SENYUM SI
GANTENG DI RUANG UKS
Oleh:
H. Susanto Wiratmoko
“Maaf, Pak! Saya permisi ke ruang
UKS, Pak! Kepala saya pening, Pak!”
Evana memijat-mijat kepalanya dengan
satu tangan. Tangan yang lain memegangi perutnya. Sementara itu, Herlina
berdiri di sampingnya. Ia memegangi tubuh Evana.
“Evana! Kamu itu sudah sering sekali
izin ke ruang UKS! Sebetulnya kamu sakit apa?” tanya PakEddy, guru matematika
kelas dua belas, “Sakit apa sakit kamu itu?” lanjutnya.
“Ya, sakitlah, Pak!”
“Iya, sakit apa?”
“Anu, … Sakit … anu… Pak …”
“Sakit anu itu sakit apa?”
“Anu … Pak … “ malu-malu, “sakit
bulanan, Pak! Ah, Bapak. Kayak tidak tahu kebiasaan wanita saja!” jelas Evana
sambil menggoyang-goyangkan badannya, dan tanggannya meremas-remas bajunya.
“Bukannya saya tidak tahu sakit
seperti itu. Setahu saya, sakit bulanan itu datangnya satu bulan sekali. Lha,
kamu! Sakitnya kok satu minggu sekali, bahkan kadang dua tiga kali. Apa
penyakit bulananmu sudah direformasi sehingga datangnya semau kamu?”
“Ah, Bapak. Ya, tidak begitulah,
Pak. Tapi, benar, Pak. Saat ini saya betul-betul sakit!”
“Saya kok curiga! Kamu sakit
matematika, ya?”
“Maksud, Bapak?”
“Tubuhmu itu punya daya tolak
terhadap pelajaran matematika. Alergi matematika. Jadi, kalau ada pelajaran
matematika, tubuhnya langsung sakit.’
“Ah, Pak Eddy nih ada-ada saja. Tidak, saya tidak alergi matematika. Saya senang kok dengan pelajaran Bapak. Tapi, sekarang saya lagi sakit. Boleh, ya, Pak saya izin ke ruang UKS?”
“Ah, Pak Eddy nih ada-ada saja. Tidak, saya tidak alergi matematika. Saya senang kok dengan pelajaran Bapak. Tapi, sekarang saya lagi sakit. Boleh, ya, Pak saya izin ke ruang UKS?”
Evana makin meringis. Herlina
mengusap-ngusap punggungnya.
“Ya, sudah! Sana pergi ke UKS! Kamu juga sakit, Her?”
“Tidak, Pak. Saya menemani Evana.”
“Cepat sana kalian pergi!”
“Terima kasih, Pak. Pak Eddy baik,
deh!”
Pak Eddy tersenyum kecil sambil
memberi tanda agar Evana dan Herlina segera pergi.
Evana dan Herlina terus ngeloyor pergi. Evana dengan sedikit
dipapah Herlina berjalan keluar. Bibirnya meringis, dan jalannnya
dibungkuk-bungkukkan.
Setelah sampai di luar kelas, Evana
menengok ke belakang. Pak Eddy sudah tidak tampak. Ia pun menegakkan badannya.
Sambil mengepal diangkatnya tangannya tinggi, lalu dengan kuat sikutny ia
hentakkan ke bawah kuat-kuat.
“Yess…!” serunya.
Herlina terkejut bukan kepalang.
“Hei..! Jangan begitu, Van! Kamu ini
nekad betul! Ketahuan mampus Loe!”
“Tenang, Her! Tenang! Santai aja! Ini masa damai, jangan takut!”
“Gila benar kamu!”
“Baru tahu, ya?”
Evana terus berjingkrak-jingkrak kegirangan. Setengah berlari ia menuju ke
ruang UKS. Untuk memasuki ruang UKS, ia harus melalui ruang tata usaha. Saat
masuk ruang tata usaha, Evana kembali ke gaya semula; memelas sambil memegangi
perutnya, dan berjalan tertatih-tatih.
“Permisi, Bu! Saya mau ke ruang UKS,
Bu!”
“Kamu lagi! Kamu kenapa?” tanya Bu
Reni, petugas tata usaha.
“Sakit, Bu! Aduh …!”
“Tunggu! Isi dulu buku pengunjung
UKS. Siapa namamu? Kelas?”
“Evana, Bu. Kelas sebelas IPS5, Bu.”
Bu Reni menulis nama dan kelas Evana
di buku pengunjung UKS.
“Nah, ini! Coba kamu lihat! Dalam
satu minggu ini saja nama Evana sudah tertulis tiga kali. Ini namamu, kan?”
“Iya, Bu.”
“Tanda tangan di sini!”
Setelah tanda tangan, dengan dipapah
Herlina, Evana masuk ruang UKS. Pelan-pelan Herlina menutup pintu ruang UKS.
Setengah melompat, Evana menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Segera ia
mengeluarkan handphone-nya.
Tiba-tiba pintu dibuka. Bu Reni
sudah berdiri di ambang pintu. Evana kaget bukan kepalang.
“Kamu sakit kok bermain HP? Kamu pura-pura sakit, ya?”
“Ti… tidak, Bu! Saya mau menghubungi
orang tua saya, Bu!” jawab Evana sekenanya.
“Oh, ya, sudah. Herlina, kamu tidak
usah menemani Evana. Kamu masuk kelas saja. Biarlah Evana sendiri di sini.”
“Iya, Bu!” sambil keluar.
Setelah Herlina dan Bu Reni keluar,
Evana cekikikan menahan tawa. Ia pun
menguap.
“Wuaaa …hhh! Asyik, asyik …! Ngapain susah-susah mikirin matematika? Beli bakso juga nggak perlu pakai matematika. Tiduran begini sambil main games di
HP kan malah sehat. Orang kan perlu banyak istirahat. Kurang istirahat
bisa-bisa sakit lever,” guman Evana sendirian sambil tangannya asyik bermain
games.
Evana merogoh saku roknya.
Dikeluarkannya sebungkus kacang atom.
“Sambil istirahat, main games, makan
kacang atom. Waduuooww ueeenaakkee..! Dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi
tubuh. Aku kan lagi masa pertumbuhan…! Uph…!”
Evana kelabakan. Sebutir kacang atom
tertelan utuh. Agak mendelik, ia mencoba menelan kacang atom itu. Ia kemudian
mengubah posisi tidurnya. Miring. Acara makan kacang atom pun ia teruskan.
Matanya menatap tempat tidur lain yang kosong, terletak tepat di depannya.
“Ah, seandainya di situ terbaring
seorang cowok ganteng. Aku dan dia akan saling pandang. Asyik baaa…nget!”
Selesai berbicara, tiba-tiba pintu
terbuka. Evana buru-buru menyelipkan kacang atomnya ke bawah bantal. Ia mengira
Bu Reni akan mengeceknya.
Sebutir kacang atom jatuh.
Menggelonding. Berhenti tepat di ujung sepatu. Mata Evana memperhatikan sepatu
itu. Terus matanya diarahkan ke atas. Bukan Bu Reni yang berdiri di situ.
Seorang cowok berdiri di ambang pintu. Cowok itu membungkuk. Mengambil kacang
atom.
“Kacangmu?” menunjukkan kacang atom
itu ke Evana, “Dibuang, ya?” lanjutnya sambil tersenyum.
Tanpa menunggu jawaban, cowok itu
membuang kacang atom itu ke kotak sampah.
Evana masih bengong.
“Busyet…! Gantengnya cowok ini!”
serunya dalam hati.
Cowok itu tersenyum lagi. Ia
kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang berseberangan dengan Evana.
Evana terus memandangi cowok itu. Ia
sampai lupa membalas senyum cowok itu. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Evana
pun tersenyum semanis-manisnya. Seketika itu juga ke-tomboy-annya lenyap. Ia pun segera mencari kata pembuka.
“Sakit apa?”
Cowok itu tidak langsung menjawab.
Ia menoleh ke Evana. Tersenyum lagi kepada Evana.
Evana merinding menerima senyum itu.
