Translate

Cerpen "ADZAN ARFAUNNAS

Written By iqbal_editing on Jumat, 28 Juli 2017 | 22.40

 Adzan Arfa’unnas

Siang itu aku bersama dengan temanku sedang bercerita-cerita tentang masalah yang kini sama-sama kami alami, di belakang kampus. Di sana banyak orang berlalu lalang hendak menuju ke masjid. Khususnya laki-laki. Kami memang sengaja tidak pulang saat itu, karena kami merasa jenuh bila berada di rumah. Kami sengaja membuang-buang waktu kejenuhan di kampus. Di bawah pohon yang rindang dan sejuk.
Hari jumat 28 Mei 2013 adalah hari pertama aku mendengar suara adzan yang sangat merdu. Tidak biasanya suara adzan itu membius pendengaranku. Aku terpaku dan terus mendengar alunan seruan adzan. Hatiku gemetar dan merinding. Sepertinya suara adzan itu sengaja menyadarkan aku yang selalu lalai dalam shalatku. Meski shalatku tidak pernah tinggal, namun aku selalu  telat melaksanakannya. Kini aku baru tergugah untuk selalu melakukan shalat tepat waktu.  
Aku manjadi penasaran dengan muadzinnya. Begitu damai dan sejuk didengarkan suaranya. Aku mengira-ngira kalau muadzin itu adalah mahasiswa UR juga. Ya… tentu saja. Tidak mungkin mahasiswa lain shalat di masjid Arfa’unnas sedangkan mereka memiliki masjid sendiri di universitasnya. Orang berbondong-bondong mendatangi masjid untuk menunaikan shalat jumat dan memenuhi panggilan adzan yang sedang berkumandang. Tentu saja hanya yang laki-laki saja. Aku dan temanku masih membuang-buang waktu di kampus. Padahal sudah tidak ada lagi perkuliahan.
“Ssstttt…. Coba dengar suara adzan itu.” Kataku pada temanku yang sedang berbicara.
“Ehmmmm… Merdu.sekali seuaranya.” Jawabnya.
“Subhanallah. Buat merinding bulu lengan dan kaki. Kira-kira siapa ya, yang adzan itu.”
“Aku juga gak tahu. Pasti dia seseorang yang sangat menjaga agamanya.”
“Iya, tentu saja. Aku jadi penasaran, tidak pernah rasanya mendengar suara yang seindah itu.”
“Iya, aku juga.”
Aku memejamkan mata untuk mendengar suaranya secara khusuk. Hatiku semakin gemetar ketika muadzin itu melafadzkan Syahadat. Aku terasa ingin menangis. Dalam pejaman mataku, aku langsung teringat akan shalatku yang sering telat. Aku juga teringat akan dosa-dosa yang selama ini aku perbuat. Dari dosa terkecil hingga dosa terbesar. Dari dosaku sejak lahir hingga saat ini dan dari dosaku yang kusadari dan tidak ku sadari. Sungguh telah menggunung tinggi semua salah dan dosaku. Semua teringat dalam renunganku yang terpejam. Aku tidak tahu mengapa hatiku merasa seperti ini. Suara itu telah menyadarkan aku. Aku dituntut untuk segera bertaubat dan berubah menjadi lebih baik.
Setelah suara adzhan selesai. Aku mulai membuka mata dan aku baru menyadari kalau mataku basah. Aku tidak tahu mengapa menangis. Aku rasa, aku telah sadar dari tidurku yang selama ini melalaikan. Aku semakin gelisah dan dirundung rasa penasaran. Tapi aku merasa damai dan tentram. Masalah dan cobaan yang kini sedang ku alami segera terlupakan. Aku pun yakin kalau semuanya akan berlalu dan semua itu aka nada hikmahnya. Aku mengajak teman-temanku untuk pulang, karena telah hilang rasa jenuh yang kami alami saat itu. Dan sekarang butuh istirahat. Aku pun merasa lelah dengan masalah yang selalu datang itu.
Begitu sampai di rumah, aku langsung menulis dalam diaryku. Kalau hari ini adalah hari yang sangat beruntung bagiku. Aku telah terbangun dan tersadar dari keterpurukan yang sedang ku alami. Rasa damai itu aku tuliskan dalam catatan harianku, yang ku beri judul Suara Adzan di Masjd Arfa’unnas. Setelah itu aku melakukan yang empat rakaat lalu tidur. Dalam tidurku, aku tak lena. Suara itu masih menggema di telingaku. jantungku pun masih berdenyut kencang. Tapi aku memaksakan diri untuk tidak memikirkan apa-apa tentang pemilik suara merdu itu. Ya… bagimana pun, kalau hati yang telah berbicara maka aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku mengikuti arus dan merasakan penasaran yang menjadikan sakit dalam hati.
Ketika adzan ashar, suara itu tidak lagi ku dengar. Tentunya orang lain yang mengumandangkan adzannya. Aku merasa rindu dengan suara adzan saat shalat jumat tadi. Ya… mungkin saja kali ini ia tidak shalat di Arfa’unnas lagi. Namun aku masih bersyukur kalau aku masih bisa mendengar suara seruan adzan. Bagiku muazin itu adalah orang pilihan untuk memanggil makmum atau imam untuk shalatnya. Dan ketika magrib, suara itu kembali ku dengar. Aku yang awalnya hendak pergi mandi, aku langsung duduk di atas tempat tidur. Aku mendengarkan suara adzan yang sangat merdu itu. Suara itu sungguh membuat aku terbius dan luluh. Aku tidak tahu harus disebut dengan apa perasaanku ini. Senang, bahagia, takut, tergabung menjadi satu. Mungkinkah aku telah jatuh hati pada suara itu atau pada pemilik suara merdu itu? Ya… bagaimana  bisa jatuh hati pada orangnya, sedangkan orangnya saja hingga saat ini tidak aku ketahui. Aku semakin merasa rindu. Aku sangat ingin mengetahui pemilik suara merdu itu, tapi aku takut kalau-kalau aku jatuh cinta. Aku hanya bisa berharap setiap hari dapat mendengar suaranya.
Namun aku tidak akan menolak jikalau suatu ketika aku dipertemukan dengannya. Aku pasti akan merasa senang. Tapi bagaimana caranya aku dapat bertemu dengan pemilik suara merdu itu? Sungguh mustahil jikalau aku mengintai di masjid itu. Aku pasti akan malu pada diriku sendiri dan pada Tuhanku. Aku hanya bisa berharap, sebuah mimpi yang akan mempertemukan aku dengannya.
Malam ini aku belum juga mengantuk. Kebetulan aku juga belum melaksanakan shalat isya. Aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat. Dalam shalatku aku berdoa agar dipertemukan pada pemilik suara merdu itu. Begitu besar harapanku untuk bertemu dengannya.
“Wahai pencipta insan yang Agung. Sekiranya diberi kesempatan meski sedetik untuk melihat, pertemukan aku dengan pemilik suara adzan yang merdu itu. Aku tidak mengharapkan lebih ataupun memujinya melebihi pujianku untukMu. Biarlah sekali dalam seumur hidupku untuk melihat sosok itu. Setelah itu ku serahkan kembali pada-Mu, yang akan menjauhan dia dariku ataupun menghilangkan dia dari benakku. Jikalau kau memang tidak berkenan mempertemukan aku dengannya, cukup perantara mimpi yang mempertemukan. Sekiranya supaya hatiku merasa tenang  dan hilang rasa penasaran.”
Setelah melaksanakan shalat isya, aku langsung beranjak ke tempat tidur. Aku membaringkan tubuh yang lelah ini dipembaringanku. Mataku menatap jauh menembus langit-langit kamar dan genteng. Melalang buana mengembara di malam yang gelap dan sangat jauh. Pandanganku mulai pudar dan beralih gelap. Mataku sudah semakin sayu karena mangantuk. Lama-kelamaan mataku terpejam dan memasuki alam mimpi. Ketika awal memasuki mimpi aku seperti berada di kampus. Tapi suasananya sangat berbeda. Aku jadi bingung, sebenarnya aku sedang berada di kampus mana. Tapi aku terus mengikuti arus mimpi. Perlahan aku menyadari kalau di sekitarku ada sebuah mushalla. Ya… mushalla itu adalah mushalla yang berada di prodiku, yaitu prodi Bahasa Indonesia. Tapi di sana aku tidak melihat ada ruang-ruang kelas yang biasa digunakan untuk kuliah. Aku tidak tahu kelas itu di mana. Tidak ada orang berlalu lalang di sana. Aku hanya seorang diri. Lalu dalam mimpi itu terdengar suara adzan yang selama aku kagumi kemerduannya. Tiba-tiba aku berada di masjid Arfa’ Unnas. Aku melihat orang ramai berbondong-bondong menuju masjid itu, yang kutahu hendak menunaikan shalat magrib.
Aku mulai memasuki masjid. Aku ingin melihat siapa orang yang sedang adzan itu. Ternyata aku beruntung. Aku dapat melihat sosok yang sedang adzan namun berdiri membelakangiku. Lalu, setelah adzan, ia berbalik arah. Namun sayangnya, wajah orang itu tidak jelas dan samar-samar hingga aku tidak bisa mengenali wajahnya.
Aku langsung terbangun, ternyata har sudah pagi. Padahal aku merasa mimpi itu baru saja dimulai. Tapi tiba-tiba terhenti karena hari sudah menunukkan pukul 06:00. Aku langsung bergegas mandi dan shalat subuh yang terbilang sudah kesiangan. Aku rasa mimpi itu adalah jawaban dari doaku sebelum tidur tadi. Tapi sungguh disayangkan, wajahnya samar dan tidak mudah dikenali. Yang jelas ku lihat ialah ia bertubuh tak terlalu tinggi, kulit putih dan memakai baju koko warna putih dan peci putih. Tubuhnya tidak gemuk dan juga tidak kurus. Ya… aku masih berharap malam-malam selanjutnya aku akan mimpi lelaki itu lagi. Tapi harapanku sia-sia. Tidak sedikitpun mimpiku yang menyinggung pada arah pemilik suara merdu itu. Yang ada hanyalah mimpi-mimpi tidak jelas dan tidak karuan.
Setiap hari aku berharap untuk bertemu dengan pemilik suara merdu itu, namun semakin banyak harapanku, semakin aku merasa sosok itu semakin jauh dariku. Hampir setiap waktu dzuhur aku duduk di belakang kelasku untuk menunggu suara itu berkumandang mamanggil jamaah shalat.
Entah kapan aku bisa dengan jelas melihat wajahnya. Aku hanya sekedar ingin tahu. Aku tidak bermaksud berlebihan memperlakukannya. Hanya ingin tahu, tidak leibih.
Pekanbaru, 14 Mei 2013
Robiatul Adawiyah
SEMUT

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik