Adzan Arfa’unnas
Siang itu aku bersama dengan temanku
sedang bercerita-cerita tentang masalah yang kini sama-sama kami alami, di
belakang kampus. Di sana banyak orang berlalu lalang hendak menuju ke masjid.
Khususnya laki-laki. Kami memang sengaja tidak pulang saat itu, karena kami
merasa jenuh bila berada di rumah. Kami sengaja membuang-buang waktu kejenuhan
di kampus. Di bawah pohon yang rindang dan sejuk.
Hari jumat 28 Mei 2013 adalah hari
pertama aku mendengar suara adzan yang sangat merdu. Tidak biasanya suara adzan
itu membius pendengaranku. Aku terpaku dan terus mendengar alunan seruan adzan.
Hatiku gemetar dan merinding. Sepertinya suara adzan itu sengaja menyadarkan
aku yang selalu lalai dalam shalatku. Meski shalatku tidak pernah tinggal,
namun aku selalu telat melaksanakannya.
Kini aku baru tergugah untuk selalu melakukan shalat tepat waktu.
Aku manjadi penasaran dengan muadzinnya.
Begitu damai dan sejuk didengarkan suaranya. Aku mengira-ngira kalau muadzin
itu adalah mahasiswa UR juga. Ya… tentu saja. Tidak mungkin mahasiswa lain
shalat di masjid Arfa’unnas sedangkan mereka memiliki masjid sendiri di
universitasnya. Orang berbondong-bondong mendatangi masjid untuk menunaikan
shalat jumat dan memenuhi panggilan adzan yang sedang berkumandang. Tentu saja
hanya yang laki-laki saja. Aku dan temanku masih membuang-buang waktu di
kampus. Padahal sudah tidak ada lagi perkuliahan.
“Ssstttt…. Coba dengar suara adzan itu.”
Kataku pada temanku yang sedang berbicara.
“Ehmmmm… Merdu.sekali seuaranya.”
Jawabnya.
“Subhanallah. Buat merinding bulu lengan
dan kaki. Kira-kira siapa ya, yang adzan itu.”
“Aku juga gak tahu. Pasti dia seseorang
yang sangat menjaga agamanya.”
“Iya, tentu saja. Aku jadi penasaran,
tidak pernah rasanya mendengar suara yang seindah itu.”
“Iya, aku juga.”
Aku memejamkan mata untuk mendengar
suaranya secara khusuk. Hatiku semakin gemetar ketika muadzin itu melafadzkan
Syahadat. Aku terasa ingin menangis. Dalam pejaman mataku, aku langsung
teringat akan shalatku yang sering telat. Aku juga teringat akan dosa-dosa yang
selama ini aku perbuat. Dari dosa terkecil hingga dosa terbesar. Dari dosaku
sejak lahir hingga saat ini dan dari dosaku yang kusadari dan tidak ku sadari.
Sungguh telah menggunung tinggi semua salah dan dosaku. Semua teringat dalam
renunganku yang terpejam. Aku tidak tahu mengapa hatiku merasa seperti ini.
Suara itu telah menyadarkan aku. Aku dituntut untuk segera bertaubat dan
berubah menjadi lebih baik.
Setelah suara adzhan selesai. Aku mulai
membuka mata dan aku baru menyadari kalau mataku basah. Aku tidak tahu mengapa
menangis. Aku rasa, aku telah sadar dari tidurku yang selama ini melalaikan.
Aku semakin gelisah dan dirundung rasa penasaran. Tapi aku merasa damai dan
tentram. Masalah dan cobaan yang kini sedang ku alami segera terlupakan. Aku
pun yakin kalau semuanya akan berlalu dan semua itu aka nada hikmahnya. Aku
mengajak teman-temanku untuk pulang, karena telah hilang rasa jenuh yang kami
alami saat itu. Dan sekarang butuh istirahat. Aku pun merasa lelah dengan
masalah yang selalu datang itu.
Begitu sampai di rumah, aku langsung
menulis dalam diaryku. Kalau hari ini adalah hari yang sangat beruntung bagiku.
Aku telah terbangun dan tersadar dari keterpurukan yang sedang ku alami. Rasa
damai itu aku tuliskan dalam catatan harianku, yang ku beri judul Suara
Adzan di Masjd Arfa’unnas. Setelah itu aku melakukan yang empat rakaat lalu
tidur. Dalam tidurku, aku tak lena. Suara itu masih menggema di telingaku.
jantungku pun masih berdenyut kencang. Tapi aku memaksakan diri untuk tidak
memikirkan apa-apa tentang pemilik suara merdu itu. Ya… bagimana pun, kalau
hati yang telah berbicara maka aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku mengikuti
arus dan merasakan penasaran yang menjadikan sakit dalam hati.
Ketika adzan ashar, suara itu tidak lagi
ku dengar. Tentunya orang lain yang mengumandangkan adzannya. Aku merasa rindu
dengan suara adzan saat shalat jumat tadi. Ya… mungkin saja kali ini ia tidak
shalat di Arfa’unnas lagi. Namun aku masih bersyukur kalau aku masih bisa
mendengar suara seruan adzan. Bagiku muazin itu adalah orang pilihan untuk
memanggil makmum atau imam untuk shalatnya. Dan ketika magrib, suara itu
kembali ku dengar. Aku yang awalnya hendak pergi mandi, aku langsung duduk di
atas tempat tidur. Aku mendengarkan suara adzan yang sangat merdu itu. Suara
itu sungguh membuat aku terbius dan luluh. Aku tidak tahu harus disebut dengan
apa perasaanku ini. Senang, bahagia, takut, tergabung menjadi satu. Mungkinkah
aku telah jatuh hati pada suara itu atau pada pemilik suara merdu itu? Ya…
bagaimana bisa jatuh hati pada orangnya,
sedangkan orangnya saja hingga saat ini tidak aku ketahui. Aku semakin merasa
rindu. Aku sangat ingin mengetahui pemilik suara merdu itu, tapi aku takut
kalau-kalau aku jatuh cinta. Aku hanya bisa berharap setiap hari dapat
mendengar suaranya.
Namun aku tidak akan menolak jikalau
suatu ketika aku dipertemukan dengannya. Aku pasti akan merasa senang. Tapi
bagaimana caranya aku dapat bertemu dengan pemilik suara merdu itu? Sungguh
mustahil jikalau aku mengintai di masjid itu. Aku pasti akan malu pada diriku
sendiri dan pada Tuhanku. Aku hanya bisa berharap, sebuah mimpi yang akan
mempertemukan aku dengannya.
Malam ini aku belum juga mengantuk.
Kebetulan aku juga belum melaksanakan shalat isya. Aku segera mengambil air
wudhu dan melaksanakan shalat. Dalam shalatku aku berdoa agar dipertemukan pada
pemilik suara merdu itu. Begitu besar harapanku untuk bertemu dengannya.
“Wahai pencipta insan yang Agung.
Sekiranya diberi kesempatan meski sedetik untuk melihat, pertemukan aku dengan
pemilik suara adzan yang merdu itu. Aku tidak mengharapkan lebih ataupun memujinya
melebihi pujianku untukMu. Biarlah sekali dalam seumur hidupku untuk melihat
sosok itu. Setelah itu ku serahkan kembali pada-Mu, yang akan menjauhan dia
dariku ataupun menghilangkan dia dari benakku. Jikalau kau memang tidak
berkenan mempertemukan aku dengannya, cukup perantara mimpi yang mempertemukan.
Sekiranya supaya hatiku merasa tenang
dan hilang rasa penasaran.”
Setelah melaksanakan shalat isya, aku
langsung beranjak ke tempat tidur. Aku membaringkan tubuh yang lelah ini
dipembaringanku. Mataku menatap jauh menembus langit-langit kamar dan genteng.
Melalang buana mengembara di malam yang gelap dan sangat jauh. Pandanganku
mulai pudar dan beralih gelap. Mataku sudah semakin sayu karena mangantuk.
Lama-kelamaan mataku terpejam dan memasuki alam mimpi. Ketika awal memasuki
mimpi aku seperti berada di kampus. Tapi suasananya sangat berbeda. Aku jadi
bingung, sebenarnya aku sedang berada di kampus mana. Tapi aku terus mengikuti
arus mimpi. Perlahan aku menyadari kalau di sekitarku ada sebuah mushalla. Ya…
mushalla itu adalah mushalla yang berada di prodiku, yaitu prodi Bahasa
Indonesia. Tapi di sana aku tidak melihat ada ruang-ruang kelas yang biasa
digunakan untuk kuliah. Aku tidak tahu kelas itu di mana. Tidak ada orang
berlalu lalang di sana. Aku hanya seorang diri. Lalu dalam mimpi itu terdengar
suara adzan yang selama aku kagumi kemerduannya. Tiba-tiba aku berada di masjid
Arfa’ Unnas. Aku melihat orang ramai berbondong-bondong menuju masjid itu, yang
kutahu hendak menunaikan shalat magrib.
Aku mulai memasuki masjid. Aku ingin
melihat siapa orang yang sedang adzan itu. Ternyata aku beruntung. Aku dapat
melihat sosok yang sedang adzan namun berdiri membelakangiku. Lalu, setelah
adzan, ia berbalik arah. Namun sayangnya, wajah orang itu tidak jelas dan
samar-samar hingga aku tidak bisa mengenali wajahnya.
Aku langsung terbangun, ternyata har
sudah pagi. Padahal aku merasa mimpi itu baru saja dimulai. Tapi tiba-tiba
terhenti karena hari sudah menunukkan pukul 06:00. Aku langsung bergegas mandi
dan shalat subuh yang terbilang sudah kesiangan. Aku rasa mimpi itu adalah
jawaban dari doaku sebelum tidur tadi. Tapi sungguh disayangkan, wajahnya samar
dan tidak mudah dikenali. Yang jelas ku lihat ialah ia bertubuh tak terlalu
tinggi, kulit putih dan memakai baju koko warna putih dan peci putih. Tubuhnya
tidak gemuk dan juga tidak kurus. Ya… aku masih berharap malam-malam selanjutnya
aku akan mimpi lelaki itu lagi. Tapi harapanku sia-sia. Tidak sedikitpun
mimpiku yang menyinggung pada arah pemilik suara merdu itu. Yang ada hanyalah
mimpi-mimpi tidak jelas dan tidak karuan.
Setiap hari aku berharap untuk bertemu
dengan pemilik suara merdu itu, namun semakin banyak harapanku, semakin aku
merasa sosok itu semakin jauh dariku. Hampir setiap waktu dzuhur aku duduk di
belakang kelasku untuk menunggu suara itu berkumandang mamanggil jamaah shalat.
Entah kapan aku bisa dengan jelas melihat
wajahnya. Aku hanya sekedar ingin tahu. Aku tidak bermaksud berlebihan
memperlakukannya. Hanya ingin tahu, tidak leibih.
Pekanbaru, 14 Mei 2013
Robiatul Adawiyah
SEMUT
0 komentar:
Posting Komentar