Translate

cerpen senyum si ganteng di uks

Written By iqbal_editing on Senin, 24 Juli 2017 | 06.40



SENYUM SI GANTENG DI RUANG UKS
Oleh: H. Susanto Wiratmoko
            “Maaf, Pak! Saya permisi ke ruang UKS, Pak! Kepala saya pening, Pak!”
            Evana memijat-mijat kepalanya dengan satu tangan. Tangan yang lain memegangi perutnya. Sementara itu, Herlina berdiri di sampingnya. Ia memegangi tubuh Evana.
            “Evana! Kamu itu sudah sering sekali izin ke ruang UKS! Sebetulnya kamu sakit apa?” tanya PakEddy, guru matematika kelas dua belas, “Sakit apa sakit kamu itu?” lanjutnya.
            “Ya, sakitlah, Pak!”
            “Iya, sakit apa?”
            “Anu, … Sakit … anu… Pak …”
            “Sakit anu itu sakit apa?”
            “Anu … Pak … “ malu-malu, “sakit bulanan, Pak! Ah, Bapak. Kayak tidak tahu kebiasaan wanita saja!” jelas Evana sambil menggoyang-goyangkan badannya, dan tanggannya meremas-remas bajunya.
            “Bukannya saya tidak tahu sakit seperti itu. Setahu saya, sakit bulanan itu datangnya satu bulan sekali. Lha, kamu! Sakitnya kok satu minggu sekali, bahkan kadang dua tiga kali. Apa penyakit bulananmu sudah direformasi sehingga datangnya semau kamu?”
            “Ah, Bapak. Ya, tidak begitulah, Pak. Tapi, benar, Pak. Saat ini saya betul-betul sakit!”
            “Saya kok curiga! Kamu sakit matematika, ya?”
            “Maksud, Bapak?”
            “Tubuhmu itu punya daya tolak terhadap pelajaran matematika. Alergi matematika. Jadi, kalau ada pelajaran matematika, tubuhnya langsung sakit.’
            “Ah, Pak Eddy nih ada-ada saja. Tidak, saya tidak alergi matematika. Saya senang kok dengan pelajaran Bapak. Tapi, sekarang saya lagi sakit. Boleh, ya, Pak saya izin ke ruang UKS?”
            Evana makin meringis. Herlina mengusap-ngusap punggungnya.
            “Ya, sudah! Sana pergi ke UKS! Kamu juga sakit, Her?”
            “Tidak, Pak. Saya menemani Evana.”
            “Cepat sana kalian pergi!”
            “Terima kasih, Pak. Pak Eddy baik, deh!”
            Pak Eddy tersenyum kecil sambil memberi tanda agar Evana dan Herlina segera pergi.
            Evana dan Herlina terus ngeloyor pergi. Evana dengan sedikit dipapah Herlina berjalan keluar. Bibirnya meringis, dan jalannnya dibungkuk-bungkukkan.
            Setelah sampai di luar kelas, Evana menengok ke belakang. Pak Eddy sudah tidak tampak. Ia pun menegakkan badannya. Sambil mengepal diangkatnya tangannya tinggi, lalu dengan kuat sikutny ia hentakkan ke bawah kuat-kuat.
            “Yess…!” serunya.
            Herlina terkejut bukan kepalang.
            “Hei..! Jangan begitu, Van! Kamu ini nekad betul! Ketahuan mampus Loe!”
            “Tenang, Her! Tenang! Santai aja! Ini masa damai, jangan takut!”
            “Gila benar kamu!”
            “Baru tahu, ya?”
            Evana terus berjingkrak-jingkrak kegirangan. Setengah berlari ia menuju ke ruang UKS. Untuk memasuki ruang UKS, ia harus melalui ruang tata usaha. Saat masuk ruang tata usaha, Evana kembali ke gaya semula; memelas sambil memegangi perutnya, dan berjalan tertatih-tatih.
            “Permisi, Bu! Saya mau ke ruang UKS, Bu!”
            “Kamu lagi! Kamu kenapa?” tanya Bu Reni, petugas tata usaha.
            “Sakit, Bu! Aduh …!”
            “Tunggu! Isi dulu buku pengunjung UKS. Siapa namamu? Kelas?”
            “Evana, Bu. Kelas sebelas IPS5, Bu.”
            Bu Reni menulis nama dan kelas Evana di buku pengunjung UKS.
            “Nah, ini! Coba kamu lihat! Dalam satu minggu ini saja nama Evana sudah tertulis tiga kali. Ini namamu, kan?”
            “Iya, Bu.”
            “Tanda tangan di sini!”
            Setelah tanda tangan, dengan dipapah Herlina, Evana masuk ruang UKS. Pelan-pelan Herlina menutup pintu ruang UKS. Setengah melompat, Evana menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Segera ia mengeluarkan handphone-nya.
            Tiba-tiba pintu dibuka. Bu Reni sudah berdiri di ambang pintu. Evana kaget bukan kepalang.
            “Kamu sakit kok bermain HP? Kamu pura-pura sakit, ya?”
            “Ti… tidak, Bu! Saya mau menghubungi orang tua saya, Bu!” jawab Evana sekenanya.
            “Oh, ya, sudah. Herlina, kamu tidak usah menemani Evana. Kamu masuk kelas saja. Biarlah Evana sendiri di sini.”
            “Iya, Bu!” sambil keluar.
            Setelah Herlina dan Bu Reni keluar, Evana cekikikan menahan tawa. Ia pun menguap.
            “Wuaaa …hhh! Asyik, asyik …! Ngapain susah-susah mikirin matematika? Beli bakso juga nggak perlu pakai matematika. Tiduran begini sambil main games di HP kan malah sehat. Orang kan perlu banyak istirahat. Kurang istirahat bisa-bisa sakit lever,” guman Evana sendirian sambil tangannya asyik bermain games.
            Evana merogoh saku roknya. Dikeluarkannya sebungkus kacang atom.
            “Sambil istirahat, main games, makan kacang atom. Waduuooww ueeenaakkee..! Dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi tubuh. Aku kan lagi masa pertumbuhan…! Uph…!”
            Evana kelabakan. Sebutir kacang atom tertelan utuh. Agak mendelik, ia mencoba menelan kacang atom itu. Ia kemudian mengubah posisi tidurnya. Miring. Acara makan kacang atom pun ia teruskan. Matanya menatap tempat tidur lain yang kosong, terletak tepat di depannya.
            “Ah, seandainya di situ terbaring seorang cowok ganteng. Aku dan dia akan saling pandang. Asyik baaa…nget!”
            Selesai berbicara, tiba-tiba pintu terbuka. Evana buru-buru menyelipkan kacang atomnya ke bawah bantal. Ia mengira Bu Reni akan mengeceknya.
            Sebutir kacang atom jatuh. Menggelonding. Berhenti tepat di ujung sepatu. Mata Evana memperhatikan sepatu itu. Terus matanya diarahkan ke atas. Bukan Bu Reni yang berdiri di situ. Seorang cowok berdiri di ambang pintu. Cowok itu membungkuk. Mengambil kacang atom.
            “Kacangmu?” menunjukkan kacang atom itu ke Evana, “Dibuang, ya?” lanjutnya sambil tersenyum.
            Tanpa menunggu jawaban, cowok itu membuang kacang atom itu ke kotak sampah.
            Evana masih bengong.
            “Busyet…! Gantengnya cowok ini!” serunya dalam hati.
            Cowok itu tersenyum lagi. Ia kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tidur yang berseberangan dengan Evana.
            Evana terus memandangi cowok itu. Ia sampai lupa membalas senyum cowok itu. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Evana pun tersenyum semanis-manisnya. Seketika itu juga ke-tomboy-annya lenyap. Ia pun segera mencari kata pembuka.
            “Sakit apa?”
            Cowok itu tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke Evana. Tersenyum lagi kepada Evana.
            Evana merinding menerima senyum itu. Ia cepat-cepat membalas senyum cowok itu.
            “Ada kelainan di jantungku.”
            “Evana terkejut, “Sayang sekali. Ganteng-ganteng kok jantungan,” pikir Evana.
            “Siapa sih namamu?”
            “Yohanda.”
            Evana sedikit keki. Ia sudah lebih dahulu menanyakan nama cowok itu, tapi cowok itu tidak balas menanyakan namanya, “Keciaaannn…. deh Loe!” seru Evana dalam hati mengejek dirinya sendiri.
            “Kamu kelas berapa?”
            “Dua belas IPA1.”
            “Dua belas IPA1? Anak baru, ya? Perasaan aku belum pernah lihat kamu di kelas dua belas IPA1. Soalnya aku kenal semua dengan anak dua belas IPA1.”
            “Bukan, aku bukan anak baru. Aku anak lama. Coba kamu cek di kantor TU. Namaku pasti ada di sana.”
            Evana masih terus mengajak bicara cowok itu. Tidak bosan-bosannya dan tanpa malu-malu lagi ia terus memandangi wajah cowok itu. “Ke mana saja sih mataku selama ini? Ada cowok seganteng ini kok baru sekarang aku melihatnya?” pikirnya.
            Cowok itu bangkit. Evana terus memandanginya.
            “Mau ke mana?”
            “Aku pulang duluan, ya?”
            “Minta nomor HP-nya, dong!”
            “Maaf, aku tidak punya HP.”
            Evana heran, “Hari gini gak punya HP?” katanya dalam hati.
            “Di mana rumahmu? Apa kamu tidak dijemput?”
            “Rumahku di kilometer tiga belas. Aku biasa pulang sendiri.”
            Sebelum pergi, cowok itu tersenyum kepada Evana. Saat tersenyum matanya menyipit. Dua buah lengkungan terbentuk di kedua pipi cowok itu. Wajahnya makin ganteng.
            Evana melongo menghadapi pemandangan di hadapannya. Cepat-cepat ia membalas senyum cowok itu.
            Tet, tet, tet … Tet, tet, tet…
            Bel istirahat berbunyi. Evana segera turun dari tempat tidur. Ia tidak sabar untuk segera menceritakan perihal cowok ganteng itu kepada Herlina.
            Di luar Herlina sudah menanti Evana.
            “Ya, ampun, Her! Mujur sekali nasibku hari ini! Mimpi apa ya aku semalam?”
            “Ada apa, sih? Kok senang banget sih?”
            “Di ruang UKS tadi, aku ditemani cowok yang gantengnya selangit! Gila banget tuh cowok! Pokoknya, heboh, deh!”
            “Ih, kamu ini! Seminggu yang lalu kamu bilang si Agus cakep banget. Dua hari lalu, Candra katamu cowok paling tampan. Terus, katamu, kamu ngefans banget sama Pak Rudi, guru bahasa kesenian kita. Bingung, aku!”
            “Ah, itu kan masa lalu! Pokoknya, yang ini super heboh!”
            “Ah, masa bodohlah!”
            “Aku penasaran, deh, Her! Katanya dia anak dua belas IPA1. Tapi kayaknya aku belum pernah ketemu dia sebelumnya. Kita tanya Bu Reni, yuk!”
            Evana menyeret tangan Herlina masuk ruang tata usaha. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Herlina mengikuti langkah Evana.
            “Ibu! Ibu Reni! Selamat siang, Bu!”
            “Oh, kamu lagi, Evana! Ada apa, Van? Tidak jajan di kantin?”
            “Ada yang lebih penting daripada jajan, Bu!”
“Apa?”
“Ini, lho, Bu …” malu-malu, “Siapa sih cowok yang tadi masuk ruang UKS?”
“Tidak ada. Cuma kamu yang hari ini masuk ruang UKS. Kamu kan memang sudah menjadi pelanggan tetap ruang UKS.”
“Ah, Ibu. Tadi setelah saya masuk, ada cowok yang juga masuk ruang UKS, Bu. Namanya Yohanda.”
“Siapa?”
“Yohanda!”
“Sepertinya ibu pernah dengar nama itu. Coba kamu bawa sini buku pengunjung ruang UKS itu!”
Evana mengambil buku itu. Menyerahkannya kepada Ibu Reni. Bu Reni langsung memeriksa halaman per halaman.
“Nah, ini dia! Ibu ingat sekarang! Memang ada yang bernama Yohanda. Ia juga pelanggan tetap ruang UKS seperti kamu. Ia mengidap kelainan jantung.”
“Betul, Bu! Tepat sekali!”
Evana bersemangat.
“Kalau tidak salah, dulu ia siswa kelas dua belas IPA1.”
“Sekali lagi, Ibu betul. Seratus untuk Ibu Reni. Tapi, eh, kok, dulu?”
            “Iya! Yohanda adalah murid kelas dua belas IPA1 tahun yang lalu. Ia sudah meninggal dunia. Mungkin hari ini tepat setahun ia meninggal dunia.”
            “Apa, Bu! Sudah meninggal dunia?” seru Evana sambil matanya membelalak.
            “Iya, betul. Yang namanya Yohanda itu sudah meninggal du…”
            Ibu Reni tidak melanjutkan penjelasannya. Tiba-tiba wajah Evana menjadi pucat. Badannya dingin dan lemas. Herlina dan Bu Reni segera memegangi tubuh Evana yang lemas. Evana pingsan di tempat.      
            Tubuh Evana digotong masuk ruang UKS. Pelan-pelan Evana dibaringkan di tempat tidur. Herlina mengambil minyak angin. Diusap-usapkannya minyak angin itu ke hidung Evana. Pelan-pelan Evana membuka matanya. Herlina dan Bu Reni pun lega. Bu Reni keluar.
            “Jangan pergi, Her! Temani aku!”
            Herlina mengangguk.
            Tet, tet, tet… Tet, tet, tet …
            Bel masuk berbunyi. Bu Reni masuk ruang UKS.
            “Herlina, kamu masuk ke kelas saja. Nanti saya telepon orang tua Evana agar menjemputnya.”
            Herlina pun keluar. Demikian juga Bu Reni. Bu Reni menutup ruang UKS.
            “Ja … jangan ditutup, Bu! Saya takut, Bu! Temani saya, Bu!” kata Evana lirih.
            Bu Reni tidak mendengar perkataan Evana. Ia tetap menutup pintu ruang UKS. Kini Evana sendirian.
            Jantung Evana pun berpacu dengan kencang. Evana mencoba bangkit. Tapi, ia masih merasa lemas. Ia pun berbaring lagi.
            “Tidak usah takut! Biar aku yang menemani kamu!”
            Evana sangat mengenal dengan suara itu. Ia menoleh ke arah suara itu. Ia terkejut. Di tempat tidur itu berbaring Yohanda. Ia memandang Evana. Ia pun tersenyum kepada Evana. Seketika bulu kuduk Evana berdiri tegak. Tegak dan kaku seperti paku. Wajahnya terasa menebal dan kaku. Evana tergagap-gagap. Ia mencoba mengumpulkan segala tenaga yang ada.
            “Wuuaaaa…..! Mamaaaaa…!”
            Sekuat tenaga Evana berteriak. Tapi kemudian suasana menjadi hening. Hanya sekali Evana berteriak. Ia pingsan lagi.
            Mendengar teriakan Evana, Bu Reni hendak masuk ruang UKS. Tapi, segera diurungkan niatnya. Ia tidak mendengar teriakan Evana lagi. Ia pun geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
            “Dasar anak zaman sekarang. Sakit begitu saja teriak memanggil mamanya.”
            Bu Reni kembali melanjutkan pekerjaannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik