Translate

CCERPEN LELAH

Written By iqbal_editing on Jumat, 28 Juli 2017 | 07.45

LELEH (Sebuah Cerpen)


  Aku memandang nanar perempuan di depanku. Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar aku mampu meyakinkannya bahwa aku benar-benar mencintainya. Bahkan jika meminta syarat yang tak masuk akal layaknya lorojonggrang yang meminta anaknya untuk membuat patung sejumlah seribu dalam semalampun aku akan mengabulkannya. Meski aku sendiri tak yakin akan mampu meluluskan permintaan seperti putra lorojonggrang yang berhasil membuat 1000 kurang 1 patung untuk pujaan hatinya yang tak lain adalah ibunya atas nama cinta.
Hampir aku menjatuhkan kedua lututku ke tanah untuk mengemis cinta yang tak kunjung diberikannya. Atau merengek mengurai air mata yang sejatinya sudah tak sanggup kubendung dibalik kelopak mata sayuku yang hampir tak bisa terpejam sempurna tiap malamnya sebab paras eloknya. Atau kurengkuh tubuhnya paksa dan kudaratkan seribu kecupan di wajahnya hingga dia meluluskan cintaku. Tapi tidak! Aku adalah lelaki yang masih punya harga diri dan saat ini kami berada di tempat yang bukan hanya ada kami berdua hingga mampu berbuat apa yang kami mau. Lebih tepatnya yang kumau karena kulihat tak ada sedikitpun sikap penerimaan darinya untukku.
“Aku mencintaimu” kataku parau separau hatiku yang tak pernah puas mendengar jawabnya.
Perempuan itu menutup matanya sekejap. Entah apa yang berkecamuk dipikirannya. Untuk beberapa saat kami mematung saling berhadapan. Hal yang jarang terjadi pada diri kami sebab dia pasti akan langsung menghindar jika melihat sosokku. Tak jarang dicarinya 1001 alasan untuk menolak berbicara padaku meski hanya melalui telpon.
“Bukankah kau sudah tau jawabanku?” pertanyaan yang menyakitkan tapi tak sedikitpun mengubah hasratku padanya.
“Dan kau pun sudah tahu bahwa aku tak akan menyerah” jawabku tak mau kalah. Batu yang keraspun akan berlubang jika ditetesi air terus menerus. Apalagi hati manusia terlebih makhluk yang ditakdirkan memiliki rasa halus. Aku yakin lambat laun dia pasti akan menyerah. Yang kubutuhkan hanya kesabaran untuk terus menunjukkan pembuktian cintaku padanya hingga tak ada celah baginya untuk menolakku lagi. Lagi... ya, lagi dan lagi hingga aku tak tahu sudah berapapa kali tepatnya aku ditolak olehnya.
“Kau sungguh tak mudah goyah tapi aku tak yakin apa kau akan tetap pada pendirian cintamu jika kau tahu seperti apa aku ini.” katanya menimbulkan teka-teki baru yang membuatku semakin tertantang untuk mendapatkan cintanya. Aku tak tahu dia sengaja mengatakannya untuk menguji cintaku ataukah untuk menghancurkan cintaku hingga tinggal puing-puing yang tak mungkin bisa ditata lagi. Perempuan dihadapanku ini sungguh penuh misteri layaknya kepingan-kepingan puzzel yang sukar untuk dipasangkan tapi membuatku semakin bergairah.
“Apa yang kau mau dariku?” tanyanya kemudian. Obrolan yang sama sekali tak mirip dengan kisah cinta drama Korea yang banyak digandrungi remaja dan orang tua.
“Cintamu” jawabku singkat dan memang begitu adanya.
Dia menatapku. Tampak ekspresi tak percaya dalam wajahnya, lengkap dengan senyum sinis yang tersungging di ujung bibirnya.
“Jangan naïf! Paski kau menginginkan lebih dari sekadar cinta. Lelaki dimanapun sama!”
“Kau bukan aku yang mengerti aku dan mauku. Aku, hanya aku yang tau. Dan yang kutau aku menginginkan cintamu seperti yang sudah kukatakan padamu.” Kataku mencoba mematahkan argumentasinya.
“Mungkin kau memang benar bahwa aku menginginkan lebih dari sekadar cinta. Tapi yang kuinginkan cinta yang yang tak semu. Yang kuinginkan cinta yang tak bisa dipermainkan siapapun karena aku ingin menjadikanmu istriku”
Perempuan itu menatapku tajam. Mungkin dia ingin mencari kebenaran ucapanku dan aku menikmati tatapan yang jarang dilakukannya padaku.
“Aku benar-benar mencintaimu dan ingin menikah denganmu.” kataku meyakinkannya.
“Apa yang kau tahu tentangku?” tanyanya kemudian.
Kini ganti aku yang menatapnya. Pertanyaan yang konyol menurutku. Dengan sekian kali aku menembaknya, apa dia pikir aku tidak mengenalnya? Aku tahu tempat mie ayam yang sering didatanginya ketika sendiri. Aku tahu seberapa bersemangatnya dia mengerjakan setiap proyek besar yang dibebankan padanya. Aku tahu lagu apa yang membuatnya sedih, marah, atau hampa. Aku tahu betapa baik hatinya ketika dia memberikan sejumlah uang pada panitia penyelenggara kegiatan di balik gedung tanpa saksi. Bahkan aku tahu bagaimana kejamnya dia menyingkirkan setiap lelaki yang ingin mendekatinya. Dan yang paling kutahu adalah bagaimana setiap lekuk wajahnya yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi jawaban seperti itu akan semakin membuatnya mengejekku.
“Aku tahu semua sifat dan kebiasaanmu bahkan bagaimana kau mengamatiku dari jauh” kataku mengejutkannya. Sekilas sempat kulihat semburat merah dari kedua pipinya. Meski hanya sekilas tapi cukup puas aku melihatnya. Dan kugunakan kesempatan ini untuk menghujaninya dengan serangan yang aku yakin akan memuatnya luluh.
“Aku tahu bahwa kau mencintaiku tapi kau tak mau mengakuinya. Aku juga tahu bagaimana kau berusaha keras menolakku meski batinmu tak pernah bisa berontak akan hadirku di hatimu. Bahkan aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Menyerahlah! Jangan kau dustai hatimu lagi. Apa sulitnya berkata iya jika hatimu sudah menyetujuinya.” Kataku sampai kudengar isak perempuan didepanku yang mulai menutup wajahnya dengan jemari-jemari lentik miliknya.
Jika bukan dia, mungkin sudah kudekap tubuhnya hingga hilang segala isak di dadanya. Tapi aku tahu dia tidak akan menyukai tindakanku itu. Maka akupun hanya bisa mematung memandangnya yang mulai menurunkan tubuhnya, duduk pada tanah yang penuh dengan hijaunya rumput.
“Kau mencintaiku kan?” tanyaku lembut memastikan jawabannya meski aku tahu bahwa dia takkan menyahut.
Hening sejenak. Kubiarkan dia menumpakhan air mata sendirian biar lega semua sesak di dada. Perlahan akupun mulai duduk di hadapannya. Menunggu saat yang tepat untuk menyikapi tangisnya. Tapi tangis yang tak kunjung henti itupun menghabiskan kesabaranku. Dengan lembut kupegang pundaknya tapi dengan cepat dia menyingkirkannya. Lalu menatapku tajam. Masih kulihat air mata yang terus meleleh ke pipinya.
“Apakah kau masih mencintaiku jika kau tahu bahwa aku bukan gadis lagi? Apakah kau masih mau menikah dengan perempuan kotor sepertiku? Sudah! Pergilah! Aku tak mau mendengar jawabanmu saat ini! Tinggalkan aku sendiri!” katanya yang tak memberikan sedikitpun waktu untukku untuk menjawabnya. Dan seperti tersihir, akupun menurutinya.
@@@
Aku mengutuk bayanganku di cermin. Sepasang mata jernih lengkap dengan bola mata yang hitam sehitam abu sekam. Dua buah alis tebal tapi lirit hingga tukang riaspun tak perlu repot-repot mempermaknya agar terlihat indah. Sebuah hidung yang tak terlalu mancung juga tak terlalu pesek hingga membuatku sedap dipandang berlama-lama. Ditambah dengan bibir tipisku yang selalu merah meski tanpa lipstik serta ranumnya pipiku dan pasnya lekuk tubuhku. Pahatan yang sempurna hingga aku membenci kesempurnaan pahatan yang hampir semua perempuan menginginkannya.
Gara-gara itu aku hampir membunuh diriku sendiri. Otakku yang encer dan kedua orang tua yang selalu mendukung dengan segudang kasihnya. Hidupku begitu indah seperti yang diidamkan banyak orang hingga malam itu datang dan memporak-porandakan semua mimpiku.
Sepertinya aku tidak perlu menceritakan secara detail apa yang terjadi pada malam itu yang bahkan aku tidak tau seperti apa wajah orang bertutup topeng yang tega merampas sesuatu yang paling kujaga dalam hidupku.
Aku jijik melihatku dalam cermin. Jika bukan karena tak ingin melihat kesedihan kedua orang tuaku, sudah kupecahkan seluruh kaca yang ada di rumah ini. Dan rasa rendah itu semakin memukulku ketika lelaki itu tak pernah gentar meminta cintaku. Jika bukan karena aku mencintainya seperti yang dia katakan padaku maka aku akan menerimanya begitu saja. Tapi aku tak mau menjadikan suci cintanyanya keruh karenaku.
Jujur aku sangat salut dengan lelaki yang menurutku tidak terlalu tampan tapi cukup membuatku terkesan hingga benih-benih rindu selalu bersemayam dalam dadaku. Dia berbeda dengan lelaki lainnya yang hanya suka akan kesempurnaanku. Tapi akupun tak mau berharap lebih. Aku tahu bagaimana keadaanku yang membuatku menutup diri dari setiap lelaki hingga akupun tak ragu untuk mengusir mereka yang ingin mendekatiku.
Satu semester kurang 15 hari dia menghilang dariku. Sepertinya cintanya yang dulu meluap sudah menguap tak bersisa sejak kukatakan yang sejujurnya tentang diriku ketika senja menyapa di taman berumput hijau itu. Ya, itulah saat terakhir aku melihatnya. Meski tertusuk kekecewaan yang mendalam tapi aku tak mau terus larut dalam kesedihan batin yang sudah lama kurasakan. Kujalani kehidupanku seperti biasanya dan tak kucoba untuk mencari tahu tentangnya seperti yang dulu sempat kulakukan ketika rindu ini memuncak.
Hingga akhirnya desir itupun kembali kurasa ketika kulihat dirinya datang ke rumahku. Dia tidak datang sendiri. Dia bersama kedua orang tuanya. Aku tak berani menemuinya meski berkali-kali ibu meneriakkan namaku untuk menjumpainya di ruang tamu. Aku lebih memilih diam dan berlari menemani Bik Yem menyiapkan minuman.
Aku tak tahu apa yang dipikirkan lelaki itu. Debar jantungku terlalu kencang hingga membuat tubuhku turut bergetar. Dan akhirnya bik Yemlah yang mengantar senampan minuman itu karena takut hasil karyanya akan tumpah karena getaranku.
Dan aku menggenggam kuat gelas terakhir ditanganku ketika kurasakan hangat tubuh seseorang yang mendekatiku dari belakang. Bukan ibuku, ayahku, ataupun Bik Yem. Tubuh itu miliknya. Lelaki yang tak pernah bisa kutebak jalan pikirannya. Meski aku tak berpaling untuk melihatnya tapi aku tahu bahwa perlahan didekatkannya wajahnya padaku dan dibisikkannya sesuatu.
“Maaf jika kau terlalu lama menunggu karna tak mudah bagiku untuk meyakinkan keluargaku datang kemari.”
Bisikan yang seketika melelehkan air mataku.
“Aku tak akan menyentuhmu hingga kau halal bagiku” katanya lembut dengan sapu tangan di tangannya yang bertanda bahwa aku harus menghapus air mataku yang leleh, sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik