Kawan, ingin
ku ceritakan sesuatu padamu. Sesuatu yang takkan pernah ku lupakan. Sesuatu
yang sangat ku sesali. Sesuatu yang selalu membuatku menangis saat
mengenangnya. Sesuatu yang takkan ada seorangpun yang ingin mengalaminya.
Apakah itu? Itulah kematianku.
Hari itu,
hari di mana aku mati. Ku kancing bajuku dengan terburu-buru. Selepas
berpakaian aku segera menyiapkan barang bawaanku. Golok, celurit, pedang dan
yang lainnya takkan ku lupa. Hari ini aku akan berperang. Bergegaslah aku
berangkat menuju medan perang yang begitu hebat. Medan perang yang sangat ku
rindukan.
“ Ma aku
pamit dulu “ teriakku tuk pamit pada ibuku. “ Jangan menginap di rumah temen
kamu lagi, hari ini Mama masak makanan kesukaan kamu loh “ pinta ibuku. “ Hari
ini aku pasti pulang, Ma. Aku janji aku pasti pulang “ sahutku. Setelah itu aku
langsung pergi meninggalkan rumahku, meninggalkan ibuku sendirian. Aku tak
mencium tangannya. Aku tak ucap salam untuknya. Maafkan aku ibu, aku tak sabar.
Aku tak sabar untuk berperang. Aku tak sabar memenggal kepala musuhku.
Sepanjang
jalan wajah ibuku selalu mengambang di pikiranku. Wajahnya yang mulai keriput
tak bisa lepas dari otakku. Perasaanku mulai tak enak. Namun aku harus buang
perasaanku itu. Aku akan berperang, bukan? Aku harus konsentrasi.
Sesampainya
di medan perang aku bergegas menemui teman-temanku. Mereka tersenyum lebar.
Mereka kegirangan sebagai sambutan untuk panglima perang mereka yang telah
datang. “ Gimana senjata lu? Lengkap gak? “ tanya salah satu kawanku. “ Weiits,
iyalah. Gue kan udah tak sabar. Gue yakin hari ini kita menang lagi” jawabku
dengan nada sombong.
Setelah itu
kami berbincang untuk mengatur strategi peperangan nanti sembari menunggu
kawanan musuh kami datang dan menyatakan siap. Kami terbakar api semangat. Kami
tenggelam dalam rasa tak sabar. Hingga akhirnya waktu yang kami tunggu-tunggu
tiba. Musuh kami tiba di tempat. Namun aneh, jumlah mereka sangat sedikit.
Kalah banyak dengan jumlah kawananku.
Dengan
jumlah sedikit itu mereka takkan bisa menang dari kami. Kami akan menghabisi
mereka satu per satu. Takkan ada yang tersisa. Mereka bukan tandingan kami.
Dari kejauhan kami melihat mereka. Wajah mereka begitu pucat, nampaknya mereka
ketakutan. Seperti anak kucing kehilangan induknya. Selain itu senjata mereka
pun sangat minim.
“ Friends,
hari ini kita pasti menang “ kataku pada kawan-kawanku. Mereka terseyum seraya
mengiyakan perkataanku. Satu persatu dari mereka mulai maju. Begitu juga dengan
pihak kami. Ku perintahkan bawahanku untuk maju pertama sedangkan aku hanya
mengawasi dari jauh. Pertarungan hari ini sangat sengit. Matahari membakar
ubun-ubun kami hingga berasap. Asap semangat yang sudah lama kami tak rasakan.
Para pejalan
kaki lari terbirit-birit pergi meninggalkan tempat itu. Mereka takut kena
sasaran kami. Melihat sekelompok pelajar tauran adalah hal yang mengerikan bagi
mereka. Maka dari itu mereka pergi ke tempat yang lebih aman. Semoga saja
mereka tak memanggil polisi.
Pertempuran
berlangsung cukup lama. Namun ada hal ganjil yang terjadi. Astaga, apa ini?
Prajuritku terluka sedangkan pihak musuh masih utuh tanpa sedikitpun goresan.
Ku perintahkan lagi prajuritku yang lainnya untuk maju. Namun sama saja, makin
banyak yang terluka sedangkan mereka tidak. Prajuritku mulai sekarat.
Kami mulai
bingung. Akhirnya tanpa pikir panjang kami semua maju melawan mereka. Tak lagi
ku pedulikan prajuritku yang tergeletak di aspal panas. Tak lagi ku pedulikan
matahari yang menyengat. Aku harus menang.
Bagus, pihak
musuh mulai terluka. Aku berhasil menyayat tangan musuhku hingga daginggnya
tampak. Pedangku ini memang tajam. Musuh kami mulai berjatuhan. Sebagian dari
mereka mulai sekarat. Kami mulai merasa senang. Gembira tak karuan.
Kami
menghina mereka yang tengah sekarat. Mencaci, memakinya sepuas hati kami. Namun
anehnya mereka tak menunjukan wajah menyesal maupun takut, mereka malah
tersenyum dingin. Cacian kami semakin menjadi-jadi. “ Mati aja lu “ ujar salah
satu dari kami.
Saat itu
kami lengah. Kami terlalu bahagia. Kami tak menyangka musuh kami bertambah
banyak. Mereka keluar dari gang-gang di tepi jalan. Jumlah mereka begitu
banyak. Badan mereka pun lebih besar dari badan kami. Kurasa mereka para alumni
sekolah musuh kami. Kali ini jumlah kami yang kalah banding. Jadi inilah
strategi mereka? Sial, mereka benar-benar licik. Kenapa aku tak dapat
menebaknya? Pihakku sudah mulai sedikit karena sudah banyak yang terluka. Kami
takkan sanggup melawan mereka yang begitu banyak.
Namun kami
tak mau kalah. Hari ini kami harus menang. Dengan jumlah seadanya kami berusaha
sekuat tenaga melawan mereka. Kami berusaha untuk tak takut. Rasa takut hanya
untuk orang lemah bagi kami.
Ku mulai
pertarunganku dengan salah seorang alumni dari pihak musuh. Badannya begitu
kekar. Kulitnya hitam legam. Wajahnya sangat sangar. Suaranya sangat berat. “
Sini lu maju “ tantangnya padaku. “ Lu pikir gua takut? “ sahutku.
Dengan
pedang kesayanganku ini aku berhasil menggores pipinya yang hitam. Dari bibir
hingga matanya mengeluarkan darah yang amat segar. Dia bergerak mundur, seolah
takut akan serangan keduaku. Aku tersenyum. Aku bahagia melihat darah itu
mengalir begitu deras. Matahari yang terik membuatku haus. Membuatku ingin
menenggak darah itu hingga habis. Aku tertawa kegirangan.
“ Mampus lu
“ caciku padanya sembari meludahi wajahnya. Tiba-tiba saja ku dengar kawanku
berteriak memanggil namaku “ Jamal, awas Mal di belakanglu !! “. Begitu mendengarnya
aku segera menoleh kebelakang. Memastikan apa yang ada di belakangku.
Sebuah
linggis melayang menghantam wajahku. Seorang musuhku memukulku dari belakang.
Aku pun hampir terjatuh. Aku berusaha mundur karena kepalaku sangat pening.
Pukulan itu sangat menyakitkan. Mungkin saja wajahku sudah membiru. Sebegitu
kuat aku menghindar, namun akhirnya aku terjatuh bersama pedangku ke aspal yang
begitu panas. Aku jatuh tengkurap. Aku tak kuat menahannya. Ku pejamkan mataku
sejenak untuk menahan rasa sakitnya. Aku segera bergegas bangun. Namun sial,
salah seorang alumni menarik seragam sekolahku hingga lecak. Ia menarikku
seraya menyuruhku berdiri. “ Bangun lu ! “ perintahnya.
Astaga,
apa-apaan ini? Saat ku buka mataku. Mereka sudah mengepungku. Tanpa basa-basi
mereka langsung memukulku lagi dengan linggis. Kepalaku, punggungku, perutku
hingga terasa sakit yang teramat sangat. Tak kuat lagi aku menahannya. “ Ampun
bang “ pintaku untuk menghentikan ini semua. Kalimat itu keluar begitu saja
dari mulutku.
Namun mereka
tak mengerti kata ampun. Mereka tak mengerti bahasa manusia. Mereka seperti
binatang. Mereka terus memukulku hingga aku terjatuh. Kini darah segar mulai
keluar dari mulut, hidung, hingga telingaku. Namun mereka terus saja memukulku
secara membabi buta.
Mereka belum
puas melihatku menderita. Salah satu dari mereka mencuri pedangku, ia
memungutnya dari aspal saat ku jatuhkan tadi. Astaga, dia akan membunuhku.
Tanpa banyak bicara lagi pedang itu menembus kulit perutku. Menyayat perutku
hingga terlihat isi perutku. Pedangku yang sangat ku sayang kini malah menyayat
perutku sendiri. Aku berteriak sekuat tenaga, menahan rasa sakit yang teramat
sangat. Aku menangis. Aku benar-benar menangis.
Samar-samar
ku dengar seseorang berteriak “ Woy, polisi dateng. Cabut buruan “. Mereka
langsung berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Bagiku itu adalah
kabar baik. Para polisi itu akan pasti akan membawaku kerumah sakit. Tak
masalah aku dipenjara, yang penting aku hidup. Aku tak mau mati di sini. Aku berharap
polisi cepat datang.
Di saat
semuanya lari terbirit-birit meninggalkan tempat ini. Orang yang menyanyat
perutku masih berdiri menatapku dengan tatapan dingin. Padahal teman-temannya
sudah mengajaknya pergi. Namun dia masih di sini menatapku yang sedang sekarat.
Aku tak tahu
apa yang akan dia lakukan. Perlahan ia buka resleting dan kancing celananya.
Dia buka pula celana dalamnya. Dia menunjukan kelaminnya yang sangat besar. Dia
mengarahkannya ke wajahku. Sialan, dia mengencingiku dengan santainya. Aku
berusaha menghindar namun aku tak sanggup bergerak lebih banyak lagi. Bagiku
ini adalah hinaan terbesar, ini lebih dari menghina. Dia benar-benar
menjatuhkan harga diriku.
Dia
benar-benar bajingan. Aku ingin sekali marah. Aku ingin sekali membalasnya.
Namun apadaya rasa sakit ini lebih besar dari hinaannya. Aku hanya dapat
menahan amarahku dan menahan rasa sakit ini.
Setelah itu
dia rapihkan lagi celananya. Lalu dia berjongkok mendekati wajahku yang telah
memar ini dan berkata “ Ini balesan buat lu karena lu udah hamilin adek gue,
Riska. Rasain penderitaanlu sekarang. Adek gue lebih menderita daripada lu
sekarang ”. Lalu dia melayangkan pukulannya sekali lagi tempat ke mataku.
Membuat pandanganku benar-benar kabur. Buram, hitam, tak jelas. Aku tak dapat
melihat apa-apa. Aku juga tak dapat mendengar apa-apa.
Kini ku tahu
mengapa dia begitu marah padaku. Dialah kakaknya Riska, pacarku yang ku hamili.
Kini Riska sudah mengandung anakku selama 2 bulan. Itulah buah hubungan
terlarang kami. Itulah hasil bisikan iblis. Iblis yang selalu mengoda kami
selama 2 tahun. Hingga akhirnya kami berani melakukan perbuatan hina itu.
Hanya wajah
Riska yang kini dapat ku lihat dalam benakku. Serta kata-katanya yang hingga
kini masih terngiang di telingaku “ Sayang, aku hamil. Kita harus nikah “.
Begitulah katanya. Perkataan itu membuat kepalaku bertambah sakit. Di satu sisi
aku ingin mati agar aku terbebas dari masalah kehamilan Riska. Di sisi lain aku
ingin tetap hidup untuk meneruskan sekolahku. Hingga aku sukses. Barulah aku
mau menikah dengannya.
Karena dia
wanita yang sangat ku sayangi setelah ibuku. Aku mencintainya sangat tulus sama
seperti aku mencintai ibuku. Keduanya sangat berharga untukku. Kini wajah ibuku
yang melayang-layang di benakku. Senyumnya yang begitu indah membuatku
meneteskan air mata. Air mata bercampur darah. Kini suara ibuku yang terngiang
di telingaku. “ Jangan menginap di rumah temen kamu lagi, hari ini Mama masak makanan
kesukaan kamu loh “. Kalimat terakhir yang ku dengar dari bibirnya yang merah.
Semua itu
hanya menambah rasa sakitku. Membuat dadaku sesak. Sangat-sangat sesak hingga
aku kesulitan bernafas. Matahari bertambah panas. Namun polisi belum juga tiba.
Aku tak dapat merasakan kakiku lagi. Ku pejamkan mataku lagi. Lalu ku perlahan
membuka mataku lebar-lebar. Beberapa orang berdiri mengelilingiku. Aku tak tahu
siapa mereka. Aku tak tahu apa yang mereka inginkan. Aku tak tahu dari mana
mereka datang.
Namun wajah
mereka begitu hitam. Lebih hitam dari warna hitam yang pernah kulihat. Di
tengah wajah hitam itu, mata merah mereka begitu menyala. Mereka menatap ku
dengan tajam. Mendelik menyeramkan. Lalu salah satu dari mereka mendekat dan
berseru kepadaku “Wahai jiwa yang busuk keluarlah menuju murka dan kebencian
dari Allah". Seketika itu aku terkejut dan aku merasa ada sesuatu yang
mulai hilang dari tubuhku. Mulai dari ujung kaki terus menjalar hingga ke
perut. Aku tak lagi merasakan apa-apa diperutku. Dan kini menjalar hingga ke
tenggorokanku.
Seketika itu
aku sadar itulah rohku yang akan keluar meninggalkan ragaku untuk selamanya.
Aku teringat akan janjiku pada ibuku tadi pagi “ Hari ini aku pasti pulang, Ma.
Aku janji aku pasti pulang “. Inikah semua itu? Aku memang harus pulang hari
ini. Pulang ke alam barzakh. Aku takkan pulang kerumah. Maaf kan aku ibu, aku
hanya bisa menangis dalam hati.
Aku rasakan
rasa sakit yang teramat sangat. Lebih sakit dari sayatan pedang. Itulah rasa
sakit saat nyawaku merambat ke kepalaku. Hingga akhirnya aku mati. Mati dalam
keadaan hina. Mati sia-sia dalam perang yang sia-sia pula.
Kawan,
berjanjilah untuk tidak seperti diriku. Jangan kau ikuti langkahku. Sungguh aku
sangat menyesal. Ceritaku belum selesai. Dan takkan ku lanjutkan lagi. Kenapa?
Karena kau takkan sanggup mendengarnya.
Hingga saat
ini. Hingga detik ini aku masih menyesal atas kematianku. Ku sia-siakan
segalanya. Ibuku, sekolahku, uangku, kekasihku, bahkan nyawaku ku sia-siakan.
Sungguh, akulah orang terbodoh di dunia. Akulah orang terhina di dunia.
Dulu ku
tidur di ranjang yang empuk, di kamar yang nyaman. Kini ku tidur di tanah yang
kotor, lembab, dingin, dan gelap. Dulu ku tertawa bersama teman-temanku di
sekolah. Namun sekarang hanya tangisan yang dapat ku gemakan. Riska sayangku,
jangan engkau menangis. Aku tak butuh tangisanmu, yang kubutuh hanya do’a
darimu. Ibu maafkan aku yang telah menyianyiakan dirimu. Maafkan aku,
do’akanlah aku di sini.
Ku takkan
lagi bisa tertawa, ku takkan lagi bisa makan makanan enak, takkan lagi bisa
tidur nyenyak. Karena aku tak sendirian di sini. Aku bersama mereka. Mereka
yang selalu bertanya padaku. Bertanya pertanyaan yang takkan pernah bisa ku
jawab. Pertanyaan itu ialah “ Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Siapa Imammu? Apa
Agamamu? Apa Kitabmu? “. Dari semua pertanyaan itu, jawabanku hanyalah “
Aku tidak tahu “.
Sungguh
tersiksa aku di dalam sini. Mereka selalu mencambukku dengan cambuk berduri.
Seekor ular besar menggigit kelaminku berkali-kali. Wajahku bolong di makan
belatung. Andai aku bisa kembali hidup, meneruskan sekolahku, masa mudaku,
menikahi Riska. Andai aku bisa hidup kembali untuk mencari tahu siapa
Tuhanku, siapa Nabiku, siapa Imamku, apa Kitabku, apa Agamaku. Andai ...
Tamat
Cerita ini
hanyalah karangan belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama, tempat, kisah,
maupun peristiwa. Cerita ini diserap berdasarkan Qur'an dan Hadits. Cerita ini
juga diserap dari kisah Malaikat Maut di Wikipedia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar