Warung beratap anyaman daun kelapa yang
berada persis di perempatan jalan besar yang salah satunya menghubungkan
ke kawasan Malioboro itu terlihat begitu ramai dikunjungi pembeli
setiap pagi. Warung itu adalah warung nasi gudeg milik Yu Siti yang
cukup pandai meracik makanan khas dari kota Yogyakarta.
Gudeg khas racikan jemari tangan
perempuan baya yang telah lima tahun hidup menjanda dan belum dikaruniai
anak itu memang sangat diminati warga sekitar. Bahkan banyak pula warga
dari daerah-daerah lain yang setiap pagi berdatangan dan rela mengantre
demi bisa menikmati sebungkus nasi gudeg Yu Siti. Tua, muda, laki-laki,
perempuan, bahkan anak-anak SD, semua mengujar senada; menggemari nasi
gudeg bikinan Yu Siti yang rasanya uenak tenan[1].
Kendati ada juga beberapa warung tak
begitu jauh dari sebelah selatan warung Yu Siti yang juga menjual menu
senada (gudeg dan beberapa makanan khas Yogyakarta) namun tetap saja
lidah-lidah warga tak dapat dibohongi. Entahlah, ada rahasia apa
sehingga hanya nasi gudeg Yu Siti yang paling diminati dan dirindui. Dan
ternyata, tak hanya nasi gudeg yang menjadi menu favorit para pelanggan
setia Yu Siti. Ayam opor, sambal goreng krecek, dan minuman teh gula
batu yang menjadi lauk pelengkap saat menyantap nasi gudeg pun cukup
dirindui oleh lidah-lidah pembeli yang selalu membludak saban hari.
Terbukti, ketika sang mentari telah
melesat hingga kira-kira sepantaran ujung tombak, makanan serta minuman
khas asli kota Yogyakarta itu selalu kandas melunas di perut-perut
kenyang para pelanggan setianya. Saking larisnya gudeg buatan Yu Siti, hingga membuat wajah-wajah para pelanggannya sontak beriak kecewa ketika sudah bela-belain mengantre, eh… ternyata nasi gudeg yang ditunggu-tunggu itu sudah ludes diserbu pembeli yang datang mengantre lebih awal.
Waduh, nyuwun pangapunten nggih, sekul gudege sampun telas,[2]
ucap Yu Siti dengan gurat wajah sedih ketika melihat kenyataan; nasi
gudegnya telah habis sementara masih ada beberapa pembeli beraut kecewa
karena tidak kebagian nasi gudeg khas bikinannya.
Dan, demi memuaskan lidah-lidah para pelanggannya itulah, lantas Yu Siti berinisiatif membuat peraturan anyar
yang mesti dipatuhi para pelanggan setianya. Peraturan itu ditulis
manual pakai spidol merek murahan dengan huruf Latin besar-besar (waktu
itu belum ada perangkat komputer, laptop, apalagi notebook) di selembar kertas manila putih dan ditempel di salah satu saka bambu warungnya yang terlihat cukup kokoh itu.
Isi tulisannya seperti ini:
Nuwun sewu lan
permaklumanipun, nggih. Kagem sedoyo pelanggan, mboten dipun parengaken
tumbas sekul gudeg ngeluwihi kalih porsi. Cekap semanten lan matur nuwun.[3]
***
Ajaib! Sungguh ajaib! Sehari pasca
diterakan peraturan baru yang tanpa terlebih dulu meminta kesepakatan
dari para pelanggan setianya itu, warga yang semula mengantre dan tak
kebagian jatah nasi gudegnya Yu Siti pun langsung berkurang drastis.
Bahkan seminggu berselang, pasca ditempelnya peraturan manual itu, sama
sekali tak ada pelanggan yang tak bisa menikmati nasi gudeg khas racikan
jemari tangan Yu Siti. Semua kebagian sama rata. Satu, atau dua porsi.
Bibir-bibir para pelanggan yang rela mengantre pun selalu melengkungkan senyum kepuasan karena setelah mereka bela-belain
mengantre cukup lama, pada akhirnya terpuaskan dengan nasi gudeg, ayam
opor, sambal goreng krecek, serta minuman teh gula batunya Yu Siti yang
rasanya uenak tenan itu.
***
Pernah, selama lima hari berturut-turut,
Yu Siti absen tak berjualan nasi gudeg. Semua warga yang telah kadung
datang untuk membeli nasi gudeg, dengan raut kecewa saling melempar
tanya; mengapa Yu Siti tak berjualan nasi gudeg lagi. Dan, waktu itu,
tak ada satu pun dari para pelanggannya yang menahu, mengapa Yu Siti
absen tak berjualan nasi gudeg. Lantas, pada hari keenam, atas
kesepakatan bersama, para pelanggan setia nasi gudeg Yu Siti pun
berbondong menuju rumah Yu Siti yang ternyata berada tak begitu jauh
dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ternyata, musabab utama Yu Siti tak
berjualan nasi gudeg karena ia sedang sakit. Mulanya, Yu Siti mengira
hanya masuk angin biasa dan cukup meminum jamu tolak angin yang dijual
bebas di toko-toko obat terdekat. Tapi sehari kemudian, panasnya belum
juga reda, bahkan kian meningkat saja. Hingga akhirnya, Yu Siti pun
memeriksakan diri ke dokter terdekat. Katanya, Yu Siti terserang gejala
tifus (hepatitis A yang menurut ahli medis disebabkan oleh bakteri salmonella typhi) atau pada zaman itu biasa disebut dengan penyakit kuning yang ditandai dengan warna tubuh yang kekuning-kuningan.
Beruntung, Yu Siti belum terlambat
memeriksakan diri. Sehingga dua hari setelah minum obat yang diberikan
Pak dokter, panas dan demam Yu Siti berangsur turun. Kesehatan
Yu Siti perlahan pulih. Sesuai anjuran dokter, Yu Siti harus banyak
beristirahat. Jangan melakukan aktivitas yang berat-berat dulu. Dan
harus segera kontrol ke dokter jika tiba-tiba merasa tak enak badan,
atau obat yang diberikan dokter menimbulkan efek samping, atau bahkan
tak ada pengaruhnya sama sekali.
Begitu mendengar cerita menyedihkan yang
terpapar dari bibir pucat Yu Siti yang tengah terbaring lemas di dipan
bambu, semua pelanggan nasi gudegnya merasa tersentuh, trenyuh baur haru. Malah sampai ada yang menitikkan air mata saking sedihnya. Sebelum pulang,
masing-masing dari mereka (tanpa dikomando) mengeluarkan beberapa koin
uang sekadar untuk membantu Yu Siti yang sedang mendapat ujian berupa
sakit itu.
Mulanya Yu Siti bersikeras menolak
pemberian uang dari para pelanggan setia nasi gudegnya yang ternyata
memiliki hati mulia bak malaikat. Tapi, tetap saja, pada akhirnya Yu
Siti tak kuasa untuk menolak. Karena semua pelanggan setianya itu
mengatakan benar-benar tulus ikhlas ingin membantu dan berharap
kesehatan Yu Siti lekas pulih dan sesegera mungkin bisa kembali
berjualan nasi gudeg lagi.
***
Seminggu berselang. Akhirnya Yu Siti
kembali muncul—dengan senyum dan keramahan khasnya saat melayani para
pelanggan setianya—di warung beratap anyaman bambu di perempatan jalan
besar yang salah satunya menghubungkan ke kawasan Malioboro itu.
Dan seperti sebelum-sebelumnya, warung
Yu Siti kembali ramai diserbu para pembeli dari berbagai daerah yang
telah lama merindui nasi gudeg, ayam opor, sambal goreng krecek, serta
teh gula batu hasil racikan jemari tangannya yang mulai terlihat
mengeriput itu.
***
Hingga, pada suatu pagi yang bergulung
gelembung mendung serta bertabur rerintik gerimis, warung gudeg Yu Siti
kembali tutup. Hei, jangan-jangan Yu Siti absen tak berjualan karena
jatuh sakit lagi sebagaimana tempo hari. Aduh, gawat, jangan-jangan Yu
Siti kena tifus lagi. Iya, pasti tifusnya kumat lagi, tuh. Ya,
Tuhan, kasihan sekali Yu Siti setiap hari meracik gudeg sendirian hingga
jatuh sakit seperti itu. Pasti Yu Siti sangat kecapekan, bikin nasi
gudeg tiap hari tanpa menyewa jasa rewang hingga jatuh sakit lagi. Dan masih banyak lagi praduga senada dari para pelanggan setia nasi gudeg Yu Siti waktu itu.
Dan, tak menunggu berganti hari, para
pelanggan setia gudeg Yu Siti bersepakat untuk menyambangi rumah Yu
Siti. Mereka begitu mengkhawatirkan kondisi Yu Siti. Tapi, begitu tiba
di rumah kayu Yu Siti, mereka langsung dibikin terperangah. Rumah
kediaman Yu Siti dan juga beberapa rumah warga lainnya telah rata dengan
tanah. Menurut penuturan beberapa warga yang tengah memulung sampah di
tempat itu, katanya, kemarin telah terjadi penggusuran besar-besaran
atas perintah pemda kabupaten. Entah, tak ada yang menahu dengan alasan
penggusuran permukiman yang menjadi tempat kelahiran Yu Siti itu. Pula,
tak ada satu pun warga yang menahu dengan keberadaan Yu Siti.
Dan, setelah tragedi penggusuran yang
tragis itu, warung gudeg Yu Siti tampak lengang. Sepi tanpa satu pun
warga yang berbondong mengantre sebagaimana hari-hari sebelumnya. Kabar
keberadaan Yu Siti pun kian mengabur terpintal pusaran angin. Sungguh,
benar-benar tak ada yang menahu Yu Siti tinggal di mana.
Bahkan, tak mencapai masa dua minggu
pasca penggusuran permukiman itu, warung beratapkan anyaman daun pohon
kelapa yang menjadi tempat berjualan nasi gudeg Yu Siti tiba-tiba saja
lenyap. Raib. Entah siapa yang telah merobohkannya.
***
Dua tahun berselang, terlihat
pemandangan baru di perempatan jalan besar yang salah satunya
menghubungkan ke kawasan Malioboro itu. Para warga yang sebelumnya
datang berbondong bahkan rela mengantre cukup lama demi menikmati nasi
gudeg Yu Siti, kemudian beramai-ramai menyambangi kafe-kafe dan juga
resto-resto siap saji yang menawarkan beragam jenis masakan khas dari
luar daerahnya sendiri.
O, sebentar. Sebentar saya ralat. Bukan.
Bukan dari luar daerah malah. Tapi makanan khas luar negeri yang
teramat sulit lidah-lidah kita—yang orang Jawa asli—untuk melafazkan
nama-nama makanan dan minumannya yang menggunakan bahasa-bahasa asing
itu.
Kawan, kini, tak ada lagi cerita tentang nasi gudeg Yu Siti yang rasanya uenak tenan itu.
Bahkan, lidah-lidah warga kini telah mulai melupa tentang bagaimana
rasa manis dan gurihnya nasi gudeg, ayam opor, sambal goreng krecek,
serta manisnya teh gula batu hasil racikan jemari tangan Yu Siti.
Puring Kebumen, 2011-2015
0 komentar:
Posting Komentar