Cerpen-Cermin Yang Retak
Silfi dari kecil sampai kuliah memang terbilang tomboy. Banyak olah raga yang menonjolkan kekuatan fisik sekelas lelaki, Silfi pun melakukannya seperti sepak bola, basket, dan lari. Sampai ia pernah merasa kesakitan di bagian organ kewanitaannya sehabis lomba lari. Ia paksakan diri maju dalam lomba walau sedang datang bulan. Setelah itu, tak aneh bila kondisi Silfi mengkhawatirkan. Kainnya tiba-tiba berdarah. Lalu ia pingsan. Dokter mengatakan kalau selaput daranya robek. Darah yang keluar dari alat kelaminnya pun bukan darah menstruasi.
Waktu itu aku belum kenal siapa itu Silfi karena aku cuma bekerja di rumah sakit ternama di Cirebon sebagai perawat. Lalu aku dan temanku mendapat tugas dari atasan untuk merawat gadis yang katanya bernama Silfi. Lalu terjadilah komunikasi singkat, perkenalan yang tak disengaja; tak diharapkan perkenalan itu di saat aku sedang bekerja. Lalu hubungan dilanjutkan setelah kesembuhan Silfi dari pendarahan. Entah kenapa, aku mau kenalan dengan Silfi.
“Hoi, keren gak?! katanya sembari memajukan bibir bawahnya.
Aku terkejut waktu itu. Ia menunjukkan bibirnya yang telah ditindik. Lalu dengan gerak cepat ia menciumku. Seumur-umur aku baru pertama terlibat kasus seperti ini. Aku paling tidak suka mendekati wanita; juga karena aku malu mendekatinya dengan cara seperti ini.
“Kamu. Kamu kenapa memakai tin-dik? Apa maksudmu men-cium?” Kataku sembari menahan rasa gugup.
“Biarin!” seenaknya Silfi berkata.
Lalu aku mencoba mengambil cermin di tas kerjaku yang kadang aku bawa. Kebetulan aku bertemu dengan Silfi sehabis pulang kerja.
“Lihat di cermin. Bibirmu masih berdarah!”
“Gila! Dasar banci! Sini cermin lu.”
“Prakkk!!” Silfi memecahkan cermin warisan kakakku yang kini ia telah meninggal. Padahal cermin itu sebagai simbol bahwa kakakku selalu menjadi contoh untukku.
“Lu ngarti enggak?! Gue gak suka disuguhin cermin!” Lanjut Silfi.
“Aku ingat. Dulu aku sempat kecewa karena kamu telah memecahkan cermin bersejarah. Benar-benar kecewa, Silfi. Dan aku tak mau lagi berteman. Tapi kamu malah memaksaku. Sekarang, kamu bercermin mengingatkan dua kisah. Kisah kakakku dan kisahmu.”
Memang bersejarah cermin yang kini telah tiada. Di belakang cemin terdapat kata-kata mutiara. Setiap kali aku melihat ke cermin, bayangan keberhasilan seakan nyata. Melihat cermin membuatku semangat. Di balik itu semua, sosok seorang Kak Laras yang nampak di mataku sebagai pembimbing hidupku. Aku merasakan kehadirannya walau ia telah meninggal dunia.
“Aku kan dulu sudah minta maaf.” Memang aku memaafkannya segera setelah melihat ketulusan Silfi meminta maaf.
Untunglah makna cermin itu telah membekas di jiwaku. Sebagai bukti, aku pun mendapat kesuksesan hidup. Aku mampu sekolah dan kuliah dengan biaya dari sana-sini. Aku menjadi perawat di rumah sakit ternama. Aku mampu mandiri walau keluarga telah tiada: orang tua meninggal waktu aku umur lima tahun dan kakakku meninggal waktu aku masih kelas tiga SMP.
“Maaf ya, tadi aku senyum-senyum sendiri. Sekarang ini, gak tahu kenapa, aku mulai berhias diri.”
Berhias diri. Aku teringat perkataan orang tua Silfi. Setelah hubungan terjalin akrab, akhirnya aku memberanikan diri mendatangi rumahnya. Dan ibunya menceritakan kalau Silfi sangat alergi sama bedak. Akhirnya, ibunya menuruti penampilan Silfi yang gemar urakan seperti lelaki.
“Entah kulitmu terbuat dari apa sampai semua bedak tak cocok untukmu. Tapi sekarang, seakan tak ingat lagi kalau kamu pernah alergi. Aku makin cinta, Fi. Tapi, Aku bingung sama kamu.”
“Kenapa?”
“Kamu sering sekali bercermin!”
“Bukankah kita harus rajin bercermin diri pada kehidupan?”
“Baiklah. Yang penting aku mencintaimu apa adanya. Tapi kamu dulu alergi sama bedak.”
“Aku sudah periksa sama dokter kulit.”
“Lha! Sejak kapan?”
“Udah deh. Aku cuma ingin memberikan kejutan untuk Mas. Pasti Mas bertanya-tanya kenapa aku sembuh.”
“Oh...,” aku tak banyak bicara.
“Aku mengharapkan pernikahan. Sekarang kamu sudah kuliah. Dan janganlah aku menunggu kamu lulus kuliah.”
“Oh...Nanti juga nikah. Maukah menunggu lebih sabar lagi?”
Perubahan telah terjadi sekarang-sekarang ini. Bukan hanya suka bercemin tetapi masalah ketidakseriusan Silfi. Berbeda saat ia masih sekolah. Walau tomboy masih melekat dalam jiwanya, tapi rasa harap berumah tangga begitu besar. Dengan keseriusannya, sampai ia sering mengkhayal tentang pernikahan. Tapi sekarang, ia seperti melupakan perkataan-perkataan komitmen yang dulu pernah ia ucapkan. Apakah karena ia baru sadar, kalau umurku berbeda jauh dengannya? Apakah ia tak mencintaiku lagi? Tapi perkataan cinta darinya selalu merdu didengar olehku. Apakah karena ia telah terkenal menjadi penyanyi? Entahlah.
Aku tetap duduk di ranjang, menunggu Silfi selesai berhias. Seperti tak habis berpikir; aku mulai berpikir dalam kecurigaan, “Siapa yang mampu merubah kebiasaan Silfi?” Aku hanya memendam pertanyaan ini.
“Sabar ya Sayang. Bentar lagi.” Silfi seperti sengaja berlama-lama. Dan aku bagai bujang di atas ranjang.
Aku jenuh. Aku berkeliling mengitari seluruh ruangan. Tak sengaja aku melewati tas Silfi yang terbuka. Aku tak punya pikiran apa-apa waktu melihat tas yang terbuka. Tapi suasana terkejut membuatku berubah pikiran. Aku berpikir buruk.
“Bagus. Bagus. Bagus. Ini dari siapa?! Sorot mataku tajam. Mungkin sudah merah padam.
“Mas tak sopan melihat isi tasku?” Ia bergegas ke arahku.
Apa yang tak sopan? Kamu yang tak punya etika berpacaran! Kenapa ada foto di tas?! Mungkin kado ini dari si culun ini! Oh...ternyata.”
“Sini Gak? Itu bukan siapa-siapa!”
“Baguuus. Kamu makin pintar. Ternyata selama ini ada sesosok anjing yang menjilat-jilat perawan biduan ya?”
“Kembalikan Gak?” Ia mencoba merebut. Dengan sikap kerasku, aku menolak untuk dikasihkan padanya.
“Kamu kenapa? Katanya foto ini bukan siapa-siapa? Apa mau aku buktiin? Neh!” Aku Merobek foto. Dan Silfi pun terlihat semakin marah. “Puas?” kataku.
“Plak!” Silfi menampar pipiku.
“Plak!” Aku menambar kembali pipinya dengan tak peduli.
“Oh, jadi selama ini kamu sudah selingkuh? Kamu punya lelaki lain di belakangku. Munafik!”
Walau aku belum dapat jawaban yang jelas dari Silfi, aku pastikan ia sudah selingkuh. Aku tak menyangka ia sampai tega berselingkuh.
“Siapa laki-laki itu?” tanyaku.
Hik. Hik. Hik... Maafkan aku Firman. Akhir-akhir ini aku tak mencintaimu lagi. Entah mengapa kamu sulit sekali menjadi pembimbingku. Kamu tak seperti kakakmu. Terpaksa aku mencari calon lain. Dia seorang dokter kulit.” Kata Silfi sembari menangis. Ia pun tak mengucapkan kata “Mas” lagi padaku.
“Sialan! Oh, jadi selama ini aku hanya kacung? Aku cuma dibawa kemana-mana tanpa ada makna yang kau ambil. Aku tak mampu menjadi pembimbing, katamu.”
Hatiku retak. Aku ingin sekali memecahkan cermin Silfi yang tadi untuk berhias. Tapi hatiku telah retak terlebih dahulu. Sehingga aku hanya menahan kepedihan. Cermin kelaki-lakianku telah retak. Aku semakin tak berharga. Aku lelaki yang tak bisa dijadikan contoh, katanya.
Aku meninggalkan Silfi. Tapi aku kembali lagi dengan menahan hati murka. Aku berlari dan menendang cermin di kamar Silfi.
“Prak!” Cermin benar-benar retak.
Aku kembali meninggalkan kamar ini. Tak ada lagi malam mingguan. Dan Silfi, tetap diam sembari tersedu-sedu. Aku tak peduli dengan kecintaan hatiku ini. Tapi aku menyadari, kepergianku belumlah akhir sebuah hubungan. Aku menunggu hati tenang dalam mengucapkan kata “putus”. Sudah hampir tiga tahun berhubungan yang membuatku tak mampu mengucapkan kata “putus” dengan mudah.
***
Tiga hari setelah kejadian di kamar Silfi, aku memutuskan hubungan. Aku pun memutuskan hubungan kerja di rumah sakit Cirebon. Lebih baik aku pergi. Aku tak mau melihat lagi sosok Silfi dan selingkuhannya itu. Aku tak menyangka kalau lelaki itu ternyata dokter yang pernah berseteru denganku. Aku hampir lupa dengan wajah itu. Aku tak mau mambayang kejadian itu lagi. Yang jelas, permasalahanku dengan Silfi akibat ulah dokter kurang ajar itu. Mungkin dokter itu tahu kalau Silfi itu pacarku. Mungkin ia sengaja menghancurkan.
Hidupku benar-benar sebatang kara. Keluarga sudah tiada. Bersama kekasih pun kini putus jalinan. Kerjaan dan teman sekerja pun aku tinggalkan. Hidupku lara. Kesedihan telah bangkit kembali dalam kisahku. Aku tak tahu, siapa sosok yang akan tulus membimbingku dalam mencari pencerahan hidup. Memang sepatutnya aku tidak sedih hanya karena putus percintaan. Tapi memang demikian adanya bila cinta telah dikhianati: sakit hati. Belum lagi putusnya percintaan membuat kisah lalu bersama keluarga tercinta terbuka kembali. Dan aku merindukan kehangatan perlindungan, kasih sayang, bimbingan dari keluarga.
Aku sudah lama meninggalkan daerah asalku ini. Aku tak habis pikir, kenapa aku bekerja di Cirebon? Padahal orang Cirebon pun berbondong-bondong pergi ke Jakarta. Entahlah. Yang jelas di Cirebon aku bertemu dengan silfi, pacaran dengan silfi, dan cintaku dikhianati oleh Silfi. Sekarang aku meninggalkan Cirebon.
Aku menatap kosong ke arah Monas yang begitu tegak berdiri di tengah teriknya mentari. Aku duduk termenung mencari pencerahan hidup di ibu kota. Ditemani gaduh kendaraan bermotor dan gedung bertingkat. Aku merindukan suasana ini. Teringat waktu masih kecil bermain di sekitar Monas bersama kakakku. Ia adalah pengganti orang tua. Kedewasaannya telah mampu membimbingku; mengajarkan segala kedewasaan hidup. Dan ia menyuruhku agar mengerti tentang ilmu kesehatan. Akhirnya kakakku menyerah pada penyakit paru-paru yang ia derita.
“Selalulah kau bercermin pada kehidupan. Agar kau banyak merenung tentang dirimu sendiri," kata kakakku dahulu sembari mewarisi cermin motivator untukku.
Tapi kini, cermin itu telah tiada.
0 komentar:
Posting Komentar