Lanjut tuxedo cokelat kupadu dengan celana panjang senada, tapi sisi casual ku tak terelakkan sepersekian menit jeans biru sudah terpasang. arloji hitam melingkar gagah detik nya berdetak-detak menunjukan pukul Sembilan. ‘nyaris rampung’ aku menggumam. sambil membubuhkan parfum dengan wangi maskulin, yang slogannya kuhapal di luar kepala ‘bikin bidadari lupa diri’ kujadiikan ini semacam mantra sekaligus doa kalau-kalau ada malaikat dengar lalu melapornya pada tuhan, sebelum bertolak kuulangi inspeksiku rambut.. siap! Jas.. oke! Sepatu.. sip! Dompet lengkap, arloji… aku persis anak paramuka periksa kerapian.
Nyaris satu jam kita bercakap, aku dan nona mata cokelat. Sejam lalu aku baru menggeser singgasana tepat di sisi kanannya yang sedari tadi senyam-senyum sambil menunduk, membuatku gede rasa. akhirnya ku akhiri juga nona mata cokelat itu yang ternyata bukan tersenyum kepadaku, bukan aku..! ku ulangi lagi, bukan akuuu..!! tapi pada ponselnya yang asyik ditekan nya ditutupi daftar menu, kadung malu.. sudah kulambaikan tangan jadi kuputuskan untuk menyapanya lebih dekat. Aku dan nona mata cokelat kami bicara tanpa arah lebih tepatnya aku yang ngelantur. kuceritakan hobiku, cita-citaku yang ingin jadi bajak laut, kebiasaan buruk, sampai kucing persiaku.. messy yang sudah 2 hari rewel. nona itu kerap kali tersenyum, membuat otakku limbung, dia manis, lucu… “anda polos sekali, lucu…” lihat amore isi otaknya sama denganku, bukan..? aku kegirangan gi_ring! Maksudku gi_rang!
“tolong di jumlah..” lanjutnya, sambil mengorek isi tas bahunya. etikaku sebagai pria mapan di uji. ‘mau kemana, nona..?’ aku bertanya dalam hati. “saya sudah selesai, sudah pukul setengah sebelas, saya masih ada urusan” ucapnya seperti dapat dia dengar Tanya hatiku.. aku ber ooohh.. panjang. Kurogoh dompet. Mentransfer beberapa lembar pecahan merah, “jangan.. biar saya saja…!!” tangannya mencegah. Aku diam sejenak.. lalu mengangkat wajah menatap matanya dalam, 100% drama, “pliis… jangan ditolak…” sambungku. nona itu mengangguk saja, kami bergegas pergi, langkah kami berhenti di pintu keluar cafĂ©, aku mau perpanjang waktu ku dengannya. “terimakasih..” senyum itu lagi.. SAKARIN!!! “sama-sama ngomong-ngomong, mau kemana lagi setelah ini..?” tanyaku. Dijawabnya dengan menyebut nama tempat, lebih tepatnya nama jalan. “ada janji” lanjutnya lagi. “boleh saya antar? Naik taxi jam segini rawan kejahatan, apa lagi untuk wanita secantik anda” ucapku. 3 point langsung. menawari, memuji sambil mengintimidasi. nona itu menggeleng, aku memaksa. menggeleng lagi, kupaksa lagi.. dia bilang ‘tidak’ aku jawab ‘preman’ dia bilang ‘berani’ ku bilang pembunuhan. Aku mengiba dengan mimik sehawatir mungkin. nona itu menyerah juga. ‘yesss!!’ aku bersorak “jadi sudah siap menyesal..?” katanya “tidak akan menyesal” balasku mulai ku pacu lagi terios metallic. pelan saja biar bisa berlama-lama. aku curi-curi pandang. mataku mendadak jadi lensa mengabadikan cantiknya. nona itu menatapku, aku makin ‘kikuk’ “anda baik sekali, terimakasih..” aku melayang, jauuuuhh… mengantongi gemintang. “tapi lebih baik anda tidak mengenal saya..” aku mengangkat alis, dahi berlipat tiga. tandanya aku sedang keheranan “di depaan sana, saya turun.. pelankan kecepatan..” aku manut, mengurangi kecepatan. lantas menghentikan laju mobil di tepi jalan. “anda yakin berhenti diss…” aku menelan sepotong kalimatku yang lain. Otakku jadi lamban, lupa mau bicara apa. bibirnya mendarat di pipiku. mengagetkan aku bahkan belum pasang kuda-kuda. kelewat surprise. “apa sudah impass?” tidak kutanggapi. otakku kosong melompong, tidak ada stok kalimat.
Aku jadi berada di titik terbloon sepanjang sejarah, mirip pithecanthropus dihadiahi iphone 3G, terbengong-bengong demi menangkap sensasi yang kelewat tiba-tiba. Nona itu berbenah merapikan paras, menali tas bahu, bergegas. Setengah wanginya terlinggal di jok mobilku. Dadaku naik turun demi menyesap wanginya. duniaku jadi nol gravitasi aku jadi abnormal selama lima menit, bisa jadi sepuluh atau bahkan lima belas menit, andai gendang telingaku tidak digedor debum pintu mobil yang terparkir 3 meter di depanku. Nona mata cokelat.. gaun merahnya berkilau ditempa temaram lampu jalan..
Aku terempas dari tebing fantasi saat mataku menangkap nona mata cokelat dengan si tambun tergelak selepas melakukan ritual yang baru saja menimpaku, aku lesu. Mendadak jadi avertebrata. aku luruh di kursi kemudi. Nona itu… pria tambun…? Aku menelan ludah, bak menelan biji kedondong, sakiiit nian… pria tambun mendekap nona itu lama sekali, nyaris membuatku mati kepanansan, mengusap janggutnya yang subur. sama sekali tidak klimis seperti punyaku. Aku masih mual ingin ku muntahkan sisa makan malam dengan bonus cacing perutku, ku starter lagi teriosku, membenahi keping hati yang kacau. Siapa yang salah… cupid, aku, atau.. parfumku kelewat maskulin, yang bukan hanya buat bidadari lupa diri, tapi juga kupu-kupu jadi hinggap… entahlah, aku nyaris menyerah… malu pada malam minggu, SIAL!!!
Cerpen Karangan: Khoerun Nisa
0 komentar:
Posting Komentar