Ia cepat-cepat membalas senyum cowok itu.
“Ada kelainan di jantungku.”
“Evana terkejut, “Sayang sekali.
Ganteng-ganteng kok jantungan,” pikir Evana.
“Siapa sih namamu?”
“Yohanda.”
Evana sedikit keki. Ia sudah lebih dahulu menanyakan nama cowok itu, tapi cowok
itu tidak balas menanyakan namanya, “Keciaaannn…. deh Loe!” seru Evana dalam
hati mengejek dirinya sendiri.
“Kamu kelas berapa?”
“Dua belas IPA1.”
“Dua belas IPA1? Anak baru, ya?
Perasaan aku belum pernah lihat kamu di kelas dua belas IPA1. Soalnya aku kenal
semua dengan anak dua belas IPA1.”
“Bukan, aku bukan anak baru. Aku
anak lama. Coba kamu cek di kantor TU. Namaku pasti ada di sana.”
Evana masih terus mengajak bicara
cowok itu. Tidak bosan-bosannya dan tanpa malu-malu lagi ia terus memandangi
wajah cowok itu. “Ke mana saja sih mataku selama ini? Ada cowok seganteng ini kok baru sekarang aku melihatnya?”
pikirnya.
Cowok itu bangkit. Evana terus
memandanginya.
“Mau ke mana?”
“Aku pulang duluan, ya?”
“Minta nomor HP-nya, dong!”
“Maaf, aku tidak punya HP.”
Evana heran, “Hari gini gak punya HP?” katanya dalam hati.
“Di mana rumahmu? Apa kamu tidak
dijemput?”
“Rumahku di kilometer tiga belas.
Aku biasa pulang sendiri.”
Sebelum pergi, cowok itu tersenyum
kepada Evana. Saat tersenyum matanya menyipit. Dua buah lengkungan terbentuk di
kedua pipi cowok itu. Wajahnya makin ganteng.
Evana melongo menghadapi pemandangan
di hadapannya. Cepat-cepat ia membalas senyum cowok itu.
Tet, tet, tet … Tet, tet, tet…
Bel istirahat berbunyi. Evana segera
turun dari tempat tidur. Ia tidak sabar untuk segera menceritakan perihal cowok
ganteng itu kepada Herlina.
Di luar Herlina sudah menanti Evana.
“Ya, ampun, Her! Mujur sekali
nasibku hari ini! Mimpi apa ya aku semalam?”
“Ada apa, sih? Kok senang banget sih?”
“Di ruang UKS tadi, aku ditemani
cowok yang gantengnya selangit! Gila banget
tuh cowok! Pokoknya, heboh, deh!”
“Ih, kamu ini! Seminggu yang lalu
kamu bilang si Agus cakep banget. Dua
hari lalu, Candra katamu cowok paling tampan. Terus, katamu, kamu ngefans banget sama Pak Rudi, guru
bahasa kesenian kita. Bingung, aku!”
“Ah, itu kan masa lalu! Pokoknya,
yang ini super heboh!”
“Ah, masa bodohlah!”
“Aku penasaran, deh, Her! Katanya
dia anak dua belas IPA1. Tapi kayaknya
aku belum pernah ketemu dia
sebelumnya. Kita tanya Bu Reni, yuk!”
Evana menyeret tangan Herlina masuk
ruang tata usaha. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Herlina mengikuti langkah
Evana.
“Ibu! Ibu Reni! Selamat siang, Bu!”
“Oh, kamu lagi, Evana! Ada apa, Van? Tidak jajan
di kantin?”
“Ada yang lebih penting daripada
jajan, Bu!”
“Apa?”
“Ini, lho, Bu …” malu-malu, “Siapa sih
cowok yang tadi masuk ruang UKS?”
“Tidak ada. Cuma kamu yang hari ini
masuk ruang UKS. Kamu kan memang sudah menjadi pelanggan tetap ruang UKS.”
“Ah, Ibu. Tadi setelah saya masuk, ada
cowok yang juga masuk ruang UKS, Bu. Namanya Yohanda.”
“Siapa?”
“Yohanda!”
“Sepertinya ibu pernah dengar nama
itu. Coba kamu bawa sini buku pengunjung ruang UKS itu!”
Evana mengambil buku itu.
Menyerahkannya kepada Ibu Reni. Bu Reni langsung memeriksa halaman per halaman.
“Nah, ini dia! Ibu ingat sekarang! Memang
ada yang bernama Yohanda. Ia juga pelanggan tetap ruang UKS seperti kamu. Ia
mengidap kelainan jantung.”
“Betul, Bu! Tepat sekali!”
Evana bersemangat.
“Kalau tidak salah, dulu ia siswa
kelas dua belas IPA1.”
“Sekali lagi, Ibu betul. Seratus untuk
Ibu Reni. Tapi, eh, kok, dulu?”
“Iya! Yohanda adalah murid kelas dua
belas IPA1 tahun yang lalu. Ia sudah meninggal dunia. Mungkin hari ini tepat
setahun ia meninggal dunia.”
“Apa, Bu! Sudah meninggal dunia?”
seru Evana sambil matanya membelalak.
“Iya, betul. Yang namanya Yohanda
itu sudah meninggal du…”
Ibu Reni tidak melanjutkan
penjelasannya. Tiba-tiba wajah Evana menjadi pucat. Badannya dingin dan lemas.
Herlina dan Bu Reni segera memegangi tubuh Evana yang lemas. Evana pingsan di
tempat.
Tubuh Evana digotong masuk ruang UKS. Pelan-pelan Evana dibaringkan di tempat tidur. Herlina mengambil minyak angin. Diusap-usapkannya minyak angin itu ke hidung Evana. Pelan-pelan Evana membuka matanya. Herlina dan Bu Reni pun lega. Bu Reni keluar.
Tubuh Evana digotong masuk ruang UKS. Pelan-pelan Evana dibaringkan di tempat tidur. Herlina mengambil minyak angin. Diusap-usapkannya minyak angin itu ke hidung Evana. Pelan-pelan Evana membuka matanya. Herlina dan Bu Reni pun lega. Bu Reni keluar.
“Jangan pergi, Her! Temani aku!”
Herlina mengangguk.
Tet, tet, tet… Tet, tet, tet …
Bel masuk berbunyi. Bu Reni masuk
ruang UKS.
“Herlina, kamu masuk ke kelas saja.
Nanti saya telepon orang tua Evana agar menjemputnya.”
Herlina pun keluar. Demikian juga Bu
Reni. Bu Reni menutup ruang UKS.
“Ja … jangan ditutup, Bu! Saya
takut, Bu! Temani saya, Bu!” kata Evana lirih.
Bu Reni tidak mendengar perkataan
Evana. Ia tetap menutup pintu ruang UKS. Kini Evana sendirian.
Jantung Evana pun berpacu dengan
kencang. Evana mencoba bangkit. Tapi, ia masih merasa lemas. Ia pun berbaring
lagi.
“Tidak usah takut! Biar aku yang
menemani kamu!”
Evana sangat mengenal dengan suara
itu. Ia menoleh ke arah suara itu. Ia terkejut. Di tempat tidur itu berbaring
Yohanda. Ia memandang Evana. Ia pun tersenyum kepada Evana. Seketika bulu kuduk
Evana berdiri tegak. Tegak dan kaku seperti paku. Wajahnya terasa menebal dan
kaku. Evana tergagap-gagap. Ia mencoba mengumpulkan segala tenaga yang ada.
“Wuuaaaa…..! Mamaaaaa…!”
Sekuat tenaga Evana berteriak. Tapi
kemudian suasana menjadi hening. Hanya sekali Evana berteriak. Ia pingsan lagi.
Mendengar teriakan Evana, Bu Reni
hendak masuk ruang UKS. Tapi, segera diurungkan niatnya. Ia tidak mendengar
teriakan Evana lagi. Ia pun geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Dasar anak zaman sekarang. Sakit
begitu saja teriak memanggil mamanya.”
Bu Reni kembali melanjutkan
pekerjaannya.
0 komentar:
Posting Komentar