Petang, selepas sholat ashar berjamaah di Musholla Assyatiriyyah para
jamaah tidak langsung pulang ke rumah. Mereka berkumpul karena
sebelumnya telah sepakat untuk menghadiri undangan pesta perkawinan Awi,
salah satu jamaah musholla yang tinggal di wilayah RT sebelah.
Dan, sudah menjadi tradisi atau kebiasaan yang diwariskan oleh nenek
moyang terdahulu (entah generasi yang keberapa?) sebelum berangkat ke
acara undangan, atau yang akrab disebut dengan istilah “kondangan”, para
jamaah mengumpulkan ‘uang kondangan’ yang dikoordinir oleh salah
seorang diantaranya.
“Saya kondangan Rp 10.000,” kata Kong Haji Badrul sesepuh kampung yang juga merangkap imam besar Musholla.
“Nggak kedikitan, Kong Haji?” tanya Encep yang ditugaskan mengkoordinir uang kondangan.
“Ah, segitu mah kebanyakan. Dulu waktu ngawinin cucu ane, ‘pan si Awi
cuman kondangan Rp 5.000 doangan,” jawab Kong Haji Badrul sambil
memberikan 10 lembar uang seribuan kepada Encep.
“Yaa, kali aje Kong Haji sebagai sesepuh dan orang yang dihormati di
kampung ini mau ngebahagiain Awi dengan kondangan lebih dari Rp 10.000,”
balas Encep sambil sedikit tersenyum canda.
Dibecandain seperti itu Kong Haji Badrul diem aja. Lalu ia merogoh
kembali kantung gamisnya dan mengambil uang pecahan Rp 2000-an yang
baru. “Nih, ane tambahin duaribu perak. Jadi ane kondangan Rp. 12.000
tuh. Jangan lupa ditulis yang ‘kereng’ biar jelas!” ujar Kong Haji
Badrul.
Si Encep buru-buru mencatat jumlah uang kondangan Kong Haji Badrul
sambil menahan senyumnya yang sebenarnya kalo nggak ditahan senyumnya
itu bisa kelihatan sangat manis.
Setelah itu barulah para jamaah lainnya menyetorkan uang kondangannya
kepada Encep, sang juru tulis kondangan. Jumlahnya variatif. Dari Rp.
20.000 hingga Rp. 50.000. Semuanya dicatat rapi oleh Encep untuk
kemudian diserahkan kepada si empunya hajat, si Awi alias Mad Rawi,
salah seorang jamaah Musholla yang hari ini dapat istri orang
‘seberang’. (Maksudnya seberang kali yang ada di kampung itu, bukan
seberang lautan lho!)
Lalu tiba giliran si Ubey, merbot musholla, menghampiri Encep.
“Bey, ente mau kondangan berapa duit?” tanya Encep.
Ubey tak langsung menjawab. Ia malah sibuk melirik kanan-kiri sambil
sedikit menggaruk-garuk jidatnya yang tampak sedikit hitam di tengahnya.
(Catatan: Jidat Ubey hitam bukan karena banyak sujud
sholat malam, tapi memang ada bekas luka jatuh sewaktu ngebetulin kipas
angin musholla sebulan yang lalu).
Sambil menyimpulkan senyum Ubey berkata, “Cep, ane kagak bisa kasih
duit nih buat kondangan ke si Awi. Tapi ane punya doa restu yang udah
ane karang sejak semalam. Apa perlu ditulis bunyi doa ane di buku
kondangan itu?” tanya Ubey.
“Dari sejak banjir zaman Nabi Nuh as kagak ada sejarahnya kondangan
cuma nitip doa doangan, Bey. Apa kata dunia nanti?” jawab Encep.
“Lha, kan tertulis jelas di undangannya, “Mohon Doa Restu”, kagak ada
tuh tulisan minta ‘uang’ kondangan? Jadi doa restu merupakan bentuk
bantuan ane untuk si Awi dan istrinya agar menjadi keluarga sakinah. Doa
restu itu mahal lho harganya. Nggak bisa disamakan dengan uang
kondangan berapapun jumlahnya!” jelas Ubey berargumen.
Tiba-tiba Kong Haji Badrul merapat. Suara batuk ringan Kong Haji
Badrul meredam percakapan Ubey dan Encep yang sibuk membahas doa
kondangan si Ubey.
“Uhugh…! Ada apa sih, pada ribut-ribut aja. Bukannya buru-buru
berangkat. Udah sore nih, ‘ntar keburu kehabisan makan prasmanannya!”
kata Kong Haji Badrul.
“Begini, Kong Haji. Masa si Ubey cuma nulis doa restu doang di buku
kondangan, kagak ngasih duit. Alasannya, dalam undangan si Awi cuma
tertulis “Mohon Doa Restu,” ujar Encep.
Kong Haji Badrul diam sebentaran. Lalu sehabis puas diam, baru ia
berkata, “Yaah, doa itu memang kudu kita haturkan buat si penanten agar
menjadi keluarga sakinah. Tapi zaman sekarang kagak pantes cuma kasih
doa doang buat orang pesta. ‘Kan mereka ngadain pesta perkawinan pake
uang, pake modal. Nah, uang kondangan kita itu itung-itung bantuin
mereka ngadain pesta,” kata Kong Haji berusaha memberikan jawaban
sebijaksana mungkin.
Mendengar penjelasan Kong Haji Badrul sang sepuh kampung yang pasti
dianggap bijaksana oleh seluruh jamaah, si Ubey sedikit meringis.
Kemudian berkata, “Begini, Kong Haji. Saya bukannya kagak mau kasih uang
kondangan. Tapi saya takut berdosa kalo kasih uang ke pesta kawinan si
Awi,” kata Ubey.
“Lha, kok bantuin orang pesta berdosa. Dalilnya dari mana, Bey?”
tanya Kong Haji sambil diiringi keheranan oleh jamaah yang ada, termasuk
Encep.
“Begini, Kong Haji,” ucap Ubey. “Pan, si Awi ngadain pesta kawinan
sambil nanggap orkes dangdut. Nah, menurut saya, dengan uang kondangan
itu kita udah termasuk ikut dalam pembiayaan orkes dangdut. Atau paling
tidak kita sudah berpartisipasi dan setuju dengan adanya orkes dangdut
itu. Padahal orkes dangdut itu sering melahirkan berbagai dampak maksiat
di dalamnya.,” ucap Ubey serius. “Bukankah Kong Haji paling nggak suka
sama orkes dangdut yang penyanyinya keseringan pada ngobral aurat dan
penontonnya pada mabuk dan teler?” tambah Ubey lagi-lagi dengan serius.
Belum sampai Kong Haji mengomentari apa yang dikatakan si Ubey,
tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara Bang Hasan berteriak-teriak.
“Kong Haji, Kong Haji!!!”
Setelah dekat dengan Kong Haji Badrul dan jamaah musholla yang
rencananya mau berangkat kondangan itu, sambil menahan
keterengah-engahannya Bang Hasan meneruskan ucapannya, “Kong Haji dan
bapak-bapak sekalian. Mendingan kondangan ke tempat si Awi dibatalin aja
dah,” katanya.
“Lha, memangnya kenapa sih, San?” tanya kong Haji Badrul.
Masih sedikit tersengal nafasnya, Bang Hasan berkata lagi,
“Suasananya kacau, Kong Haji. Gara-gara penonton orkes dangdut pada
mabuk akhirnya terjadi keributan di tempat pesta perkawinan si Awi.
Piring dan gelas yang sedianya buat makan prasmanan pada hancur
berantakan karena perkelahian penonton yang teler itu. Penganten dan
besan pada kabur mengungsi entah kemana. Kini di sana dipasang garis
polisi karena kabarnya ada korban luka yang terkena bacokan. Udah dah,
mending dibatalin aja kondangannya.”
“Terus, apa ente kenal orang yang terluka kena bacokan itu?” tanya Kong Haji.
“Si Amir, cucu Kong Haji!” jawab Bang Hasan.
Kong Haji diam mendengar nama Amir, cucu kesayangannya, disebut-sebut
sebagai korban ‘tragedi dangdut’. Wajahnya sedikit berwarna ‘pink’
karena menahan amarah yang biasanya berwarna ‘merah’.
Sebelum tekanan darah tinggi Kong Haji Badrul meningkat, si Ubey
buru-buru berkata, “Nah, kalo gitu, buruan dah kita longok si Amir. Dan,
kalo dia masuk rumah sakit, kita pakai aja uang kondangan yang tadi
kita kumpulkan buat ongkos berobat si Amir, cucu Kong Haji Badrul itu.
Begimana?”
Tidak ada jawaban dari jamaah. Mereka hanya saling bertukar
pandangan kosong saja. Mungkin karena agak shock mendengar kabar dari
Bang Hasan.
Akhirnya, setelah agak lama saling bertukar pandangan kosong, para
jamaah pun menyepakati apa yang dikatakan si Ubey. Mereka yang
rencananya mau berangkat ke pesta perkawinan si Awi kemudian
membelokkan niat dan langkahnya menuju rumah sakit menjenguk si Amir,
cucu Kong Haji Badrul yang menjadi korban ‘tragedi dangdut’ di tempat
pestanya si Awi.
Lalu, mengenai masalah antara “uang kondangan dan doa restu” yang
tadi diperdebatkan oleh Ubey dan Encep kemungkinan akan dibahas pada
pengajian yang diadakan tiap malam Selasa di musholla Assyatiriyyah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar