yang sebentar lagi mau teken kontrak
sama malaikat atau dongeng tentang laki-laki bujang lapuk, yang tak
laku-laku meski telah diobral di pasar malam, yang pergi ke dukun buat
minta dikawinkan dengan jin. Astagfirullohal adzim..
Memang betul-betul si ayam jago putih itu. Si nyonya bebek kaget
bukan main karena tiba-tiba dinaiki oleh si ayam jago putih. Merasa
diinjak-injak harga dirinya, si nyonya bebek teriak sekeras-kerasnya
bebek punya suara. Ia menjauh tapi tak lari. Tapi si nyonya bebek itu
terus saja mengoceh tak henti-henti, “wek-wek-wek-wek”. Ternyata si
nyonya bebek adalah seroang revolusionis betina bebek di sana. Kata lari
tak ada dalam kamus bebeknya. Ia tetap berdiri di sana untuk mencaci,
menceramahi, minta penjelasan, atau apalah. Bahwasannya aku memang tak
paham bahasa binatang apa lagi bahasa bebek, jadi maaf-maaf saja.
Tapi seperti halnya diriku. Si ayam jago itu juga tak mengerti bahasa
bebek. Atau lebih tepatnya naluri keayamannya sudah pulang kampung
karena telah diusir oleh hawa nafsunya. Sehingga ia tak mengerti dan tak
mau mengerti segala macam penjelasan yang dipaparkan si nyonya bebek.
Ia tetap saja mencoba dan terus mencoba menaiki si nyonya bebek. Si
nyonya bebek makin sakit hati dibuatnya. Ia malu. Malu sekali karena
harga dirinya sebagai bebek telah diracuni oleh ayam. Apa yang harus dia
katakan pada suami, anak, istri, orang tua, dan kedua mertuanya. Sore
itu baginya tak indah sama sekali. Tak ada itu pelangi dan langit
mending tipis. Tak ada. Kejam. Dunia telah terlalu kejam mempermainkan
nasibnya sebagai seekor bebek.
Sementara warga yang lain (bebek, ayam, dan dua kambing milik
tetanggaku lainnya yang ternyata daritadi juga asik memperhatikan si
ayam jago putih sepertiku) hanya bisa pura-pura tidak tahu. Mereka bisa
apa. Apa lagi si ayam jago putih itu adalah kepala suku mereka. Mereka
yang punya kuping tutup kuping. Mereka yang punya paruh dibuat makan.
Mereka yang punya jengger digeleng-gelengkan. Mereka yang tak punya akal
pengen ikut-ikutan.
Tapi ternyata Tuhan masih sayang dengan si nyonya bebek. Seekor ayam
jago hitam besar yang juga sahabat si ayam jago putih, katakan saja ia
jendral besar di suku ayam itu, ber-kokokpetok. Marah. Memisahkan si
nyonya bebek yang tersedu-sedu dengan si ayam jago putih yang penuh
nafsu. Si ayam hitam besar yang gagah itu menghadap si ayam jago putih
sampai bertabrakan jengger mereka berdua. Si ayam jago hitam berkata
bahwa ia malu punya ketua yang tak tahu adat. Ia marah-marahi si ayam
jago putih yang telah mencoreng nama baik ayam kampung mana saja di
kampung mana saja. Ah… aku jadi terpesona melihat ayam hitam gagah itu.
Sebagai penghormatan dariku, aku akan pastikan dia ayam yang tak akan
aku makan jika dipanggang nanti.
Si ayam jago putih tercengang. Kaget ia karena jendralnya sendiri
telah berani menentangnya. Akal keayamannya telah kembali dari pulang
kampung dan sekarang balik mengusir hawa nafsunya. Si ayam jago putih
menjadi malu. Sekarang ia merasa harga dirinya tercakar-cakar dengan
teguran dari si ayam jago hitam. Ia sadar telah membuat malu sukunya,
dan bangsa ayam mana saja di dunia ini. Ia aib masyarakat ayam dan
bebek, serta kambing yang ikut menonton. Ia tertunduk lesu. Berjalan dan
masuk ke kolong kandang ayam. Tak keluar-keluar hingga kopiku habis
kutelan. Rasa malu mungkin bisa menjadi bentuk introspeksi baginya.
Dan besok adalah hari pembalasan dendamku. Lihat saja ayam. Sore dan
segelas kopi memang senjata paling ampuh untuk melumpuhkanmu. Aku akan
katakan pada majikanmu apa yang telah kau lakukan pada si nyonya bebek
itu. Aku akan melebih-lebihkan sedikit tentang bagaimana kau telah
membuat stress si nyonya bebek, sehingga akan menyebabkan daging si
nyonya bebek akan tidak enak nantinya jika dimakan akibat dari penyakit
stressnya itu. Dan aku juga akan memastikan kau akan dikurung di kandang
ayam itu selama mungkin. Tak keluar meski pagi hari. Tak main-main
meski siang hari. Dan tak bisa bercinta meski sore hari. Oh…. untuk
malam hari, aku pastikan kau tak akan keluar karena tak akan ada maling
manapun di dunia ini yang mau dekat-dekat dengan ayam tak tahu adat
moralitas sepertimu. Ah…. puasnya hatiku ayam. Maka jangan lagi-lagi kau
dekat-dekat denganku. Karena aku pun malu dan tak sudi dekat-dekat
dengan ayam macam kamu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar