LELEH (Sebuah Cerpen)
Aku
memandang nanar perempuan di depanku. Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar
aku mampu meyakinkannya bahwa aku benar-benar mencintainya. Bahkan jika meminta
syarat yang tak masuk akal layaknya lorojonggrang yang meminta anaknya untuk
membuat patung sejumlah seribu dalam semalampun aku akan mengabulkannya. Meski
aku sendiri tak yakin akan mampu meluluskan permintaan seperti putra
lorojonggrang yang berhasil membuat 1000 kurang 1 patung untuk pujaan hatinya
yang tak lain adalah ibunya atas nama cinta.
Hampir
aku menjatuhkan kedua lututku ke tanah untuk mengemis cinta yang tak kunjung
diberikannya. Atau merengek mengurai air mata yang sejatinya sudah tak sanggup
kubendung dibalik kelopak mata sayuku yang hampir tak bisa terpejam sempurna tiap
malamnya sebab paras eloknya. Atau kurengkuh tubuhnya paksa dan kudaratkan
seribu kecupan di wajahnya hingga dia meluluskan cintaku. Tapi tidak! Aku
adalah lelaki yang masih punya harga diri dan saat ini kami berada di tempat
yang bukan hanya ada kami berdua hingga mampu berbuat apa yang kami mau. Lebih
tepatnya yang kumau karena kulihat tak ada sedikitpun sikap penerimaan darinya
untukku.
“Aku
mencintaimu” kataku parau separau hatiku yang tak pernah puas mendengar jawabnya.
Perempuan
itu menutup matanya sekejap. Entah apa yang berkecamuk dipikirannya. Untuk
beberapa saat kami mematung saling berhadapan. Hal yang jarang terjadi pada
diri kami sebab dia pasti akan langsung menghindar jika melihat sosokku. Tak
jarang dicarinya 1001 alasan untuk menolak berbicara padaku meski hanya melalui
telpon.
“Bukankah
kau sudah tau jawabanku?” pertanyaan yang menyakitkan tapi tak sedikitpun
mengubah hasratku padanya.
“Dan
kau pun sudah tahu bahwa aku tak akan menyerah” jawabku tak mau kalah. Batu
yang keraspun akan berlubang jika ditetesi air terus menerus. Apalagi hati
manusia terlebih makhluk yang ditakdirkan memiliki rasa halus. Aku yakin lambat
laun dia pasti akan menyerah. Yang kubutuhkan hanya kesabaran untuk terus
menunjukkan pembuktian cintaku padanya hingga tak ada celah baginya untuk
menolakku lagi. Lagi... ya, lagi dan lagi hingga aku tak tahu sudah berapapa
kali tepatnya aku ditolak olehnya.
“Kau
sungguh tak mudah goyah tapi aku tak yakin apa kau akan tetap pada pendirian
cintamu jika kau tahu seperti apa aku ini.” katanya menimbulkan teka-teki baru
yang membuatku semakin tertantang untuk mendapatkan cintanya. Aku tak tahu dia
sengaja mengatakannya untuk menguji cintaku ataukah untuk menghancurkan cintaku
hingga tinggal puing-puing yang tak mungkin bisa ditata lagi. Perempuan
dihadapanku ini sungguh penuh misteri layaknya kepingan-kepingan puzzel yang
sukar untuk dipasangkan tapi membuatku semakin bergairah.
“Apa
yang kau mau dariku?” tanyanya kemudian. Obrolan yang sama sekali tak mirip
dengan kisah cinta drama Korea yang banyak digandrungi remaja dan orang tua.
“Cintamu”
jawabku singkat dan memang begitu adanya.
Dia
menatapku. Tampak ekspresi tak percaya dalam wajahnya, lengkap dengan senyum
sinis yang tersungging di ujung bibirnya.
“Jangan
naïf! Paski kau menginginkan lebih dari sekadar cinta. Lelaki dimanapun sama!”
“Kau
bukan aku yang mengerti aku dan mauku. Aku, hanya aku yang tau. Dan yang kutau
aku menginginkan cintamu seperti yang sudah kukatakan padamu.” Kataku mencoba
mematahkan argumentasinya.
“Mungkin
kau memang benar bahwa aku menginginkan lebih dari sekadar cinta. Tapi yang
kuinginkan cinta yang yang tak semu. Yang kuinginkan cinta yang tak bisa
dipermainkan siapapun karena aku ingin menjadikanmu istriku”
Perempuan
itu menatapku tajam. Mungkin dia ingin mencari kebenaran ucapanku dan aku
menikmati tatapan yang jarang dilakukannya padaku.
“Aku
benar-benar mencintaimu dan ingin menikah denganmu.” kataku meyakinkannya.
“Apa
yang kau tahu tentangku?” tanyanya kemudian.
Kini
ganti aku yang menatapnya. Pertanyaan yang konyol menurutku. Dengan sekian kali
aku menembaknya, apa dia pikir aku tidak mengenalnya? Aku tahu tempat mie ayam
yang sering didatanginya ketika sendiri. Aku tahu seberapa bersemangatnya dia
mengerjakan setiap proyek besar yang dibebankan padanya. Aku tahu lagu apa yang
membuatnya sedih, marah, atau hampa. Aku tahu betapa baik hatinya ketika dia
memberikan sejumlah uang pada panitia penyelenggara kegiatan di balik gedung tanpa
saksi. Bahkan aku tahu bagaimana kejamnya dia menyingkirkan setiap lelaki yang
ingin mendekatinya. Dan yang paling kutahu adalah bagaimana setiap lekuk
wajahnya yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi jawaban seperti itu akan
semakin membuatnya mengejekku.
“Aku
tahu semua sifat dan kebiasaanmu bahkan bagaimana kau mengamatiku dari jauh”
kataku mengejutkannya. Sekilas sempat kulihat semburat merah dari kedua
pipinya. Meski hanya sekilas tapi cukup puas aku melihatnya. Dan kugunakan
kesempatan ini untuk menghujaninya dengan serangan yang aku yakin akan
memuatnya luluh.
“Aku
tahu bahwa kau mencintaiku tapi kau tak mau mengakuinya. Aku juga tahu
bagaimana kau berusaha keras menolakku meski batinmu tak pernah bisa berontak
akan hadirku di hatimu. Bahkan aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini.
Menyerahlah! Jangan kau dustai hatimu lagi. Apa sulitnya berkata iya jika
hatimu sudah menyetujuinya.” Kataku sampai kudengar isak perempuan didepanku
yang mulai menutup wajahnya dengan jemari-jemari lentik miliknya.
Jika
bukan dia, mungkin sudah kudekap tubuhnya hingga hilang segala isak di dadanya.
Tapi aku tahu dia tidak akan menyukai tindakanku itu. Maka akupun hanya bisa
mematung memandangnya yang mulai menurunkan tubuhnya, duduk pada tanah yang
penuh dengan hijaunya rumput.
“Kau
mencintaiku kan?” tanyaku lembut memastikan jawabannya meski aku tahu bahwa dia
takkan menyahut.
Hening
sejenak. Kubiarkan dia menumpakhan air mata sendirian biar lega semua sesak di
dada. Perlahan akupun mulai duduk di hadapannya. Menunggu saat yang tepat untuk
menyikapi tangisnya. Tapi tangis yang tak kunjung henti itupun menghabiskan
kesabaranku. Dengan lembut kupegang pundaknya tapi dengan cepat dia
menyingkirkannya. Lalu menatapku tajam. Masih kulihat air mata yang terus
meleleh ke pipinya.
“Apakah
kau masih mencintaiku jika kau tahu bahwa aku bukan gadis lagi? Apakah kau
masih mau menikah dengan perempuan kotor sepertiku? Sudah! Pergilah! Aku tak
mau mendengar jawabanmu saat ini! Tinggalkan aku sendiri!” katanya yang tak
memberikan sedikitpun waktu untukku untuk menjawabnya. Dan seperti tersihir, akupun
menurutinya.
@@@
Aku
mengutuk bayanganku di cermin. Sepasang mata jernih lengkap dengan bola mata
yang hitam sehitam abu sekam. Dua buah alis tebal tapi lirit hingga tukang
riaspun tak perlu repot-repot mempermaknya agar terlihat indah. Sebuah hidung
yang tak terlalu mancung juga tak terlalu pesek hingga membuatku sedap
dipandang berlama-lama. Ditambah dengan bibir tipisku yang selalu merah meski
tanpa lipstik serta ranumnya pipiku dan pasnya lekuk tubuhku. Pahatan yang
sempurna hingga aku membenci kesempurnaan pahatan yang hampir semua perempuan
menginginkannya.
Gara-gara
itu aku hampir membunuh diriku sendiri. Otakku yang encer dan kedua orang tua
yang selalu mendukung dengan segudang kasihnya. Hidupku begitu indah seperti
yang diidamkan banyak orang hingga malam itu datang dan memporak-porandakan
semua mimpiku.
Sepertinya
aku tidak perlu menceritakan secara detail apa yang terjadi pada malam itu yang
bahkan aku tidak tau seperti apa wajah orang bertutup topeng yang tega merampas
sesuatu yang paling kujaga dalam hidupku.
Aku
jijik melihatku dalam cermin. Jika bukan karena tak ingin melihat kesedihan
kedua orang tuaku, sudah kupecahkan seluruh kaca yang ada di rumah ini. Dan
rasa rendah itu semakin memukulku ketika lelaki itu tak pernah gentar meminta
cintaku. Jika bukan karena aku mencintainya seperti yang dia katakan padaku
maka aku akan menerimanya begitu saja. Tapi aku tak mau menjadikan suci
cintanyanya keruh karenaku.
Jujur
aku sangat salut dengan lelaki yang menurutku tidak terlalu tampan tapi cukup
membuatku terkesan hingga benih-benih rindu selalu bersemayam dalam dadaku. Dia
berbeda dengan lelaki lainnya yang hanya suka akan kesempurnaanku. Tapi akupun
tak mau berharap lebih. Aku tahu bagaimana keadaanku yang membuatku menutup
diri dari setiap lelaki hingga akupun tak ragu untuk mengusir mereka yang ingin
mendekatiku.
Satu
semester kurang 15 hari dia menghilang dariku. Sepertinya cintanya yang dulu
meluap sudah menguap tak bersisa sejak kukatakan yang sejujurnya tentang diriku
ketika senja menyapa di taman berumput hijau itu. Ya, itulah saat terakhir aku
melihatnya. Meski tertusuk kekecewaan yang mendalam tapi aku tak mau terus
larut dalam kesedihan batin yang sudah lama kurasakan. Kujalani kehidupanku
seperti biasanya dan tak kucoba untuk mencari tahu tentangnya seperti yang dulu
sempat kulakukan ketika rindu ini memuncak.
Hingga
akhirnya desir itupun kembali kurasa ketika kulihat dirinya datang ke rumahku.
Dia tidak datang sendiri. Dia bersama kedua orang tuanya. Aku tak berani
menemuinya meski berkali-kali ibu meneriakkan namaku untuk menjumpainya di
ruang tamu. Aku lebih memilih diam dan berlari menemani Bik Yem menyiapkan
minuman.
Aku
tak tahu apa yang dipikirkan lelaki itu. Debar jantungku terlalu kencang hingga
membuat tubuhku turut bergetar. Dan akhirnya bik Yemlah yang mengantar senampan
minuman itu karena takut hasil karyanya akan tumpah karena getaranku.
Dan
aku menggenggam kuat gelas terakhir ditanganku ketika kurasakan hangat tubuh
seseorang yang mendekatiku dari belakang. Bukan ibuku, ayahku, ataupun Bik Yem.
Tubuh itu miliknya. Lelaki yang tak pernah bisa kutebak jalan pikirannya. Meski
aku tak berpaling untuk melihatnya tapi aku tahu bahwa perlahan didekatkannya
wajahnya padaku dan dibisikkannya sesuatu.
“Maaf
jika kau terlalu lama menunggu karna tak mudah bagiku untuk meyakinkan
keluargaku datang kemari.”
Bisikan
yang seketika melelehkan air mataku.
“Aku
tak akan menyentuhmu hingga kau halal bagiku” katanya lembut dengan sapu tangan
di tangannya yang bertanda bahwa aku harus menghapus air mataku yang leleh,
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar